Share

DJ 5 Mencari Alasan

“Aku pulang naik taxi saja!” seru Haruna yang langsung balik badan.

Masih bisa mendengar ucapan Haruna barusan, Sopian bermaksud mengejar, tapi tiba-tiba terdengar ada suara memanggilnya, hingga langkahnya terhenti untuk mengejar Haruna yang sudah berlalu.

“Sopian!”

Suara itu, suara yang selalu dan masih terngiang di telinga Sopian. Suara yang masih mengisi di sebagian pikirannya dan belum ada yang menggantikan, apalagi menggesernya. Perlahan, kepala Sopian menoleh pada seseorang yang berjalan menghampirinya.

“Wik?” gumam Sopian dengan suara pelannya. Dia tak menyangka jika Wiwik yang sejak di restoran itu dia perhatikan sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan senyum cerah seperti dulu.

“Kamu apa kabar?” tanya Wiwik menanyakan kabar Sopian karena memang sudah tak pernah bertemu sejak mereka putus dua tahun lalu.

“Kabarku baik. Kamu apa kabar juga? Sama siapa ke sini?” balik Sopian bertanya walaupun sudah tahu.

“Aku baik juga. Aku habis makan siang dengan Mas Franda,” sahut Wiwik lagi. Sopian hanya mengangguk, hingga sesosok pria datang menghampiri dari arah belakang Wiwik. 

“Ada apa, Sayang?” tanya pria itu sambil meraih pinggang ramping Wiwik yang tak luput dari pandangan Sopian dan tiba-tiba merasa kesal.

“Gak apa-apa. Kenalin, Mas, ini Sopian. Dia temanku!” ucap Wiwik dengan entengnya.

“Saya Franda, tunangan Wiwik,” kata Franda tanpa menutupi apa pun.

“Sopian.”

Keduanya saling menjabat tangan dan tersenyum ramah, tapi dalam hati Sopian ada rasa kesal serta cemburu yang menggelayut di dadanya melihat Wiwik bersama pria yang tak lain adalah tunangannya.

“Sayang, ayo!” ajak Franda menatap Wiwik yang langsung mengangguk.

“Sopian, aku pergi dulu. Bye!” pamit Wiwik diangguki cepat oleh Sopian yang mendadak sedikit bicara. Mereka meninggalkan Sopian yang masih terpaku tanpa suara. Helaan nafas berat terus berhembus dari paru-parunya. Tak sadar, tangan kiri Sopian mengelus pelan dadanya.

“Mulut gue bilang sudah move on, tapi kenapa hati gue sakit, ya?” gumam Sopian pelan dengan mata masih menatap punggung Wiwik yang kian menjauh.

Berdiri macam orang hilang akal, Sopian akhirnya menyadari jika seseorang yang ada bersamanya tadi sudah tak ada. Menoleh kiri dan kanan serta memanggil di sekitar parkiran, Sopian tak mendapati keberadaan Haruna yang entah sudah di mana.

“Astagaaa, hilang lagi itu angsa cerewet!” keluh Sopian. Tangannya meraih handphone di balik saku celana, tapi mengingat handphone Haruna yang mati tentu dia tak akan bisa menjawab. Beralihlah Sopian menghubungi seseorang.

“Hallo, Dek!”

“Iya, Kak. Ada apa?”

“Ada Haruna gak di situ?”

“Kak Nana? Belum ada, tuh, tapi kalau Kak Mike ada sedang nonton bola di bawah sama Kak Aldy!”

“Oh, gitu. Ya sudah, deh!”

“Eits, tunggu. Ada apa dengan Kak Nana?”

“Bukan apa-apa, nanti saja ceritanya. Kakak otw ke rumahmu, ya. Mau dibeliin apa?”

“Telur ayam 1 kg!”

“Ya Allah, Dek. Seneng banget ngerjain Kakak. Tiap minggu disuruh beli telur terus. Memang dua telur Kak Aldy masih kurang cukup?”

“Ya sudah. Tak usah beli dan tak usah datang juga!”

Wait, tidak bisa. Kak Pian bisa keriput kalau gak ngapelin Eneng tercinta. Ya sudah, Kakak otw sekarang.”

“Good!”

Tut. Sambungan telephone langsung diputus oleh Nisa dan membuat Sopian menggelengkan kepala sambil terkekeh. Menoleh sekitar untuk memastikan jika benar tak ada Haruna, Sopian akhirnya masuk ke dalam mobil melaju ke sebuah toko langganan tempatnya membeli telur.

****

Di sudut lain, Pupe sedang berada di ruang rawat ibunya yang masih belum siuman. Dia duduk di sebelah ibunya dan menatap sendu. Belum lega rasanya jika sang ibu tak kunjung membuka mata, hingga tak berapa lama mata sang ibu akhirnya terbuka perlahan.

“Nak!” panggil sang ibu parau. Penuh binar, Pupe tersenyum melihat mata sang ibu terbuka menatapnya. Tak ayal, mata Pupe berkaca karena bahagia serta sesak yang ada di dada telah terurai.

“Alhamdulillah, akhirnya Ibu sadar!” ucap Pupe mengucap syukur dan mencium punggung tangan sang ibu.

“Pupe panggil dokter dulu, ya, Bu!” pamit Pupe yang langsung bergegas memanggil dokter karena ibunya telah sadar.

Tak berapa lama, dokter beserta perawat akhirnya datang dan melakukan pemeriksaan yang diperlukan. Tak butuh waktu lama karena dokter mengatakan kalau kondisi ibunya stabil dan tak ada yang perlu dicemaskan. Tak henti-hentinya Pupe mengucap syukur kepada Allah dan berharap ibunya segera pulih dan kembali pulang.

“Alhamdulillah. Kata dokter ibu akan segera pulih dan kita bisa segera pulang!” seru Pupe menggenggam tangan ibunya yang mulai keriput.

“Alhamdulillah. Wajahmu pucat, Nak!” ucap sang ibu pelan.

“Tidak apa-apa, Bu. Pupe cuma kurang tidur saja, kok, tidur bentar juga baikan!” sahutnya menenangkan.

Lusiana, itu adalah nama ibu kandung Pupe. Usianya sudah 50 tahun. Pupe adalah anak satu-satunya dari pernikahannya dengan Farhan yang telah meninggal lima tahun lalu karena stroke. Sejak saat itu, Pupe hanya tinggal bersama ibunya dan setahun terakhir pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dengan harapan mendapat gaji lebih besar. Namun, ternyata hidup di Jakarta lebih sulit dan mahal dengan gajinya yang hanya penjaga toko.

Keadaan Pupe semakin terpuruk ketika mengetahui jika ibunya memiliki penyakit jantung dan harus segera dioperasi. Ada pun biaya operasi sangatlah mahal, hingga akhirnya Pupe mengambil keputusan terakhir dalam hidupnya.

“Nak, Ibu boleh tanya sesuatu?” tanya Lusi menatap lembut anaknya.

“Boleh dong, Bu. Ibu boleh tanya apa pun dan pasti akan Pupe jawab!” sahut Pupe megulas senyum sambil mengelus tangan Lusi.

“Kamu dapat uang dari mana untuk bayar oprasi Ibu?” kata Lusi yang sudah pasti penasaran dari mana anaknya memiliki uang.

‘Degg’

Pupe terhenyak kaget. Dia tak menyangka jika ibunya akan bertanya hal tersebut secepat ini. Matanya mendadak bergerak gelisah, tapi Lusi terus menatapnya bingung.

“Nak, ada apa?” kata Lusi lagi.

“Hmm, anu, Bu. Pupe ... hmmm ... Pupe ke toilet bentar, ya. Sudah di ujung!” ucap Pupe yang langsung bangun dari duduknya, meninggalkan Lusi yang menatap bingung.

“Apa yang kamu sembunyikan dari ibu, Nak!” gumam Lusi melihat punggung Pupe yang hilang di balik pintu dan perlahan menutup.

Pupe jalan tergesa menuju toilet. Tidak, dia tidak kebelet, tapi hanya itu alasan sebagai caranya menghindar dari pertanyaan Lusi yang begitu cepat mengenai biaya pengobatannya yang tak cukup dengan uang 5 juta seperti yang mereka miliki dari uang simpanan.

“Aku harus bilang apa sama Ibu?” gumam Pupe bersandar di depan toilet.

Beberapa orang berlalu lalang melewati Pupe yang masih memikirkan alasan apa untuk diberikan pada ibunya serta masuk akal. Tak mungkin dia mengatakan kalau dia menjual keperawanannya pada seorang pria asing yang ditemuinya di taman. Setelah 10 menit berlalu, Pupe akhirnya melangkahkan kaki kembali ke ruang rawat ibunya. Terdengar suara orang berbincang dari dalam.

“Siapa yang sedang berbicara dengan Ibu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status