Share

Hampir Kehilangan Kesucian

Dunia seakan runtuh seketika saat bibir seorang pria menjelajah ke kulit mulus nan putih milik seorang gadis yang belum di jamah oleh siapapun. Hati gadis berambut coklat itu teriris sakit. Merasakan sebuah tindakan yang dilakukan dengan paksa pada bagian tubuhnya.

Dinginnya pendingin mobil menusuk kedalam pori-pori kulit. Cairan kental dari mulut seorang pria membasahi permukaan berwarna putih nan mulus. Memberi beberapa tanda bercak merah pada beberapa titik.

Bulir-bulir likuid berjatuhan membasahi pipinya. Mata yang memiliki iris hazel memerah. Menatap jalanan yang terlihat sepi.

Gadis itu tidak mau hidupnya berakhir sampai di sini. Sudah cukup penderitaan ini ia rasakan. Dia tidak boleh menyera, jalan hidupnya masih panjang. 

'Tuhan, tolong bantu aku kali ini saja!' batinnya seraya mengambil nafas panjang dan menjernihkan pikiran. Ia mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa lalu dengan kuat memukul kepala Jefry menggunakan sikut. Mendorong dengan sekuat tenaga. Kini pria itu meringis kesakitan.

Kesempatan untuk melarikan diri datang. Gadis yang pakaiannya tidak karuan itu segera membuka ikatan di tangannya. Lalu ia bergegas membuka pintu. Tenaganya masih tersisa untuk ia berlari menyelamatkan diri.

Jalanan terlihat sangat sepi. Dia tidak tau ini dimana, yang jelas lumayan jauh dari perumahan warga. 

Pandangan gadis berpakaian putih abu-abu ini lurus ke depan. Ia enggan untuk menoleh pada pria yang kini mengejarnya di belakang.

Suara yang kini sudah serak dan laring yang semakin kering, berteriak terus menerus meminta pertolongan. Berharap ada orang yang mendengar dan datang untuk menolongnya. 

Suara motor terdengar mendekat ke arah mereka. Seorang pria mengendarai motor besar berwarna biru dengan jaket hitam memberhentikan motor, membuka helm dan melemparkannya ke arah pria berengsek bernama Jefry.

“Sialan. Jangan ganggu urusanku!” Jefry menatapnya dengan tajam.

Brug ….

Pria berambut hitam menghantam wajah Jefry dengan tangannya yang kekar.

Jefry tersungkur di aspal yang terasa dingin dan lembab. Ujung bibirnya membiru dan mengeluarkan darah segar.

"Siapa kau? Berani-beraninya menggangguku." Jefry mengarahkan kepalan tangannya ke wajah pria misterius.

Pria tinggi itu terlihat pandai membela diri. Tubuhnya kokoh dan gerakannya cepat. Tidak ada satupun pukulan Jefry yang mengenai wajahnya. Dia berhasil menangkis dan beberapa kali membuat Jefry tersungkur.

Pukulan terakhir yang ia daratkan di perut Jefry membuat pria mesum itu merasa kalah dan ingin menyerah.

"Jangan ganggu gadis ini lagi!" ujar pria yang tengah meraih helmnya di atas aspal jalan.

Jefry ketakutan dan berlari kabur. Penampilannya sudah tidak karuan karena perkelahian tadi.

Kini, pria yang memiliki mata coklat indah tengah berjalan ke arah gadis yang tengah menangis dan merapikan kancing baju sekolahnya.

Beberapa kancing terlepas karena Jefry tadi membukanya dengan paksa. Orang bisa melihat lubang-lubang yang menampilkan kulit mulus sang gadis. 

Tatapan pria itu tidak sengaja tertuju pada pakaian yang gadis itu kenakan. Dia segera menoleh ke arah lain dan melepaskan jaket yang ia kenakan.

"Ini … pakailah untuk menutupi tubuhmu!" Dia menyerahkan jaketnya untuk di pakai gadis yang tangannya masih gemetaran ini.

"Te- te- terima kasih, Kak!" Perasaannya kini sedikit lega. Ada orang baik yang datang dan menolongnya saat keadaan seperti ini. 

Tuhan masih memberikan gadis ini keberuntungan untuk masih melanjutkan hidup.

Motor berukuran besar yang memiliki tangki di bagian depan ini di nyalakan. Mengitari tubuh gadis yang masih berdiri mematung.

"Ayo. Aku antar kamu pulang!" ujar pria yang kini menggenggam kemudi motor dan tidak menoleh sama sekali ke wajah gadis yang masih merasa kebingungan.

"Ayo. Naik!"

Netra yang semula tidak berkedip kini membuka dan menutup beberapa kali berusaha agar segera tersadar. Gadis yang merasa masih ketakutan itu perlahan naik ke bangku belakang dan enggan untuk berpegangan pada pinggang pengemudi motor.

Mereka berdua melewati jalanan gelap dan sepi. "Rumahku di Jalan Selawati, Kak." Tanpa ditanya dia sudah memberitahukan alamat rumahnya.

Jefry tadi membawanya cukup jauh sampai ke tempat sepi seperti ini. Dia sampai tidak tahu ini dimana. Embusan angin sangat kencang biarpun dia duduk di belakang. Rasa dingin menghempas bulu-bulu halus hingga terasa begitu beku.

"Dalam setengah jam kita akan sampai!" Tangannya memutar gas lebih dalam agar cepat sampai di tujuan. Angin menerpa tubuhnya yang ada di depan dan sedang mengemudi.

Setelah sepuluh menit melewati jalanan sepi. Mereka kini sudah di jalur ramai. Motor menepi di sebuah minimarket. Pria pengemudi motor yang juga berseragam putih abu-abu itu turun dan masuk untuk membeli sesuatu.

Gadis bernama Seila menunggu di bangku depan minimarket. Jika sekarang dia tidak mengenakan jaket. Mungkin akan menjadi pusat perhatian karena beberapa kancing yang terbuka.

Pria yang masih menggunakan helm full face duduk dan memberikan segelas kopi.

"Terima kasih!" ucap Seila sambil melihat bet yang terpasang di baju pria misterius ini. Melihat asal sekolah dan membaca nama di bagian dada seragam. 'Aksara, nama yang bagus. Setampan wajahnya dan sebaik sikapnya.' batinnya seraya meneguk kopi yang diberikan Aksara.

"Kak Aksara, terima kasih lagi untuk bantuannya." Pria bernama Aksara tidak menoleh, membuka helm dan malah fokus meminum segelas kopi moca favoritnya.

Rahang yang tegas. Pipi yang di tumbuhi sedikit godeg. Bibir manis dan hidung mancung. Sungguh ciptaan tuhan yang sangat sempurna. Pria di hadapannya membuat ia terpesona.

Air menetes dari langit dan jatuh ke bumi. Dari awalnya pelan, sekarang semakin kencang hingga permukaan aspal basah dan motor juga ikut basah.

Seila tidak beruntung sekali hari ini. Dia sudah hampir celaka karena Jefry, sekarang mau pulang malah turun hujan. 

"Sekarang bagaimana caranya kita pulang, Kak?" tanya Seila menoleh ke arah Aksara.

Aksara berdiri dan menatap langit yang sudah mulai gelap. "Ponselmu mana? Kenapa tidak mencoba menghubungi orang tuamu saja agar mereka menjemput kesini?" tanya Aksara tanpa ekspresi. Tatapannya seakan dingin, mungkin karena bertanya dan bersama orang yang belum dia kenal.

Pertanyaan Aksara membuat ia ingat dan ingin menghubungi sang Ayah. Sayangnya tadi ponsel Seila kehabisan daya. Lain kali dia akan selalu membawa kabel casan dan power bank kemanapun ia pergi.

"Baterai ponselku habis, Kak. Boleh pinjam ponsel Kakak?" 

Aksara mencari ponselnya di dalam tas lalu menyerahkan pada Seila. "Ini!"

Ponsel keluaran terbaru berwarna hitam milik Aksara kini ada di genggaman Seila. "Aku ikut menelpon, ya!"

Aksara menjawabnya hanya dengan sebuah anggukan.

Seila mengetik beberapa digit nomor dan menekan layar yang menampilkan warna hijau. Kini ia mendengar suara ringtone milik ayahnya. Setelah beberapa detik menunggu. Ayah Seila akhirnya menjawab.

"Hallo. Ini siapa?" Suara ayahnya dari balik telepon.

"Ayah, Ayah. Ini Seila, Yah." Seila meyakinkan bahwa ini adalah suaranya karena dia sekarang menggunakan ponsel orang lain. Ia takut pria yang menunggu anaknya pulang ini malah mengira ini adalah panggilan dari seorang penipu.

"Dimana kamu, Nak? Hari sudah mulai malam dan kamu belum pulang." Ayah Seila terdengar sangat khawatir.

"Seila tadi terkena musibah, sekarang Seila bersama teman Seila menunggu hujan reda di sebuah minimarket, Yah," jelas Seila agar ayahnya tidak khawatir.

"Ayah jemput sekarang, ya! Kamu di minimarket mana, Sayang?" Surya sudah berdiri dan bersiap meraih kunci mobil.

"Tinggal dua puluh menit lagi jika ingin sampai di rumah, Yah. Minimarket yang dekat pom bensin. Aku tak ingat nama jalannya. Yang pasti, Ayah sering lewat sini!" Seila sering lupa nama jalan.

"Ayah kesana sekarang!" Surya meraih kunci mobil dan mematikan teleponnya.

Seila yang sudah selesai menggunakan ponsel Aksara mengembalikannya lagi. "Terima kasih, Kak. Kakak sudah banyak membantu aku!"

"Sama-sama." Aksara terlihat santai dan duduk menyilangkan kaki.

Seila ingin sekali mengajak Aksara berbincang-bincang tapi ia sangat segan dan takut mengganggu pria yang kini asyik membaca sesuatu di ponselnya. Pikir Seila, mungkin Aksara sedang membaca sebuah berita, novel atau pelajaran di ponselnya.

Dia terus saja menatap bet di lengan baju Aksara. Berpikir bahwa mungkin esok atau lusa, dia bisa pindah ke sekolah itu dan kembali bertemu pria ini.

Hanya rintik-rintik hujan dan kendaraan yang berlalu lalang yang bisa Seila tonton saat ini. Menunggu jemputan yang terasa menyenangkan karena di temani pria tampan yang sudah menolongnya.

Entah akan bagaimana nasib Seila saat ini jika Jefry berhasil merenggut kesuciannya. Mungkin Seila akan hancur berkeping-keping dan tidak lagi mempunyai harapan untuk hidup.

Aksara terlihat mengangkat sebuah telepon. Sepertinya dia juga buru-buru dan tengah di tunggu untuk pulang. Dia tidak mau meninggalkan Seila begitu saja. Aksara masih setia menunggu sampai orang tua Seila datang.

Sebuah mobil berwarna hitam terparkir tepat di hadapan mereka. Ayah Seila turun dari mobil dan membawa payung.

"Anak ayah!" Surya langsung memeluk sang putri.

"Ayo kita pulang!" Surya hendak menarik tangan Seila lalu anaknya itu menahannya. 

Seila berpamitan dulu kepada Aksara. "Aku pulang duluan, ya, Kak!" ucapnya sambil mengangguk sopan.

Surya sampai lupa dan tidak melirik ke arah pria yang menemani Seila. Dia yang melihat Seila berinteraksi dengan temannya itu akhirnya tersenyum lalu mengucapkan selamat tinggal juga.

Surya memayungi anaknya sampai masuk ke mobil. Mereka meninggalkan Aksara sendiri.

"Pacar kamu?" tanya Surya sambil memutar kemudi saat parkir.

"Ih … bukan, Ayah!" Wajah seila memerah. Dia malu karena Aksara disangka pacarnya.

"Lalu siapa?" Surya bingung. Jika berduaan seperti itu bukannya mereka sepasang kekasih.

"Kenal saja tidak, Yah." 

"Lalu kenapa kalian bisa bersama?"

"Seila tadi terkena musibah dan Aksara yang menyelamatkan Seila. Jika tidak ada dia, mungkin saat ini Seila sudah tidak seperti ini lagi."

"Kenapa, Nak?"

Seila enggan menceritakan perlakuan Jefry. Dia takut masalah ini semakin memanjang dan ayahnya akan khawatir. Tidak ada bukti juga untuk melaporkannya ke pihak sekolah atau polisi. Jika Jefry melakukan perlakuan jahat lagi. Seila akan melaporkannya ke pihak berwajib.

"Tidak apa-apa, Yah. Hanya masalah kecil saja. Aku ingin pindah sekolah lagi!"

"Kemana, Sayang?"

"Ke SMA guna bangsa!"

Semua keinginan Seila ayahnya penuhi. Termasuk untuk berpindah-pindah sekolah. Meski Seila tidak memberitahukan alasannya untuk berpindah tempat sekolah. Surya sudah tahu dan mengerti keadaan sang putri.

Dia besok pasti akan mendaftarkan Seila ke sekolah baru.

"Lusa pasti kamu bisa pindah!"

"Terima kasih, Ayah!" Seila memeluk tubuh Surya erat.

Mobil Surya berhenti sejenak di pom bensin untuk mengisi bahan bakar.

Seila menoleh ke arah luar. Dia melihat Jefry tengah mengisi bahan bakar juga dengan wajah yang penuh luka lebam. Saat Jefry merasa di perhatikan dan menoleh. Seila langsung membungkuk dan bersembunyi. Dia tidak mau di lihat oleh pria itu lagi.

Surya melirik Seila yang terlihat aneh. "Ada apa, Nak?" Suara ayahnya bisa saja membuat Jefry curiga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status