Share

BAB 5

Seorang gadis tengah tersenyum senang melihat arloji di tangannya. Sebentar lagi dia akan sampai di sekolah baru yang sangat ia idam-idamkan. Memang sudah ke sekian kalinya ia berpindah sekolah. Sekolah ini harus menjadi tempat terakhir dia sampai lulus dan melanjutkan ke jenjang perkuliahan.

Gadis ini perlahan memijakkan kaki di pelataran sekolah, turun dari sebuah mobil hitam yang ayahnya kendarai.

Embusan angin pagi sangat terasa sejuk meski letak sekolah ini di ibu kota Jakarta, banyak pohon-pohon besar di wilayah sekolah. Suasana depan sekolah sangat ramai oleh anak-anak yang baru sampai. Sekolah ini benar-benar mengagumkan. Ini adalah sekolah terfavorite yang isinya adalah anak-anak berprestasi dan sering mendapatkan kemenangan di berbagai olimpiade nasional.

Kaca mobil terbuka dan seorang pria berumur kepala empat tersenyum lebar ke arah putrinya.

“Mau ayah antar ke ruang kepala sekolah?” tanyanya yang mengkhawatirkan Seila.

“Tidak usah, Ayah!” Dia enggan untuk di antar karena ini bukan kali pertama ia berpindah sekolah. Seila sudah biasa bertemu kepala sekolah dan berkenalan dengan teman baru.

“Selamat bersekolah di sekolah baru Sayang semoga kali ini betah, ya!” Kedipan sebelah mata yang terkesan genit dan manis menyemangati putri cantik dan menawan yang mengenakan seragam baru khas sekolah ini.

“Terima kasih, Ayah!” Seila mendekat dan mengecup pipi Surya.

“Dah, Sayang!” Surya melambaikan tangan.

Seila menghirup nafas dalam-dalam dan ngembuskan perlahan. Dia tersenyum melihat sebuah tas dari bahan kertas berwarna merah jambu dan bergambar hati. Tas ini berisi jaket yang merupakan milik Aksara. Pria penyelamat yang membuat hati Seila berbunga-bunga. 

Kini Seila berjalan menuju ruangan kepala sekolah. Seorang guru yang ramah menyambut serta mengantarnya ke ruangan kepsek.

Di ruangan empat kali lima meter yang bernuansa serba putih dan memiliki banyak piala sebagai dekorasi ruangan, bola dunia serta gambar petinggi-petinggi sekolah dan tak lupa foto presiden serta wakil presiden yang di tempel di dinding. Seorang pria paruh baya bertubuh subur yang sedang duduk itu bangun lalu menjabat tangan Seila dan bersikap ramah. 

“Kamu anak pindahan itu, ya?” tanyanya sambil memperhatikan penampilan Seila.

“Iya, Pak. Saya Seila!” Seila membalas senyuman pria yang memiliki name tag di bagian dada bertuliskan Sukma. 

“Kamu di kelas IPA, ya. Nanti sama bapak bernama Bimo selaku wali kelas kamu untuk berkenalan dan mendapatkan bangku kosong.” ujarnya yang Selesai memeriksa data diri Seila.

“Bimo!” teriaknya memanggil guru yang merupakan wali kelas Seila.

“Antar nak Seila ke kelasnya, ya.” pintanya agar Seila di antar menuju kelas.

“Baik, Pak!” jawab guru bernama Bimo.

Seila berjalan melewati lorong, di balik kaca ia melihat seorang pria yang ia rindukan. Pria yang tengah membuka helm dan sudah memarkirkan motor gedenya. Pria tampan bernama Aksara tengah di kelilingi oleh para gadis. Gadis-gadis berparas cantik dan mengenakan rok agak pendek menggoda dan mengitari tubuh Aksara. Mereka membawa hadiah untuk sang idola.

Aksara yang dingin tidak menjawab atau membalas perlakuan semua gadis. Dia terkesan cuek dan malah pergi begitu saja saat di ajak bicara.

Tubuh yang tinggi dan proporsional untuk sekelas anak SMA. Kulit yang putih dan rambut yang hitam, ditunjang dengan hidung mancung dan mata yang indah.Aksara bagaikan dewa di sekolah ini yang menarik para gadis untuk mendekat dan ingin memilikinya.

Pandangan Seila dari tadi tertuju pada Aksara. kaca yang bening menampilkan jelas kegiatan pria itu. Seila berjalan pelan hingga kepalanya menabrak sesuatu.

“Aduh ….” Seila memegang kepalanya yang lumayan terasa sakit. Ternyata dia menabrak punggung pak Bimo yang berhenti menunggu langkah kaki Seila yang lamban.

“Seila, cepat sedikit jalannya!” Bimo mengomeli Seila karena gadis ini malah sibuk memperhatikan seseorang di balik kaca.

“Maaf, Pak!” Seila meminta maaf sambil tersenyum penuh kepolosan.

Hari pertama saja dia sudah di omeli oleh guru.

“Hmmm …. Lanjut jalan lagi, ya!” Bimo menuntun Seila menuju ruangan kelas IPA tiga. Kelas IPA ini terkenal di huni oleh dua orang pria tampan dan para gadis yang juga cantik dan semua isinya hampir bukan anak nakal.

Seila berdiri di samping Bimo, menyapa anak kelas yang sudah datang. Suara riuh dari kegaduhan para siswa seketika senyap saat Bimo mengetuk meja.

“Anak-anak. Kenalkan, ini Seila anak baru di kelas kita!” ujar Bimo menunjuk Seila

Semua mata tertuju pada Seila. “Hai Seila!” teriak semua siswa.

“Silahkan tempati bangku yang kosong, ya!” Bimo mempersilahkan Seila untuk duduk.

Gadis itu tengah berjalan melewati celah meja-meja untuk menduduki bangku yang kosong.

Seorang pria yang tengah terburu-buru menabraknya hingga Seila hampir terjatuh.

“Maaf!” ujarnya tanpa menoleh.

Pria itu duduk di bangku kosong dekat kaca. Dia memasang earphone di telinganya dan tidak menghiraukan Seila.

“Iya, tidak apa-apa!” Seila duduk di bangku kosong. Mereka hanya terpisah oleh celah jalan tapi masih sejajar. Seila terusn saja memandang ke arahnya. Pria ini adalah Aksara.

Gadis ini merasa beruntung karena satu kelas dengan pria yang ia kenal. Kebetulan sekali. Seila bisa mendapat teman mengobrol dan belajar.

Seorang gadis yang duduk di depan Seila menoleh ke belakang dan mengajak bersalaman.

“Hai aku Bila, Sei!” Bila tersenyum lebar pada Seila. 

“Hai, Bil. Senang berkenalan denganmu!” Seila senang disini ia langsung di sapaoleh teman. Berbeda dengan di sekolah lama yang anak-anaknya terkesan sombong.

“Kau bawa apa itu, Sei?” tanya Bila yang penasaran, apa yang ada di dalam tas kertas yang Seila bawa. Terlihat manis dan menawan.

“Oh ini! Ini milik Aksara yang akan aku kembalikan,” jawab Seila.

“Hah Aksara?” Bila bergidik ngeri bahkan hanya mendengar kata nama Aksara. Pria ketua kelas ini adalah pria yang terkesan dingin, jutek dan tidak bisa di ajak bicara oleh sembarang orang.

“Kenapa dengan Aksara, Bil?” tanya Seila yang penasaran.

“Coba saja sendiri menyapa dia dan mengembalikan itu, dia cuek dan bersikap dingin.” ujar Bila yang ingin tahu bagaimana respon Aksara pada anak pindahan ini.

“Aku coba ajak bicara untuk kembalikan ini, ya!” Seila akan berusaha untuk mengajak Aksara yang tengah sibuk mendengar lagu itu untuk berbicara.

Cahaya matahari pagi menyinari bagian kelas. Menembus kaca dan menyorot wajah tampan Aksara. Pria tampan yang tengah memejamkan mata sembari menikmati alunan musik di telinganya.

Seila menutup gorden agar Aksara tidak merasa silau. Sayang sekali jika pria berkulit kulit putih itu jika kepanasan.

“Aksara!” Seila mencoba memanggil Aksara. Dia tidak mendapatkan jawaban. Mungkin volume earphone Aksara begitu kencang sehingga pria itu tidak bisa mendengar suara Seila yang begitu lembut.

“Aksara!” panggil Seila lagi tapi dia tidak kunjung mendapatkan jawaban. Bila hanya memperhatikan sembari memberikan saran agar Seila berhenti dan kembali duduk.  

Seila malah mendekatkan telinganya ke telinga Aksara. Dia penasaran sekencang apa volume musik yang Aksara dengarkan sampai dia tak mendengar suara Seila.

Seila memasang telinganya agar peka untuk mendengar musik apa yang tengah Aksara putar. Dia sama sekali tidak mendengar sebuah musik. 

“Aksara!” panggilnya lagi.

Tiba-tiba Aksara menoleh dan membuat Seila kaget. Wajah mereka begitu dekat hingga embusan nafas Aksara begitu terasa. Pria itu tak berkedip dan melempar tatapan tajam. Seila sampai kesulitan untuk menelan salivanya.

Brug .…

Aksara menggebrak meja dan bersikap seperti orang yang marah. “Menjauh dariku!” Matanya membulat dan tidak ada sama sekali senyuman untuk menyambut Seila.

“A- a- Aksara. Apa kau tidak mengenaliku?” tanya Seila . Mereka menjadi pusat perhatian. Betapa beraninya seorang anak baru mendekati Aksara dan mendapatkan perlakuan yang memalukan.

“Aku bilang menjauh dariku!” jawab Aksara ketus. Sepertinya hari ini mood dia sedang tidak baik.

“A- a- a- aku hanya ingin mengembalikan ini. Seila menyimpan tas berisi jaket Aksara di atas meja.

“Buang saja!” jawab Aksara. Dia kembali bersandar ke bangku dan memejamkan mata. Menyilangkan tangan di depan dada dan seolah tidak mau untuk di ganggu.

“Sini Sei. Sini!” ajak Bila. Ia takut teman barunya itu lebih di marahi lagi.

“Terima kasih jaketnya, Aksara!”

Aksara diam dan tidak menjawab perkataan Seila. Sikap aksara berbeda sekali dengan yang ia temui kemarin lusa. Sama-sama dingin tapi lebih dingin saat ini.

Jujur Seila agak kaget saat Aksara menggebrak meja. Dia kembali duduk di bangkunya dan berbincang dengan Bila.

Suasana kelas menjadi bising dan membicarakan Seila dan Aksara. Gadis itu sedikit malu karena banyak yang memperhatikannya.

Aksara bangun dari tempat duduknya. Ia meraih tas yang berisi jaket dan keluar kelas lalu mendekati tong sampah. Membuang barang itu begitu saja.

Seila dan Bila terperanga melihat aksi kejam Aksara yang membuang barang dari Seila. Padahal itu jaketnya sendiri.

“Tuh, kan, Sei. Apa gue bilang.” Bila baru saja berbicara tapi ia di tinggalkan oleh lawan bicaranya.

Seila berlari ke luar kelas dan mengambil barang yang sudah Aksara buang.

“Yah … ini aku yang cuci sendiri. Kenapa di buang?”

Semua pasang mata tertuju pada Seila dan merasa kasihan karena dia mendapatkan sambutan yang buruk dari ketua kelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status