Share

BAB 8

"Sei. Dia ngedipin mata ke, Lo!" Bila menepuk pundak Seila. Dia melihat bagaimana Angga tadi mengedipkan sebelah matanya ke arah Seila. Anak baru ini memang cantik. Tak heran Bila pasti mengira angga menyukai Seila. Sorot tatapan Angga saat melihat Seila sungguh berbeda.

Gadis ini malah sibuk memperhatikan Aksara yang tengah berhasil merebut bola dari Angga dan menggiringnya hingga ke depan ring. Pria itu walaupun dingin padanya tapi terlihat sangat keren. Seila sangat mengagumi Aksara semenjak mereka pertama bertemu. Jika Aksara tidak menolongnya. Mungkin kini Seila sudah kehilangan kesuciannya.

"Seila ih!" teriak Bila lagi hingga Seila menoleh. Dia tidak mau di abaikan oleh teman barunya ini.

"Apaan, sih, Bil? Manggil-manggil mulu. Gue lagi khusu nonton, nih!" ujar Seila yang menoleh walaupun hanya sebentar dan menonton pertandingannya lagi.

"Hoho … bagaikan menonton dua pangeran sedang bertanding, ya!" Bila seketika berpikir. Kedua pria tampan bak pangeran itu bertanding karena apa. Apa yang mereka perebutkan. Tidak mungkin bertanding tanpa adanya alasan. Meski mereka sudah lama bermusuhan. Pasti ada faktor penyebab. Bila melihat tatapan Seila yang memperhatikan Aksara. Dia berpikir sepertinya dua pria tampan itu tengah merebutkan Seila.

Bila kembali menepuk pundak Seila agar temannya kembali menoleh. "Eh ...Lo gak ada hubungan apa-apa, kan, sama Aksara atau Angga?" tanyanya untuk memastikan. Siapa tahu anak baru ini membawa sebuah kejutan besar. Misalnya pindah karena menjadi pacar Angga atau Aksara.

"Enggak, kenapa?" tanya Seila yang menoleh sebentar. Pertanyaan ini sungguh tidak penting baginya. Kenal mereka berdua saja baru, tidak sejak lama.

"Yah … gara-gara Lo. Gue gak lihat Aksara pas lempar bola. Tahu-tahu sudah cetak poin aja" Seila mengerucutkan bibirnya. Bila ini dari tadi mengganggu saja. Momen indah melihat Aksara begitu tampan meloncat, melempar bola dan bergelantung di ring sangat mempesona.

"Mereka kayanya rebutin Lo, deh!" 

Perkataan Bila membuat Seila kaget dan tidak percaya. Bila ini mengada-ngada saja. Orang Aksara bertindak tidak sopan dan ramah saat Seila pindah kesini. Apalagi angga, pria tidak jelas itu sellau usil padanya. "Hah, masa iya?"

Seila menggaruk tengkuknya. "Apaan gue, kagak pantes di ributin kali, Bil." Sanggahnya yang tidak percaya dengan asumsi Bila. Seila lebih tertarik untuk memperhatikan pertandingan ini.

"La buktinya tadi. Angga ngedipin mata lho ke Lo." Bila menunjuk kening Seila. Gadis ini jangan berpura-pura bodoh padanya. Bila ahlinya mengintrogasi. Dia bagaikan detektif dan mulutnya bisa saja menjadi pisau.

"Lo salah lihat kali. Orang gue aja gak lihat." Seila menggelengkan kepalanya. Saking seriusnya menonton Aksara. Memang dia tidak melihat Angga berkedip padanya sama sekali.

"Gimana jadi gak lihat. Orang pandangan Lo hanya tertuju pada Babang Aksara aja!" ejek Bila sambil terkekeh. Dia menunjuk Aksara yang tengah menggiring bola.

Seila mencebik gadis yang ada di sebelahnya ini. Ia kembali memperhatikan permainan lagi.

Embusan angin dan teriknya matahari membuat Angga dan Aksara berkeringat. Rambut mereka mengukuti arah angin, berkibar layaknya membuka sebuah pesona yang tertutup poni. Ketampanan keduanya begitu terpancar kala mereka sedang berlari dari ujung sudut lapangan ini. Hingga sudut paling terjauh. Rintik-rintik keringat yang membasahi seragam malah menambah kesan seksi.

Gadis-gadis semakin berteriak histeris menyemangati pertandingan ini.

Aksara yang merasa di perhatikan Seila bersemangat dan tidak mau kalah. Ia harus mengalahkan lawan terberatnya ini. Angga berjanji tidak mau mengganggu urusannya jika Aksara menang. Maka dari itu, biar bagaimanapun, Aksara berambisi untuk menang.

Beruntungnya Aksara ahli dalam hal basket. Dia tersenyum miring kala Angga melempar bola tapi tidak berhasil masuk ke dalam ring.

Aksara beraksi cool hingga dia mendapatkan teriakan sangat histeris dari para penonton.

Aksara berhasil mencetak angka beberapa kali. Kini skor menjadi empat berbanding satu. Aksara empat poin dan Angga satu poin. Peluit berbunyi menandakan pertandingan sudah selesai.

Tut, tut ….

Semua gadis yang duduk di tepi lapangan menjadi saksi kemenangan Aksara. Pria itu di bopong anak-anak pemain basket lain yang tadi menonton.

"Go Aksara, go Aksara, go!" teriak semua anak.

Angga yang merasa kesal karena kalah dalam pertandingan ini, melempar bola sekencang-kencangnya ke lantai lapangan. Bola memantul hingga terbang ke udara.

Semua mata tertuju padanya. Pria itu kini pergi entah ingin kemana. Salahnya mengajak master basket duel. Angga bukan lawan yang sebanding untuk Aksara.

Seila meloncat-loncat bersama Bila, dia merasa senang sekali idolanya bisa memenangkan pertandingan ini.

Bell berbunyi menandakan istirahat sudah selesai. Semua anak kembali kedalam kelas dan sebagian kelas sudah di masuki guru. Kelas Seila belum juga ada guru yang masuk. Penanggung jawab mata pelajaran siang ini pergi menghubungi guru yang seharusnya memberikan materi. Sorak sorai kegembiraan terdengar karena kabar guru yang mengisi pelajaran saat ini sedang sakit dan tidak bisa masuk. 

Seila tidak segembira siswa lain. Dia terus melihat bangku Aksara yang kosong. Kemana Aksara? Apa Aksara baik-baik saja setelah pertandingan? Apa luka di lututnya sudah di di obati? Pikiran-pikiran negatif mengudara di kepala Seila. Dia bergegas ke ruangan UKS untuk mencari Aksara. 

Tanpa di ketahui Bila. Seila pergi sendiri ke ruangan yang biasa siswa pakai untuk mengobati diri yang terluka atau sedang sakit ringan. Di ruangan itu hanya ada petugas perawat saja.

Tok, tok, tok!

Seila masuk dan menyapa perawat. “Permisi, Bu. Apa ibu melihat seorang siswa yang kesini dan mengobati kakinya yang terluka?” tanyanya sambil memperhatikan ruangan yang memiliki bau obat ini.

“Tidak ada, Dek. Dari pagi ruangan ini hanya ada saya dan tidak ada siswa yang sakit atau sekedar mengobati lukanya,” jawab perawat yang mengenakan pakaian serba putih.

“Kamu mencari siapa?” tanya sang perawat pada Seila yang berdiri mematung.

“Saya mencari teman saya, Bu. Boleh saya pinjam alat dan obat untuk mengobati luka?” Seila tertunduk malu. Dia takut Ibu ini tidak meminjamkan peralatan P3Knya. 

“Maaf, ya, Bu. Barangkali teman saya malu untuk kesini. Jadi mending saya bawa kotak P3Knya lalu mencari dia!” ujar Seila agar dia di pinjamkan kotak P3k.

Perawat itu ternyata tidak keberatan. Dia mengambil kotak dan mengisinya dengan obat-obatan untuk mengobati luka. “Ini. Silahkan! Gunakan rivanol atau NACL dulu untuk membersihkan luka. Oleskan betadine lalu tutup dengan perban agar lukanya tidak terkena debu, ya!” jelas sang perawat agar Seila bisa mengobati luka temannya. Padahal yang di maksud Seila itu adalah Aksara.

“Baik, Bu.” Dia mengerti semua yang di jelaskan perawat ini.

“Kembalikan jika sudah selesai, ya!” ujar wanita yang berkulit putih itu pada Seila.

“Terima kasih, Bu. Saya permisi!” Seila mengangguk sopan lalu bergegas pergi ke kantin. Seila membeli dua botol minuman dingin. Hari semakin panas dan membuat dia kehausan.

Semua koridor sepi, Seila tidak menemukan keberadaan Aksara. gadis itu menatap langit dan berpikir sejenak sembari masih menggenggam kotak P3K dan plastik yang berisi minuman. Dia melirik ke suatu tempat.

“Ah … iya. Kenapa aku tidak mencari kesana?” Seila tersenyum senang. Pasti Aksara ada disana. Dia menaiki anak tangga untuk menuju rooftop. 

Pandangannya tertuju pada seorang pria yang sedari tadi dia cari. Pria tampan yang sedang duduk dan bersandar ke tembok. Genteng dari atap lain membuat pria itu tidak kepanasan. Seila berjalan mendekatinya.

Mungkin saja dia akan mendapatkan perlakuan dingin lagi. Seila tidak takut jika Aksara bersikap dingin atau kasar. Dia kesini hanya ingin membantu mengobati luka pria itu.

Kini Seila di hadapan Aksara yang sedang memejamkan matanya. Dia melinting celana SMA Aksara yang bolong karena terjatuh saat bermain basket tadi.

Aksara kaget saat sesuatu tengah bergerak di kakinya. “Sedang apa kamu?” tanyanya yang melihat Seila tengah menggulung celana abu yang ia kenakan hingga ke bagian atas lutut. 

“Mau mengobati lukamu!” jawab Seila. Dia membuka kotak P3K yang ia bawa.

“Tidak usah!” jawab Aksara sangat ketus.

“Kenapa tidak pergi ke UKS?” tanya Seila sambil membasahi kain kasa dengan cairan NACL untuk membersihkan luka di kaki pria tampan ini.

“Tidak perlu. Nanti juga sembuh sendiri!” jawab Aksara. Dia tidak peduli luka ini, rasa perihnya tidak seberapa.

“Takut infeksi Aksara!” balas Seila dengan nada tinggi. Kini dialah yang terkesan galak dan pemaksa.

“Tidak, Seila!” Aksara menggeser kakinya agar tidak di obati gadis ini.  

“Diam, Aksara!” teriak Seila sangat ketus. Kali ini dia memberanikan diri untuk memperlakukan Aksara kasar. Barangkali pria ini akan diam dan mau di obati. Seila menarik kaki Aksara lagi lalu bersiap membersihkan luka pada bagian lututnya.

“Auuu ….” teriak Aksara yang kesakitan. Lukanya malah terasa perih karena Seila sedang membersihkanya.

“Jagoan masa segini doang sakit, sih!” Seila mengejek Aksara yang tengah kesakitan.

“Tidak, kok. Tidak sakit!” jawab Aksara dengan nada sombong. Dia menahan semua rasa sakit akibat lututnya yang tengah di obati. Menggigit bibir agar tidak kembali berteriak.

“Nah … gitu. Diem dong!” Seila yang sudah membersihkan bekuan darah kini mengambil betadine untuk di oleskan ke luka Aksara.”

“Au …. ini lebih perih, Sei!’

“Tahan!” teriak Seila agar Aksara diam.

Seila kemudian menutup luka Aksara dengan perban agar tidak terkena debu atau kotoran.  Dia merapikan kembali celana yang Aksara kenakan.

“Terima kasih!” ujar Aksara untuk Seila yang sudah mengobatinya.

“Sama-sama!” Seila ikut duduk dan bersandar ke tembok. Dia kemudian memberikan minuman dingin pada Aksara.

“Ini. Minumlah! Agar kamu tidak meleleh saat terik matahari seperti ini!” Seila menarik lengan Aksara. Botol berwarna biru itu Seila letakan di telapak tangan pria ini.

“Hah, meleleh?” Aksara melirik botol minuman di tangannya. Apa yang Seila maksud dengan kata meleleh?

“Iya. Pria dingin harus minum minuman dingin di siang hari agar tidak meleleh!” Seila terkekeh. Sikap aksara yang dingin bisa saja meleleh di akibatkan teriknya matahari yang membuat bumi memanas.

“Dasar!” Aksara meminum minuman yang Seila berikan tanpa malu-malu dan menolaknya.

“Kenapa kau tahu aku ada disini?” tanyanya yang penasaran. 

“Seila gitu, lho!” Seila menepuk-nepuk dadanya berulang kali.

Aksara mengangkat tangannya lalu mengusap puncak kepala Seila. Jantung gadis itu di buat berdebar menerima perlakuan manis ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status