Share

BAB 9

Di atas sebuah rooftop, sepasang siswa sedang duduk menikmati embusan angin dan sejuknya cuaca siang ini. Rooftop ini seakan milik mereka berdua. Tidak akan ada siswa lain yang datang kemari untuk mengganggu mereka. 

Aksara mengangkat tangannya lalu mengusap puncak kepala Seila. Jantung gadis itu di buat berdebar menerima perlakuan manis ini. 

“Kenapa kau sendiri disini, Kak Aksa? Maaf tadi aku sempat membentakmu karena tidak mau di obati.” Seila sangat ingin tahu sekali tentang Aksa. Sampai-sampai dia memberanikan diri untuk bertanya-tanya tentang pria yang ada di sampingnya ini. 

“Tidak apa-apa. Aku tidak suka keramaian, aku lebih suka menyendiri. Apalagi mereka yang mengejar-ngejarku. Rasanya sungguh risih.” Aksara mau mengungkapkan isi hatinya pada Seila, menjadi populer itu tidak enak hingga bagian privasi pun terkadang orang lain sangat ingin tahu.

“Bukannya enak menjadi idola di sekolah?” tanya Seila yang tidak pernah sekali menjadi idola di tempat ia sekolah. Dia populer karena fakta bahwa Sila anak dari seorang mucikari dan setiap malam suka pergi ke bar untuk meracik minuman. Banyak yang mencibir latar belakang keluarganya.

“Tidak sama sekali.” Jika bisa memilih, Aksara ingin menjadi manusia biasa yang hidup tenang dan tidak di ikuti fansnya. Aksara sampai di buntuti jika pulang ke rumah. Atau ada penggemar yang mengirimkan kado saat weekend ke rumahnya. Bahkan ada yang datang langsung untuk mengintip kegiatan pria itu. Ada saja penguntit yang mengganggu hidupnya.

“Setidaknya kau di kenal karena prestasi dan paras yang rupawan. Daripada aku-.” Seila menghentikan ucapannya. Dia selalu menutupi rahasia bahwa dia adalah anak dari mucikari dan memiliki bar di Jakarta. Jika siswa disini termasuk Aksara tahu fakta tentang latar belakangnya. Mungkin Seila tidak punya teman lagi.  

“Kamu kenapa?” tanya Aksara yang penasaran apa yang membuat Seila merasa tidak enak menjadi dirinya saat ini.

“Tidak, hanya saja aku tidak punya teman. Banyak sekali anak yang membenciku. Sepertinya termasuk Kak Aksa!” Seila menghembuskan nafas kasar. Sepertinya di dunia ini tidak akan ada yang mau berteman dengannya. Kemungkinan Bila juga akan meninggalkannya saat ada berita asal usul Seila. Gadis ini sudah biasa hidup seperti ini. Paling teman sejatinya adalah Oboy, bartender di club milik orang tuanya yang sering meracik minuman bersamanya.

“Aku?” tanya Aksara sambil menunjuk dirinya sendiri. Kapan Aksara bilang kalau dia membenci Seila. Berinteraksi dengan orang pun jarang sekali. Bertemu dengan Seila juga hanya beberapa kali.

“Iya. Kak Aksa juga!” Telunjuk Seila menunjuk Aksara.

“Kenapa aku membencimu?” Aksara menunjuk dirinya sendiri lalu mengerutkan dahi. Mungkin dia salah paham pada sikap Aksara selama ini.

“Kenapa? Orang sangat terlihat jelas, Kak Aksa. Kau malah membuang jaket yang sudah aku cuci dan kembalikan padamu! Padahal aku cuci dengan tanganku sendiri, lho.” Seila berbohong agar Aksara mengasihaninya. Jika Seila mengatakan seperti ini, mungkin saja Aksara mau menerima jaketnya kembali dan lebih menghargai usaha orang.

“Memangnya kamu tidak memiliki mesin cuci?” Aksara heran, jaman sekarang bukannya orang serba menggunakan mesin cuci. Jarang yang mencuci dengan tangan.

“Tidak hehe!” Seila tersenyum menampilkan gigi kelincinya yang rapi.

“Kau mendekatiku saat mood aku tidak baik. Aku ingin marah dan jaket itu sebagai pelampiasannya,” jelas Aksara mencoba mengklarifikasi apa yang terjadi padanya beberapa hari ini, mood dia sangat tidak baik. Belum lagi ada gadis penguntit yang selalu mengintipnya.

“Kapan sehari saja kau tidak marah, Kak? Perasaan setiap hari.” Seila menggaruk tengkuknya. Kenapa mood pria ini sangat buruk sekali.

“Enak saja!” sanggahnya yang merasa tidak setiap hari dia marah atau mendiamkan orang lain. 

“Ya buktinya. Silahkan ingat-ingat. Dari semenjak aku pindah kapan kau berbuat baik? Bisanya hanya cemberut, diam, pergi. Itu … saja!” protes Seila meluapkan semua penilayan mengenai pria yang di sampingnya ini.

“Huh. Apa kau mengingatku yang buruk-buruknya saja? Baiknya tidak?” tanya Aksara, dia merasa punya halbaik bahkan menolong Seila waktu itu.

“Ingat, dong. Sosok hero bak thor yang ada di film Avengers. Bedanya kalau thor itu senjatanya palu. Kalau kakak senjatanya helm.” Seila terkekeh mengibaratkan Aksara sebagai sosok Thor dalam film hollywood.

“Kau bisa saja, Sei!” Aksara ikut terkekeh karena di samakan dengan sosok pahlawan dalam film yang tampan dan memiliki tubuh yang sangat bagus.

“Mana helm sang heronya?” Tanya Seila menanyakan senjata andalan Aksara saat menghajar Jefry. Ingatannya sangat tajam  mengingat momen itu. Hampir saja dia celaka dan Aksara sebagai penyelamatnya.

“Di motor, lah!” jawab Askara sambil menunjuk ke arah timur mereka.

“Adakah senjata lain yang di sembunyikan hero?”

“Tidak ada!”

“Jangan-jangan ada di balik bajumu itu?” Seila meruncingkan matanya.

“Mana, tunjukan padaku!” ujarnya lagi sambil menggelitik Aksara.

Aksara yang tidak terima, menggelitik balik Seila. Gadis ini berhasil menghiburnya. Dia menjadi tertawa lepas dan beban terasa hilang begitu saja. Aksara dapat melihat jelas kecantikan gadis ini dari jarak dekat. Senyumannya terlihat sangat manis dan menyejukkan hatinya. Tatapannya membuat hati dia yang panas dan merasa tidak baik menjadi sejuk seketika.

Ternyata dekat dengan Seila seperti ini menyenangkan juga. Aksara seolah menemukan sosok seorang gadis yang berbeda. Mereka berdua kelelahan karena saling menggelitik. 

“Tiduran disitu, yuk, Sei!” Aksara menunjuk bagian ternyaman, bersih dan bisa menatap langit lebih indah. Tempat ini adalah tempat persembunyiannya yang paling nyaman.

Mereka berbaring menatap langit yang mulai redup. “Tidak ada orang yang tahu aku sering bersembunyi disini selain kamu, Sei. Rahasiakan tempat ini, ya!” Pinta Aksara pada Seila. Gadis ini pintar menyembunyikan rahasia. 

“Oke, siap bosku!” Seila memberikan hormat dan tersenyum pada Aksara.

Pria ini melihat senyuman manis Seila lagi. “Gawat, Sei. Sepertinya akan turun hujan.”

Gemercik air dari langit membasahi tubuh mereka berdua. “Ayo kita ke kelas saja, Kak Aksa!” ajak Seila sambil menarik Aksara. Gadis itu takut tubuh mereka semakin basah.

Seila tidak melepaskan genggaman tangannya. Sementara tangan lain membawa kotak P3K tadi yang ia bawa untuk mengobati pria ini.

“Pelan, Sei. Kakiku sakit dan jalannya licin!” Aksara memperingati Seila agar lebih berhati-hati.

Benar saja. Gadis ini hampir tergelincir jika dia tidak menggenggam lengan Aksara. Pria ini segera menarik tubuh Seila yang hampir hilang keseimbangan lalu tangannya yang lain melingkari pinggang sang gadis. Mereka saling bertatapan dan tubuh mereka sangat dekat. Aksara tidak mengedipkan matanya kala melihat mata coklat indah gadis ini. Bibirnya kini mendarat di bibir indah Seila yang memiliki belahan di bagian bawah dan bagian atas cukup tipis.

Seila gugup dan tidak bisa mengedipkan matanya sama sekali. Jantungnya berdebar begitu kencang bagaikan tabuhan drum. ‘Apa ini mimpi?’ gumamnya dalam hati sambil menahan nafas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status