Share

3. Belum Saatnya

Pria itu menggerakkan netra indahnya menatap Amora yang berbaring tidak sadarkan diri di atas tubuhnya. Lalu bertanya pada Amora yang tidak sadarkan diri, “Kau yang sudah membangunkanku?”

Tak lama, pria itu pun bergerak dengan penuh kehati-hatian. Ia turun dari tumpukan tumbuhan rambat dan bunga yang menjadi pembaringannya. Lalu membaringkan Amora di sana dengan begitu lembut. Setelah memastikan jika Amora berbaring dengan posisi yang benar, ia terdiam beberapa saat. Ternyata ia mengamati wajah cantik Amora dengan pembawaan yang begitu tenang, lalu ia pun beralih mengamati ruangan di mana sebelumnya ia terbaring dengan sorot mata tak terbaca. Setelah puas mengamati ruangan dalam gua tersebut, ia kembali menatap Amora yang memiliki beberapa luka gores pada tangan dan kakinya. “Kau terluka?” tanya pria itu lagi. Keningnya agak mengernyit tipis. Namun, ia sama sekali tidak melakukan apa pun pada luka itu dan memilih untuk melangkah perlahan menyusuri lorong menuju pintu gua.

Langkahnya terlihat begitu ringan, dan ajaibnya lorong gua yang sebelumnya cukup gelap karena hanya memanfaatkan cahaya matahari yang masuk, kini terang benderang karena obor-obor di sepanjang lorong tersebut hidup dengan pendar api biru yang unik. Lalu setibanya ia dipintu gua, ia disambut oleh ratusan siluman dalam bentuk hewan, dan tumbuhan yang berlutut menyambut dirinya. Semuanya terlihat begitu senang melihat sosoknya yang begitu agung. Angin lembut menerpa sosok pria berambut perak itu, dan dirinya menatap semua makhluk yang memberi hormat padanya. Lalu tak lama, semua siluman berseru, “Kami menyambut Amagl yang agung. Selamat atas kebangkitan Anda!”

***

Amora tersentak dan membuka matanya lebar-lebar. Ia pun tersadar, jika kini dirinya sudah tidak lagi berada di dalam gua, karena bukannya melihat dinding batu, kini Amora malah melihat dinding kayu yang menguarkan aroma khas rumah kayu yang menenangkan. Amora pun segera mengedarkan pandangannya dan melihat jika itu adalah rumah sederhana yang terlihat cantik. Rumah itu sudah dilengkapi dengan peralatan rumah tangga sederhana yang juga terbuat dari kayu. Amora mengernyitkan keningnya, merasa bingung mengapa dirinya berada di sini. Padahal, Amora sendiri yakin jika dirinya kehilangan kesadaran tepat setelah dirinya tanpa sengaja mencium pria yang tertidur di dalam gua. Namun, kini Amora terbangun di atas ranjang kayu di dalam rumah kayu yang belum pernah Amora lihat atau kunjungi sebelumnya.

Amora menyentuh bibirnya. Meskipun itu ciuman yang tidak disengaja karena terjadi saat Amora ceroboh dan terpeleset, tetapi ciuman itu sangat membekas bagi Amora. Selain karena itu adalah ciuman pertama Amora, sosok yang dicium oleh Amora juga sangat menakjubkan hingga tidak bisa Amora lupakan. Meskipun hanya melihatnya sekali, tetapi hingga saat ini pun Amora masih mengingat detail wajah rupawan pria itu. Amora sudah melihat banyak pria tampan dari berbagai kalangan, entah itu pangeran kekaisaran atau bahkan rakyat biasa. Namun, Amora belum pernah melihat sosok setampan pria itu. Dia benar-benar tampan, seakan-akan semua ketampanan yang Amora lihat sebelumnya hanyalah hal palsu. Pria itu juga memiliki warna rambut yang sangat unik, hingga Amora mengingatnya dengan mudah.

Saat Amora memilih untuk turun dari ranjang kayu itu, Amora pun mencium aroma harum yang sebelumnya ia cium di dalam gua. Lalu Amora pun tersentak saat melihat sosok pria rupawan yang berada di ambang pintu. Ia masih memakai pakaian yang terakhir Amora lihat, tetapi kini rambut panjangnya sudah terikat rapi menjadi satu. Pria itu masih bungkam, tetapi ia menatap Amora dengan netra biru keperakan yang indah. Netra unik yang rasanya belum pernah Amora lihat. Entah ini hanya perasaan Amora saja atau memang benar adanya, pria yang berada di hadapan Amora ini memiliki begitu banyak hal yang menjadi pengalaman pertama bagi Amora. Gadis satu itu pun berdiri dan menyadari jika pria itu memiliki tubuh yang tinggi menjulang. Meskipun memiliki begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi Amora pada akhirnya tidak bisa membuka bibirnya sedikit pun. Amora terlalu bingung harus memulainya dari mana.

“Kenapa kau bisa berada di pulau ini?” tanya pria itu dengan suara dingin menusuk.

Amora menatapnya dan seketika merasakan aura mengintimadasi yang menekannya. Aura ini tidak pernah Amora rasakan dari siapa pun. Bahkan, Kaisar yang agung pun tidak menguarkan aura yang begitu mengintimidasi seperti ini. Padahal, Kaisar adalah sosok yang paling berkuasa di kekaisaran Bonaro, tetapi Amora tidak merasakan aura intimidasi sehebat ini darinya. Amora pun tersadar, bahwa pria yang berada di hadapannya ini bukanlah orang biasa. Tidak ada orang biasa yang memiliki aura seorang pemimpin yang begitu kental seperti ini. Orang biasa tidak mungkin memiliki kemampuan untuk menekan orang lain hingga memiliki niat untuk berlutut di hadapannya seperti ini. Amora tahu, jika saat ini dirinya harus bertindak hati-hati. Apalagi mengingat apa yang terjadi di dalam gua tadi. Kemungkinan besar orang ini memanglah seorang ahli sihir, yang memiliki pikiran gila hingga memanfaatkan gua di pulau terkutuk sebagai tempat tidur siangnya.

Meskipun sangat masuk akal jika pria berambut keperakan itu adalah seorang sihir, tetapi tidak menutup kemungkinan jika dia adalah siluman. Siluman tingkat tinggi memiliki kemampuan untuk memiliki penampilan manusia yang sempurna. “Se, Sebelum saya menjawab pertanya Anda, lebih baik Anda memperkenalkan diri terlebih dahulu. Lalu kenapa Anda bisa ada di pulau ini?” tanya Amora.

Tentu saja Amora mempertanyakan hal itu. Semua orang di kekaisaran ini jelas tahu, jika pulau Blaxland adalah pulau terkutuk yang dipenuhi oleh para siluman berbahaya. Tempat ini menjadi tempat pengasingan para perempuan yang ternoda atau melakukan kesalahan perzinahan. Jelas sekali jika ini bukanlah tempat yang aman untuk menjadi tempat tidur siang, sekali pun bagi seorang ahli sihir. Amora menatap penuh antisipasi para pria menawan yang kini tampil berbeda karena tatanan rambut panjangnya. Ia terlihat anggun, tetapi di sisi lain juga terlihat maskulin. Amora tidak yakin, tetapi intinya Amora menilai bahwa pria ini sangat menawan. Sangat menawan bagi seorang manusia. Wajah Amora pun berubah pucat pasi. Betapa bodohnya Amora melupakan sebuah kemungkinan. Amora jelas berdoa agar pria di hadapannya ini memang bukanlah seorang siluman.

“Apa manusia memang sangat mudah ditebak sepertimu?”

Amora tersentak dan menatap pria berambut perak yang kini berdiri di dekat jendela. Ia menoleh pada Amora dan bertemu tatap dengan netra cokelat milik Amora. “Ma, Manusia? Anda berbicara seolah-olah Anda sendiri bukan bagian dari kaum manusia,” ucap Amora masih berusaha berpikir jika pria yang berada di hadapannya ini adalah manusia sepertinya atau setidaknya seorang ahli sihir.

“Apakah aku terlihat seperti manusia?” tanya pria itu lagi masih dengan nada dinginnya.

Amora pun mengepalkan kedua tangannya. Ia sebenarnya merasa sangat takut saat ini. Namun, Amora tahu, jika dirinya menunjukkan rasa takutnya, itu artinya ia akan menjadi mangsa yang mudah. Ia sedikit mengangkat dagunya dan menjawab, “Anda memang tidak terlihat seperti manusia. Rasanya, tidak ada satu pun manusia yang akan bertindak gila untuk tidur di pulau terkutuk ini.”

“Pulau terkutuk?” tanya pria itu seakan-akan belum pernah mendengar hal itu sebelumnya.

Amora mengernyitkan keningnya. Tentu saja, Amora yang sudah dididik dengan ketat sebagai seorang bangsawan yang diharuskan bisa membaca lawan bicaranya, bisa membaca apa yang sebelumnya dipikirkan oleh pria itu. “Anda tidak mengetahuinya?” tanya Amora tidak percaya.

Namun, pria itu sama sekali tidak menjawab, dan hanya menatap balik Amora dengan netranya yang berkilau indah. Amora pun mengambil langkah untuk lebih menjauh dari pria itu. “Anda sebenarnya siapa? Bagaimana mungkin Anda tidak mengetahui fakta itu?” tanya Amora dengan suara bergetar.

“Apa kau yakin ingin mengetahui siapa diriku sebenarnya?” tanya balik pria itu sembari benar-benar mengubah posisi berdirinya menjadi benar-benar menghadap Amora.

Amora sebenarnya ingin berteriak jika dirinya sama sekali tidak ingin mengetahuinya. Namun, bibirnya sama sekali tidak bergerak. Tatapan pria itu tidak hanya mengunci pandangan Amora, tetapi juga mengunci seluruh pergerakan tubuh Amora. Ini benar-benar situasi mencekam, bahkan lebih mencekam daripada saat Amora dikejar oleh puluhan siluman kelaparan. Pria itu terlihat mengamati Amora yang ketakutan dalam diamnya. Tidak ada riak emosi yang bisa terlihat dari wajah atau sorot matanya. Tentu saja, bagi Amora itu adalah hal yang sangat menakutkan. Tidak bisa membaca apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain, akan menjadi sebuah kelemahan besar yang kemungkinan bisa membuat Amora diserang kapan saja.

“Sepertinya, kau tidak ingin mengetahui identitasku,” ucap pria itu sembari sedikit menarik ujung bibirnya membuat Amora menahan napasnya dengan susah payah. Tindakan pria itu memang terlihat sangat tidak sopan dan kurang ajar. Namun, karena wajahnya yang sangat rupawan dan pembawaannya yang sangat berkelas, membuat Amora tidak berdaya untuk memaafkan tindakannya begitu saja. Untuk sesaat, Amora bahkan melupakan fakta bahwa pria di hadapannya mungkin saja adalah seseorang yang berbahaya.

“Sebelumnya kau sendiri yang memintaku untuk memperkenalkan diri, jadi rasanya aku perlu melakukannya sebagai bentuk sopan santun. Terlebih, kau adalah orang yang sudah membangunkanku. Setidaknya, aku harus sedikit berterima kasih padamu.”

Amora tersadar dari lamunannya dan menatap pria itu sepenuhnya. Perkataannya terdengar sangat aneh. Ada beberapa poin yang tidak dimengerti oleh Amora di sana. Meskipun terlihat sangat mengantisipasinya, tetapi Amora juga terlihat menunggu apa yang akan dikatakan olehnya lebih lanjut. Pria itu berkata, “Aku, Xavier Miguel de Richmond.”

Kening Amora mengernyit dalam. “Aku seperti pernah mende—Apa?! Xa, Xavier?!” tanya Amora pucat pasi.

Pria yang memperkenalkan diri sebagai Xavier itu sama sekali tidak menjawab dan hanya menatap Amora dalam diam. Amora yang telah mengetahui identitas Xavier, tidak bisa tenang mendapatkan tatapan itu. Tanpa mengatakan apa pun, Amora berbalik dan berlari meninggalkan rumah kayu itu dengan derai air mata penuh rasa takut. Bagaimana mungkin Amora tidak takut, jika ternyata sosok yang sudah ia cium dan bangunkan dari tidurnya, tak lain adalah Xavier, sang Amagl terkutuk yang dipaksa untuk tidur panjang karena sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Xavier sendiri sama sekali tidak mencegah kepergian Amora. Ia malah berdiri di ambang pintu, untuk melihat arah kepergian Amora dengan tenang.

Lalu tiba-tiba, sebuah pohon yang berada di dekat rumah kayu tersebut berubah menjadi sosok manusia, benar ia adalah sosok siluman pohon salah satu pengikut setia Xavier. “Anda tidak mengejarnya?” tanya siluman pohon itu.

“Belum saatnya,” jawab Xavier singkat dan memilih menatap keindahan langit yang sudah begitu lama tidak ia lihat.

.

.

.

Gimana, penasaran enggak sih sama kelanjutannya?

Ayok jangan pelit tinggalin jejak kalian yaaa

Komen (7)
goodnovel comment avatar
mei niski sitorus
pasti penasaran, lanjut kak
goodnovel comment avatar
Nietha
sebenernya hmil gk sih, apa cumn gaean nya si ono....
goodnovel comment avatar
Kikiw
tenang banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status