Share

Episode 2

'Brakkk ....'

Terdengar suara pintu di buka dengan kasar, tepatnya di ruangan bernuansa putih. Pelakukanya tidak lain adalah sang pemilik ruangan itu sendiri. 

Ya, Jaden tengah terburu-buru masuk ke dalam ruangannya. Lalu menutup pintu kembali meskipun tidak rapat, dengan secepat kilat juga ia melepas kemeja dan celananya, kemudian ia mengambil pakaian OK atau Operation Kamer di dalam lemari dan memakainya. OK adalah pakaian khusus yang digunakan dokter saat akan melakukan operasi.

Setelah memakai pakaian OK, Jaden dengan terburu ke kamar mandi mencuci tangannya dengan sabun agar steril dari kuman. Begitu selesai ia bergegas keluar, tidak lupa ia memakai masker dan penutup kepala. 

Saat ia hendak keluar ruangannya, dengan menggunakan sikunya ia membuka pintu. Tanpa menutup pintu ruangannya kembali, ia berlari seperti orang kesetanan menuju ruang operasi di mana Aina tengah terbaring.

Begitu sampai di ruang di depan ruang operasi, terlihat Lala asisten Jaden tengah menunggu.

"Dok! Semua di dalam sudah siap, tinggal menunggu Dokter Jaden saja,'' ucap Lala cepat, seraya membukakan pintu untuk Jaden.

"Apakah pasien sudah di berikan obat bius?" tanya Jaden, begitu sampai di samping brankar yang di tempati Aina.

"Sudah!" jawab Dokter Lay.

"Bagus, sekarang kita mulai operasinya," ajak Jaden, dengan memandang Dokter Lay. 

"Yah, kita mulai. Semoga pasien bisa melewati masa kritisnya," harap Dokter Lay, karena ia merasa pesimis begitu melihat keadaan Aina.

"Dia pasti bisa melewatinya, karena dia wanita yang kuat. Aku yakin itu, dan aku berharap dia bisa bertahan," gumam Jaden tanpa sadar.

Dokter Lay dan beberapa suster yang berada di dalam ruang operasi saling berpandangan, dan sedikit heran pada Jaden yang tidak seperti biasanya.

Operasi pun berlangsung hampir dua jam, Jaden merasa lega ketika ia melakukan operasi tidak menemukan kendala berarti. 

Namun, entah mengapa tiba-tiba keadaan Aina menurun drastis. Mesin Pasien Monitor yang semula stabil, berubah menurun drastis. Bahkan, jantung Aina melemah dan membuat bunyi mesin Pasien Monitor berdenging.

"Dok! Kondisi pasien menurun," Lala berbicara cepat, dan membuat Jaden mulai panik.

Selama berkecimpung di dunia medis, hanya malam ini ia dibuat panik dengan kondisi pasien yang di tanganinya.

"Jantungnya juga mulai melemah, Dok," sambung Dokter Lay.

'Tidak, ini tidak boleh terjadi!' batin Jaden kalut.

'Kamu harus bertahan Aina, ada aku aku akan membantumu. Jangan putus harapan, jangan menyerah,' monolog Jaden, dan terlihat kedua tangannya mulai gemetar ketika bunyi nyaring Pasien Monitor menunjukkan garis lurus.

'Tiiitttt ....'

Jantung Aina berhenti beberapa detik, dan membuat Jaden semakin panik. Dengan tergesa ia menggunakan kedua tangannya menekan dada dan perut Aina, berharap denyut jantung itu kembali berdetak.

''Aina! Tidak! Kamu kuat, ayo kembali jangan membuatku takut. Kembalilah, bertahanlah," Jaden terus meracau, seraya menekan dada Aina. Namun, mesin itu masih menunjukkan garis lurus.

"Berikan aku alat pacu jantung, cepat!" teriak Jaden, dengan netra mulai berembun.

"Ini, Dok!" Dokter Lay menyerahkan alat pacu Jantung, dan di terima Jaden dengan kasar.

Tap ... tap ... tapp!

Jaden terus memberikan kejutan di area dada dan perut Aina, berharap jagung Aina menerima rangsangan itu dan jantung Aina berdetak kembali.

"Kembalilah Aina, jangan pergi! Kumohon ... ayo kembali, Aina," bentak Jaden, setelah melepaskan alat pacu jantung di samping Aina.

Jaden terus menekan dada Aina, menggunakan seluruh kekuatannya. Bahkan tanpa sadar air matanya yang sedari tadi ia tahan, tumpah juga, dan air mata itu jatuh di pipi Aina yang terlihat semakin memucat.

Tut ... tut ... tut!

Terdengar suara mesin Pasien Monitor menunjukkan detak jantung Aina kembali, Lala yang terus memantau mesin itu langsung memberitahu Jaden.

"Dokter Jaden, detak jantung pasien telah kembali. Anda sudah berhasil, Dok. Pasien kembali stabil," terang Lala seraya memegang pundak dokter yang sangat ia kagumi.

"Benarkah?" tanya Jaden tidak percaya, lalu dengan netranya sendiri ia melihat mesin Pasien Monitor terlihat jantung Aina kembali normal.

"Oh, syukurlah. Aku senang, sungguh sangat senang," gumam Jaden penuh syukur.

"Tapi, sepertinya pasien mengalami koma ... dan?" ucap Dokter Lay tiba-tiba, dan membuat Jaden yang semula lega dirundung khawatir lagi.

"Dan apa? Cepat katakan, Lay!" tanya Jaden tidak sabaran.

"Sepertinya pasien saat sadar nanti, dia akan mengalami kelumpuhan pada kakinya. Karena saya lihat luka di kakinya terlihat parah, apa Dokter Jaden tidak melihat ini," terang Dokter Lay, seraya menyingkap selimut putih yang menutupi kaki Aina.

Degh! 

'Apa lagi, ini? Aku tahu kamu terluka parah, Aina. Tapi, tetap saja aku tidak suka kamu mengalami luka seperti itu. Bahkan, benturan di kepalamu juga lumayan parah. Bisa saja kamu akan lupa ingatan,' batin Jaden diliputi kesedihan, seraya menatap wajah cantik yang terlihat pucat.

"Aku tahu, Lay. Tapi, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya tadi. Semoga dia lekas sadar dari komanya, dan semoga juga dia tidak akan terluka saat melihat kakinya lumpuh," jawab Jaden, masih menatap wajah Aina.

"Setelah ini pindahkan pasien ke ruang ICU," perintah Jaden pada Dokter Lay.

"Baik, Dokter," patuh Dokter Lay.

"Pantau terus keadaannya, sebelum aku ke sana jangan pernah tinggalkan dia. Apa kamu mengerti, Lay," ucap Jaden tegas.

"Saya mengerti, Dok," jawab Dokter Lay.

Jaden pun meninggalkan ruang operasi dengan pikiran campur aduk, salah satu sisi ia bersyukur Aina hidup kembali. Namun, di satu sisi ia takut kalau Aina tidak bisa menerima keadaannya sekarang. Selain kakinya lumpuh, dia juga akan hilang ingatan. Mengingat benturan keras di kepala Aina, saat dia kecelakaan membuat kepalanya retak.

Jaden pun kembali ke ruangannya, ia berniat mandi untuk menghilangkan keringat dan bau darah akibat operasi tadi. 

Setelah ia melepaskan pakaian OK, ia berada di bawah shower. Sengaja ia menyetel suhu air dingin untuk menghilangkan rasa lelah, dalam dirinya. Hari ini bukan hanya lelah fisik yang ia rasakan, tapi juga lelah hati. Karena selama ia di dalam ruang operasi tidak hentinya ia merasa ketakutan, dan itu pertama kalinya.

'Entah apa yang akan terjadi denganku, saat kamu tidak bisa bertahan tadi Aina. Mungkin aku tidak akan bisa lagi melakukan operasi, dan menangani pasien lagi di rumah sakit mana pun.'

'Terima kasih, kamu mau bertahan. Itu sudah cukup,' batin Jaden di bawah derasnya air shower dingin, padahal saat ini sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.

Rasa syukur Jaden, berubah seketika saat ia mengingat pria yang menjadi suami Aina. Terlihat gurat kemarahan di lehernya, bahkan kedua tangannya terkepal.

'Di mana bajingan itu, apa dia tidak mencari istrinya. Atau sekadar menanyakan kabar Aina, bedebah! Awas saja sampai semua pikiranku benar, tidak akan kumaafkan dia,' marah Jaden ketika ingat Rafael.

****

Saat Jaden dengan rasa syukurnya telah berhasil membuat Aina hidup kembali, sekaligus marah ketika ingat Rafael. Di sebuah apartemen mewah, di mana apartemen itu adalah kado pernikahan untuk Aina.

Ya, sengaja Rafael membelikan apartemen mewah itu untuk sang istri tercinta. Mengingat betapa besar cintanya pada sang istri, meskipun apartemen itu tidak di tinggali oleh sang pemilik kado. Karena Aina lebih senang tinggal di rumah bersama suami, kakaknya dan bibi yang merawatnya sedari kecil.

Terlihat di setiap dinding apartemen itu ada foto Aina dan Rafael, dengan berbagai moment ketika keduanya menghabiskan waktu, baik itu saat keduanya bulan madu dan jalan-jalan,  terlihat keduanya begitu bahagia.

Namun, ada yang aneh di apartemen itu. Mulanya apartemen itu tidak berpenghuni, tetapi di dalam apartemen sepertinya ada seseorang. Ya, sedari sore di dalam kamar mewah itu terus saja terdengar suara desahan. Meskipun di dalam kamar itu lampu terlihat mati, tapi tidak menghalangi kedua insan tengah memadu kasih terganggu.

"Sayang, lebih cepat. Sedikit lagi aku sampai," desah seorang wanita cantik di bawah Kungkungan pria tampan, dengan tubuh kekarnya dan polosnya tanpa sehelai benang pun. 

"Tunggu aku! Sedikit lagi aku juga sampai," jawab sang pria, seraya memaju mundurkan miliknya agar cepat mendapatkan pelepasannya.

Benar saja, hampir lima menit memompa tubuhnya. Sang pria yang dipenuhi keringat itu mendapatkan pelepasan, dan membuatnya mengerang.

"Akkhh ...."

Pria dan wanita itu masih menikmati moment pelepasan mereka, dengan posisi sang pria masih menindih wanita. 

"Kamu hebat, Sayang. Kamu selalu membuatku bisa bergairah seperti ini, jika sudah menyentuh tubuhmu aku akan hilang kendali. Padahal kita melakukannya sudah sedari sore, dan milikku masih mengingginkanmu," puji sang pria seraya membelai wajah wanita, yang tengah mengatur pernapasannya.

"Aku akan selalu membuatmu jatuh ke dalam pelukanku, Sayang. Karena kamu bukan milik, Aina. Tetapi hanya milikku, Aina itu terlalu naif dan polos. Dia tidak akan bisa membuatmu melayang, seperti yang kulakukan padamu," bangga sang wanita dengan memberikan kecupan di bibir pria.

'Krucukk ....'

Saat sang pria ingin menjawab, tiba-tiba perutnya berbunyi. Sesungguhnya pria itu lapar, tapi mengingat apa yang ia lakukan tadi begitu menyenangkan. Ia pun tidak ingin menyiakan kesempatan. Apalagi saat ia bisa menuntaskan hasratnya dengan puas, bersama wanita pujaannya.

"Aku lapar, kita makan dulu. Nanti kita lanjutin lagi kemesraan kita," ajak sang pria, setelah itu ia turun dari kasur. Ia mengambil celana lalu memakainya, kemudian menyalakan lampu. 

Cetek!

Lampu menyala dengan terangnya, dan membuat seisi ruangan itu terlihat jelas. Pakaian berhamburan di lantai dan kamar yang terlihat berantakan karena ulah kedua pasangan itu.

"Apa kamu tidak lapar, Sayang," tanya sang pria perhatian.

"Lapar, sih. Maunya makan kalau kamu yang suapin aku Rafa," manja sang wanita dengan mempertontonkan tubuh polos bagian atas.

"Ihh ... manja sekali," gemas Rafa, yang tidak lain adalah Rafael. Dengan mencubit hidung sang wanita karena gemas, ketika melihat sifat manjanya.

"Kalau di rumah aku tidak bisa mendapatkan itu semua, Rafa. Jadi, aku pengen kamu manjain aku di sini, ya, Sayang," rajuk sang wanita dengan posisi mulai berdiri.

''Jangan mempertontonkan itu semua, Sayang. Apa kamu mau aku menyerangmu lagi, tapi aku butuh energi dulu kalau memulainya kembali. Sekarang pakai pakaianmu dulu, dan aku akan menyuapimu makan," gumam Rafael ketika memandang tubuh polos itu sesaat, kemudian meninggalkan kamar yang penuh dengan aroma percintaan mereka.

"Benarkah? Wah, tunggu aku," binar bahagia di wajah cantik, dan rambutnya yang terlihat lepek. Karena keringat.

Sang wanita itu pun dengan cepat meraih kemeja putih milik Rafael yang tergeletak di lantai, meskipun tanpa dalaman ia dengan PD-nya melangkah keluar menyusul Rafael di ruang makan.

Rafael dan wanita itu punuh canda tawa menghabiskan makan malam, lalu mengulang kembali percintaan mereka. Tanpa tahu, jika Aina tengah mengalami kecelakaan dan hampir nyawanya melayang.

Rafael yang dibutakan napsu, tidak melihat ponselnya sama sekali. Sengaja ia non aktifkan ponselnya, agar tidak ada orang mengganggu keintimannya dengan wanita pujaannya. Ia pun melupakan hari ulang tahunnya sendiri, dan melupakan janji akan merayakan ulang tahunnya bersama sang istri tercinta makan malam romantis.

Namun, yang ada Rafael malah menghabiskan malam indahnya bersama wanita lain, dan sama seki tidak mengingat Aina barang sesaat.

****

Saat Rafael dengan wanita pujaannya, menghabiskan malam panas mereka. Di dalam ruang ICU, terlihat Jaden baru saja memasuki ruangan dengan menggunakan pakaian khusus.

'Hai, Putri Tidur. Kapan kamu membuka matamu, hemm?'

'Cepat sadar ... aku yakin kamu wanita yang kuat, Aina.'

'Apa kamu masih mengingatku, Aina. Aku adalah Jaden, pria cupu yang selalu di bully suamimu itu. Apa kamu sudah mengingatnya.'

'Jika belum, aku akan mengingatkanmu kembali siapa aku. Tapi, mungkin aku akan banyak bercerita malam ini. Jadi, kamu jangan bosan mendengar celotehanku, ya,' ucap Jaden dengan senyum kecilnya.

'Hem ... kita mulai dari mana, ya? Apa aku mulai dengan pertemuan pertama kita, Aina. Kamu setuju 'kan, jika menceritakan pertemuan awal kita.'

'Baiklah, kita mulai itu saja. Saat kita pertama kali bertemu.'

Jaden terus saja bercerita, karena ia tahu jika Aina pasti mendengar apa yang ia katakan. Meskipun ia tahu, jika Aina tidak akan menjawab atau pun merespons apa yang ia bicarakan.

Sebelum Jaden mengingat pertemuannya dengan Aina, ia memeriksa keadaan Aina terlebih dahulu, lalu membetulkan selimut Aina. Sesungguhnya ia teramat lelah, tapi rasa lelah itu seolah sirna ketika mengingat Aina tidak ada yang menunggu di ruang ICU, ia tahu pasti ada suster menjaganya tetapi ia seolah masih mengkhawatirkan Aina. 

Bayang-bayang saat jatung Aina sempat berhenti berdetak, membuat Jaden masih diliputi perasaan khawatir. Ia pun mengambil kursi, lalu duduk di samping brankar Aina, tangan kekarnya tanpa sadar berniat menggenggam tangan Aina. Namun, tangannya hanya bisa berhenti di udara. Karena ia sadar, wanita di hadapannya sudah menikah.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah elah w pikir mah bakalan cr si rafael malah cerita ke aina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status