Share

Episode 6

Mulai Bimbang

Setelah mendengar penuturan Dokter Jaden, Rafael dan Alya keluar dari ruangan serba putih itu. Langkah Rafael begitu berat, ketika ia mengingat perkataan Dokter Jaden tentang keadaan Aina istrinya.

Beruntung ada Alya yang menyanggah tubuh Rafael, terlihat pria tampan itu tidak bisa menerima jika Aina sang istri koma dan juga lumpuh pada kedua kakinya. 

"Kenapa! Kenapa Aina bisa terluka parah seperti itu, Alya? Sesungguhnya apa yang terjadi, hingga dia bisa terluka dengan luka parah di tubuhnya," tanya Rafael, seraya menoleh ke arah wanita yang mengisi hatinya selama dua tahun ini. 

Meskipun ia sadar jika Alya tidak akan bisa menggantikan tempat Aina, sebab sang istri mempunyai tempat spesial di hatinya.

"Aku juga tidak tahu, Rafa. 'Kan semalaman kita bersama, dan menghabiskan malam indah dengan memadu kasih hingga hampir pagi. Ah, bukan bahkan sampai pagi," jawab Alya sok polos, karena ia ingin menunjukkan bahwa ia telah mengambil hati Rafael. Hingga pria tampan di hadapannya seolah lupa pada sang istri.

Degh!

Rafael terkejut, begitu ia diingatkan akan perbuatannya semalam dengan kakak iparnya sendiri. Ia seolah tertampar, dikala sang istri berjuang antara hidup dan mati, ia malah menghabiskan malam panas bercinta dengan Alya kakak istrinya sendiri. Ia pun mulai bimbang dengan perasaannya sendiri.

'Apakah aku masih pantas disebut seorang suami, aku selalu saja menyakiti hati Aina. Bahkan saat masih pacaran pun, aku selalu menduakan cinta Aina bersama wanita lain. Bahkan sekarang lebih parah, tanpa berdosanya aku malah menjalin hubungan terlarang dengan Alya, Kakak Aina sendiri,' sisi baik dalam hati Rafael menyalahkan perbuatannya selama ini.

'Kecelakaan yang dialami Aina bukan salahmu, Rafael. Itu sudah takdir, dan kamu tidak perlu menyalahkan dirimu. Kamu menjalin hubungan dengan wanita lain juga bukan salahmu, tapi salah Aina yang tidak bisa memuaskanmu. Dia hanya menjadi wanita polos, tanpa tahuenyenangkan hati pasangannya,' sisi gelap dalam diri Rafael mempengaruhi.

"Bisa tidak! Kamu tidak membahas tentang kita semalam, yang katamu menghabiskan waktu dengan bercinta. Aina sedang kecelakaan, dan dia koma. Kamu masih dengan enteng bicara begitu? Kakak macam apa kamu, Alya!" kesal Rafael, dengan alibi menyalahkan Alya. 

"Kok kamu menyalahkan aku saja, Rafael! Bukankah kamu juga menikmati malam panas kita semalam, bahkan kamu selalu meminta lagi dan lagi. Aku ini kamu anggap apa, sih, dalam kehidupanmu. Jangan bilang, aku hanya pelampiasan napsumu saja, berengsek!" marah Alya dengan memukul dada Rafael.

Greepp!

Tanpa banyak bicara, Rafael membawa tubuh Alya ke dalam dekapannya, ia tidak bisa menyalahkan wanita dalam dekapannya karena Aina kecelakaan. Ia menjalin hubungan dengan Alya juga bukan karena paksaan, melainkan karena ia juga menaruh hati pada kakak iparnya itu. Ya, ia telah jatuh cinta pada Alya. Namun, apakah itu benar-benar cinta atau tidak ia pun tidak tahu. Yang ia tahu, hanya Alya yang bisa memenuhi hasrat besarnya.

"Hiks ... Kamu jahat, Rafael. Bukanya kata kamu mencintaiku, tapi kenapa saat Aina dalam masalah atau apa pun. Kamu selalu menyalahkan aku," tangis Alya pecah, di dalam dekapan pria yang ia cintai. 

Namun, detik berikutnya ia tersenyum samar dan itu ia lakukan masih dalam dekapan Rafael tanpa Rafael tahu. Ia hanya menangis pura-pura, agar ia selalu mendapatkan perhatian dari pria yang tengah mendekapnya saat ini, ia juga ingin pria yang dicintainya menyalahkan dirinya sendiri. Karena bila itu terjadi, ia pasti akan terkena imbasnya. Rafael pasti akan menjauhinya, ia tidak mau itu terjadi.

"Sstt ... maafkan aku, Sayang. Aku minta maaf karena tanpa sadar menyalahkanmu, semua bukan salahmu. Hanya saja, saat ini aku merasa tidak terima kalau Aina koma dan saat dia sadar nanti kakinya juga tidak sempurna lagi."

"Aku berpikir, bagaimana kehidupanku ke depannya nanti. Lalu bagaimana saat aku membutuhkan dia, atau saat aku ingin mengajaknya ke pesta dan bertemu dengan rekan bisnis atau pun di acara lainnya. Aku akan merasa malu, Alya," keluh Rafael tanpa sadar, ia menunjukkan sifat aslinya. Apabila ia kecewa dengan keadaan sang istri yang tidak bisa berjalan, dan lumpuh.

"Masih ada aku, Sayang. Aku yang akan menemanimu, ke mana pun kamu pergi. Aku akan mendampingimu, jika itu yang kamu khawatirkan," ucap Alya dengan menegadah, memandang pria yang sedikit tinggi darinya.

"Kamu tenang saja, aku cantik dan sempurna. Rekan bisnismu pasti akan senang bila aku yang mendampingimu, dari pada Aina yang cacat itu," sombong Alya dengan membingkai wajah Rafael, tanpa sungkan dan tanpa rasa malu lagi. 

Karena ia merasa lebih segalanya dari Aina adiknya sendiri saat ini. Sungguh ia telah buta akan cinta, karena dengan teganya ia malah senang saat adiknya dalam kondisi lumpuh.

"Ahh ... kamu benar juga, Sayang. Maaf, sesaat aku melupakanmu. Aku senang sekarang, di saat sedih seperti sekarang ini masih ada kamu yang menghiburku," senang Rafael dan tanpa sungkan memberikan kecupan singkat di bibir Alya.

Setelah membicarakan keadaan Aina, Rafael dan Alya pun pergi menuju ruang ICU. Tanpa mereka sadari jika di belakang mereka ada sepang mata dan telinga mendengar percakapan mereka, yang sama sekali tidak punya empati pada Aina. Wanita tengah terbaring di ruang ICU.

***

Ya, saat Alya dan Rafael tengah berbicara bahkan diselingi adegan romantis. Tepatnya di tengah lorong dekat ruang Dokter Jaden, tanpa mereka sadari percakapan itu di dengar oleh pria berkemeja hitam, yang tidak lain adalah Dokter Jaden ketika berniat pulang.

Dokter Jaden berpikir kalau Aina sudah ada yang menunggu, maka ia pun memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Karena percuma saja saat ia berada di rumah sakit, sudah ada suaminya yang menunggu.

Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruangan kerjanya ia dikejutkan dengan mendengar semua percakapan Rafael dan Alya, seketika itu membuatnya marah. Bahkan tanpa sadar ia meninju dinding yang berada di sisi kanannya, untuk meluapkan rasa kesal hampir memenuhi rongga dadanya.

"Berengsek kalian! Bagaimana bisa ada manusia seperti kalian di dunia ini, ketika melihat keluarga kalian bahkan orang yang kalian sayangi itu terbaring sakit. Tapi, kalian sama sekali tidak ada empati sedikit pun," marah Dokter Jaden dengan meninju dinding berwarna putih itu, hingga punggung tangannya mengeluarkan darah.

Bugh! Bugh! 

Dokter Jaden terus meninju dinding, dan sama sekali ia tidak merasakan sakit di tangannya, karena dalam hatinya ia merasa marah, dan kasihan dengan kehidupan Aina kedepannya nanti.

'Kasihan sekali kamu, Aina. Kamu orang baik, tapi kenapa kamu di kelilingi orang-orang jahat, dan menusukmu dari belakang. Semoga kamu nanti kuat, dan tabah. Hanya doa baik itu yang bisa kupanjatkan untukmu, aku pun berharap kamu cepat sadar biar melihat sendiri kebusukan mereka,' batin Dokter Jaden, dengan mengepalkan kedua tangannya.

Saat Dokter Jaden melangkah, luka di punggung tangannya masih mengeluarkan darah. Bahkan darah itu menetes di lantai, setiap Dokter Jaden melewati. Kebetulan dari arah berlawanan ada salah satu dokter tidak kalah tampan darinya, pria itu tidak lain adalah sahabatnya sendiri.

"Hai ... Kamu mau pulang, Jaden?" tanya Dokter Samuel, masih belum mengetahui luka di tangan sahabatnya.

"Hmmm ...," jawab Dokter Jaden tanpa minat.

"Kamu ini! Setiap ngobrol denganku selalu datar, tapi pada yang lain tidak. Kamu kenapa, sih, sama aku. Apa aku berbuat salah denganmu?" tanya Dokter Samuel merajuk.

"Kalau tidak ada hal penting aku pergi," jawab Dokter Jaden tanpa repot menjawab pertanyaan sahabatnya.

Namun, langkah Dokter Jaden di hentikan Dokter Samuel ketika ia melihat noda darah di lantai yang berasal dari tangan sahabatnya.

"Berhenti kamu, Jaden! Apa kamu gila, hah! Kamu mengabaikan luka di tanganmu, apa kamu pantas di sebut seorang dokter, hah!" panik sekaligus marah Dokter Samuel, ketika melihat punggung tangan Dokter Jaden yang terkoyak karena luka.

"Aku tidak apa-apa, Sam. Berhentilah khawatir seperti ibu-ibu di pasar," kekeh Dokter Jaden, saat melihat kepanikan di wajah sahabatnya.

"Berhenti tertawa, Jaden! Atau aku akan melakban itu mulut, sekarang ayo ke ruanganku biar kuobati lukamu itu. Apa kamu mau tanganmu infeksi lalu di amputasi, hmm," Dokter Samuel tanpa sadar menakut-nakuti Dokter Jaden, seraya menarik Dokter Jaden ke ruangannya yang kebetulan tidak jauh.

"Aku bukan anak kecil, Sam. Aku ini dokter, sama sepertimu. Jadi berhentilah menakutiku, karena aku tidak takut dengan omonganmu itu," kekeh Dokter Jaden, yang pasrah mengikuti ke mana sahabatnya membawanya pergi.

Dokter Samuel hanya diam, ia terlalu kesal pada sang sahabat. Ia tahu betul sifat Dokter Jaden, yang ketika marah akan melampiaskan kemarahan dengan menyakiti dirinya sendiri.

Cekelek!

Dokter Samuel dan Dokter Jaden melangkah masuk menuju meja, dan tanpa rasa takut Dokter Samuel memerintahkan sahabatnya duduk di kursi depan meja kerjanya.

"Duduk!" perintah Dokter Samuel datar, dan langsung berlari mencari kotak P3K. Lalu dengan langkah cepat ia kembali menuju meja kerjanya, yang telah ada Dokter Jaden.

Dokter Jaden hanya menurut, ia duduk dengan tenang dan ia sama sekali tidak merasakan luka di tangannya.

"Ulurkan tanganmu yang luka," pinta Dokter Samuel dengan raut wajah serius.

"Aku tidak apa-apa, Sam," kekeh Dokter Jaden, dengan ogah mengulurkan tangannya.

"Aku tahu kamu tidak apa-apa, tapi tanganmu tidak. Cepat berikan tanganmu itu, Jaden! Sebelum aku memberitahu seseorang, yang paling kamu takuti!" ancam Dokter Samuel, dan membuat Dokter Jaden tidak berkutik.

"Jangan menghubungi pria tua itu, aku tidak mau dia datang hanya luka kecil ini," pasrah Jaden dengan mengulurkan tangannya, detik berikutnya Dokter Samuel pun mulai membersihkan luka dan mengobati.

''Katakan! Apa yang membuatmu melukai dirimu seperti ini, rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melihatmu melakukan kegilaanmu lagi. Ya, setelah kamu pindah sekolah ke America waktu itu," tanya Dokter Samuel, setelah membalut luka Dokter Jaden.

Dokter Jaden menerawang, mengingat saat-saat ia merasa dalam titik terendah ketika harus pindah sekolah. Ya, ketika ia tidak bisa meneruskan sekolah di SMA Garuda waktu itu. Karena ia seperti merasa kehilangan seseorang begitu dalam, dan tanpa sadar ia menyakiti dirinya sendiri saat ia tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya karena tidak bisa menemui seseorang.

Dokter Jaden ketika itu merasa kehilangan sosok wanita, yang membuatnya seperti dihargai. Wanita itu tidak lain adalah Aina, dan hanya wanita itu yang bisa menjadikan ia sosok lemah sekaligus kuat dalam hitungan detik.

Dokter Samuel yang menyadari perubahan sahabatnya seketika mengerti, hanya satu wanita yang bisa membuat sahabatnya itu kembali menyakiti dirinya sendiri.

"Apa karena wanita itu lagi, Jaden? Demi Tuhan, Jaden. Ini sudah 9 tahun, apa kamu tidak bisa melupakan wanita itu, toh, dia itu bukan siapamu. Sadarlah, kamu sudah punya Sania yang saat ini tengah menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Apa kamu tidak pernah mencintai wanitamu itu, hmm?" kesal Dokter Samuel, dan rasa gemasnya pada sang sahabat.

"Aku tidak tahu, Sam. Soal Sania, aku menyanyanginya. Bahkan aku selalu menjaga hatiku untuknya, dan aku tidak pernah berselingkuh dengan wanita mana pun saat dia kuliah di Belanda.''

"Tapi, saat wanita itu datang. Dengan luka yang sangat parah, bahkan detak jantungnya hampir berhenti berdetak. Perasaanku jadi kacau, apalagi saat melihat kedua orang itu yang dengan seenak hatinya menyakiti wanita itu. Membuatku marah, dan rasanya tangan ini ingin sekali menghajar kedua orang itu," keluh Dokter Jaden, dengan ekspresi marah. Bahkan sorot matanya memancarkan kebencian saat mengingat Rafael dan Alya.

"Wanita! Dua orang itu? Siapa mereka, Jaden?" tanya Dokter Samuel, mulai penasaran dengan apa yang dikatakan sahabatnya.

"Aina, Rafael dan Kakak Aina," jelas Dokter Jaden jujur.

"Oh, pantesan saja kamu melakukan hal bodoh ini. Semua karena wanita itu lagi, ckck!" ejek Dokter Samuel, dengan menekan luka Dokter Jaden dengan kekuatannya.

"Akhh ... apa yang kamu lakukan, Sam! Ini sakit," keluh Dokter Jaden, mengaduh dan langsung meniup lukanya yang sudah diperban.

"Wah ... sakit ternyata, ya, kukira tidak sakit. Bukannya tadi kamu bilang lukamu itu tidak sakit. Setelah kamu berkata jujur padaku sekarang kamu merasa kesakitan, dasar pria aneh. Hahaha,'' ejek Dokter Samuel dengan tawa memenuhi ruang kerjanya.

"Stop! Aku mau pulang, tapi aku serahkan wanita itu padamu. Rawat dia, sekarang dia berada di ruang ICU, karena aku tidak akan masuk selama tiga hari. Lakukan dengan benar, dan jangan mengabaikannya barang sedikit pun," perintah Dokter Jaden tanpa menunggu jawaban sahabatnya.

"Hai ... aku sudah punya pasien yang tidak bisa kutinggalkan, aku tidak mau!" tolak Dokter Samuel keras, tapi tidak dihiraukan oleh Dokter Jaden.

'Sial! Seenaknya saja dia menyuruhku merawat wanita itu, tapi ini juga kesempatanku untuk melihat seperti apa wanita yang membuat Jaden hingga hampir depresi waktu itu,' pasrah Dokter Samuel, dengan rasa penasaran ingin melihat wajah Aina.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lysa_Yovita22
Sudah dibaca marathon. Lanjut, Kakk.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status