Share

Episode 7

 Tidak Tenang

'Apakah aku harus memeriksa keadaannya terlebih dahulu, sebelum aku pulang?' batin Dokter Jaden, setelah keluar dari ruangan Dokter samuel.

'Tapi, di sana ada Rafael. Apakah aku bisa menahan diri lagi, saat bertemu dengannya? Namun, kalau aku tidak melihat Aina sebelum pulang. Aku tidak akan tenang,' monolog Dokter Jaden bimbang.

Langkah Dokter Jaden terasa berat, ketika ia ingin melangkah keluar dari rumah sakit. Ia pun merasa tidak tenang, dan tidak tega meninggalkan Aina saat bersama Rafael dan Alya.

Padahal Dokter Jaden sudah berada di lobby rumah sakit, dan ia berniat ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Namun, urung ia memutuskan kembali. Karena ia memang tidak akan bisa tenang bila belum memastikan keadaan Aina baik-baik saja. Meskipun ia tahu, kalau wanita yang tengah terbaring koma itu memang sudah tidak apa-apa, dan dalam kondisi stabil.

Tap ... tap ... tap! 

Dokter Jaden memutar langkahnya kembali memasuki rumah sakit, tujuannya satu yaitu ruang ICU. Di mana Aina tengah terbaring bak putri tidur, bahkan ia sedikit mempercepat langkahnya seolah ia akan bertemu dengan kekasihnya sendiri. 

Ketika ia sampai di depan pintu ruang ICU, ia memakai pakaian khusus terlebih dahulu dan tidak lupa mencuci tangannya.

Cekelek!

Degh!

Dokter Jaden terkejut saat melihat Rafael duduk bersama Alya tengah menunggu Aina, terlihat Rafael merangkul mesra tubuh Alya dan  menaruh kepala Alya di bahu kekarnya.

'Tidak punya hati sama sekali mereka! Kupikir, saat Rafael menyesali diri tadi dia akan menjauhi wanita ini. Tapi nyatanya tidak, ia malah mempertontonkan kemesraan mereka di depan Aina, dan saat sang istri tengah koma,' geram Dokter Jaden, seraya mengepalkan kedua tangannya. Hingga telapak tangannya memutih, bahkan urat di lehernya begitu kentara.

Namun, Dokter Jaden sekuat tenaga menahan diri agar tidak membuat keributan di dalam ruang ICU. Ia masih memikirkan tentang Aina, karena ia tidak mau membuat ruang ICU itu hancur karena ulahnya nanti. Begitu ia menghajar Rafael, yang saat ini tengah membelakanginya.

"Ekhmm ....!''

Sengaja Dokter Jaden berdehem untuk mengagetkan kedua pasangan yang tengah bermesraan itu, untuk menghentikan kegiatan mereka.

Rafael dan Alya yang dalam posisi saling berpelukan seketika menoleh ke sumber suara, dan dalam hitungan detik keduanya terkejut. Lalu Rafael dengan cepat melepaskan pelukannya pada Alya. Takut jika Dokter Jaden berpikiran buruk tentangnya, lalu nanti mengadukan pada sang istri bila Aina sadar nanti.

"E--eh, ada Dokter. Mau mengecek keadaan istri saya, ya, Dok?'' tanya Rafael gugup, karena ia takut hubungan dengan kakak dari istrinya diketahui orang lain.

"Ya! Saya datang ke mari ingin mengecek keadaan 'ISTRI ANDA, TUAN RAFAEL! Tapi, sepertinya saya malah melihat sesuatu yang mencurigakan?!" sindir Dokter Jaden pada Rafael, bahkan sorot matanya telah dipenuhi kemarahan.

Bahkan saat Dokter Jaden bicara, ia menekan kata istri, karena ia ingin mengetahui apa reaksi Rafael ketika ia menanyakan perihal adegan mesra Rafael dan Alya tadi.

"Oh--oh, itu bukan seperti yang Anda pikirkan, Dokter. Tadi, Kakak Ipar saya kepalanya pusing. Jadi, tadi saya menyusruh Kakak Ipar Alya beristirahat di bahu saya sebentar," bohong Rafael dengan memandang Alya, berharap Alya ikut berbohong dan membenarkan ucapannya.

"Benar, Dok. Kepala saya tadi memang pusing, jadi saya bersandar sebentar," sambung Alya dengan kebohongan juga.

"Ciihh! Apakah kalau kepala pusing harus seintim itu, seolah kalian tengah bermesraan, dan tidak tahu tempat!"

"Ini adalah rumah sakit ... jadi, stop mengumbar kemesraan kalian! Apalagi tempat ini paling steril, kalau bisa yang menjaga pasien di sini satu orang saja. Mengerti!'' ucap Dokter Jaden dengan nada marah.

"Baik ... kami mengerti, Dokter," jawab Rafael dengan nada pasrah.

"Sekarang keluarlah, karena saya ingin memeriksa keadaan pasien," usir Dokter Jaden, lalu ia melangkah menghampiri brankar di mana Aina masih terbaring, ia lebih fokus memandang Aina yang tengah menutup matanya. Ia pun tidak melihat lagi Rafael dan Alya lagi, hingga keduanya pergi.

"Kita keluar dulu, Alya," ajak Rafael, dan langsung manarik tangan kekasih gelapnya itu. Alya yang mendapatkan tarikan di tangannya hanya bisa pasrah, dan mengikuti langkah Rafael keluar dari ruangan ICU.

Ketika Rafael dan Alya telah keluar, Dokter Jaden mulai memeriksa keadaan Aina hingga dalam beberapa menit. Setelah itu ia sedikit bernapas lega, saat melihat kondisi Aina yang semakin membaik.

'Syukurlah ... kamu sudah melewati masa-masa kritis, dan keadaanmu semakin membaik Aina. Semoga kamu lekas sadar setelah ini, aku yakin kamu wanita yang kuat dan pasti akan menerima kekuranganmu nanti,' gumam Dokter Jaden lirih seraya memandang wajah Aina dengan tatapan teduh.

"Mungkin dalam beberapa hari aku tidak bisa merawatmu, tapi ada dokter yang akan menggantikanku nanti."

"Aku tahu, kamu pasti bertanya kenapa aku tidak datang mulai besok 'kan? Karena aku ingin menenangkan pikiranku dahulu, dan juga memahami apa yang ada dalam hatiku saat ini. Setelah kehadiranmu, Aina," lirih Dokter Jaden, tanpa sadar tangannya membelai rambut panjang hitam legam itu.

"Kuharap saat aku kembali ke rumah sakit, aku bisa melihatmu membuka mata. Aku rindu melihat sorot matamu yang begitu indah, jadi kamu harus cepat sadar. Biar aku cepat kembali ke rumah sakit, untuk melihatmu."

"Aku pamit ... semoga mimpi indah, dan lekas sadar, Aina," pamit Dokter Jaden sedikit tidak rela, tapi ia tetap melangkah keluar.

Saat Dokter Jaden telah keluar, di depan pintu ruang ICU

Terlihat Rafael dan Alya tengah berdebat. 

"Kamu pulang dulu, Alya. Biarkan aku di sini menemani Aina, kasihan dia di sini sendirian," rayu Rafael agar Alya pulang terlebih dahulu.

"Aku tidak mau, Rafa. Kalau kamu tidak mau pulang, aku juga tidak mau pulang!" rajuk Alya dengan pendiriannya.

"Jangan gila kamu, Alya. Aina saat ini terbaring koma, tapi kamu masih mementingkan dirimu sendiri. Kakak macam apa kamu, hah!" kesal Rafael, setelah itu ia masuk kembali ke dalam ruang ICU untuk menjaga istrinya.

"Rafael! Rafael! Aku tidak mau pulang kalau kamu tidak mau ikut pulang," kekeh Alya, dan berniat menyusul Rafael ke dalam ruang ICU, tapi di halangi oleh Dokter Jaden.

"Berhenti! Jangan masuk ke dalam, Nona. Cukup satu orang menjaga pasien, kalau Anda ingin menunggu. Anda boleh duduk di situ," saran Dokter Jaden dengan menunjuk deretan kursi yang tidak jauh darinya berdiri.

Alya yang kesal karena tidak diperbolehkan masuk, langsung memutar tubuhnya dan berniat pulang ke rumahnya.

'Aku pasti akan membuatmu pulang, Rafael dan aku sudah tahu caranya. Untuk kali ini kamu boleh menunggu Aina sepuasmu, tapi dua hari setelah itu kamu adalah milikku,' serigai Alya dengan melangkah keluar rumah sakit, lalu berjalan ke arah jalan raya untuk menyetop taxi dan ia berniat pulang.

Saat Alya telah dalam perjalanan pulang, di dalam rumah sakit terlihat Dokter Jaden baru saja ke luar. Namun, Rafael yang sadar belum menanyakan keadaan Aina, mulai berlari dan menghampiri Dokter Jaden untuk menanyakan perkembangan keadaan sang istri.

"Dokter, tunggu! Bagaimana keadaan istri saya, apakah dia akan cepat sadar? Lalu bagaimana dengan keadaan kakinya, apakah kakinya bisa sembuh dan kembali normal?" tanya Rafael bertubi, dan berharap Dokter Jaden memberikan kabar baik untuknya.

'Huft ....'

Terlihat Dokter Jaden menghela napas, sesungguhnya ia sangat malas berbicara dengan pria di depannya. Namun, sebagai seorang dokter dan kebetulan ia tengah merawat istri dari pria di hadapannya. Mau tidak mau ia harus menjelaskan keadaan Aina pada Rafael, dan ia juga harus bersikap profesional tanpa menggunakan perasaan pribadinya yang kebetulan tidak menyukai Rafael.

"Anda banyak berdoa saja, semoga Istri Anda cepat siuman. Untuk luka di kaki Istri Anda, seperti yang saya katakan di dalam ruangan saya. Kalau Nyonya Aina mengalami kelumpuhan, meskipun tidak permanen. Anda harus mensuport Istri Anda, dan memberikan semangat serta dukungan agar Istri Anda tidak terpuruk dengan keadaannya yang sekarang," jelas Dokter Jaden panjang, serta memberikan nasehat pada Rafael.

Degh!

Rafael yang mendengar penjelasan Dokter Jaden, tetap saja terkejut. Seolah ia tidak menerima jika istri cantiknya selama ini akan menjadi wanita cacat, dan dalam sesaat ia berpikir bagaimana dengan kehidupannya nanti saat ia menjalani rumah tangganya bersama Aina. Ia tidak mau dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, karena mempunyai istri cacat.

'Bagaimana ini, kalau Aina lumpuh. Pasti banyak teman-teman, dan rekan bisnisku akan memandang sebelah mata. Bisa jadi, Mereke akan menggolokku bahkan merendahkanku ketika mempunyai istri yang cacat,' monolog Rafael dengan berandai.

"Aku tahu apa yang Anda pikirkan, Tuan. Setelah saya menceritakan keadaan Istri Anda, pasti Anda merasa malu bila mempunyai istri yang cacat dan tidak sama lagi seperti sebelumnya, bukan?!'' sarkas Dokter Jaden dengan sorot mata kemarahannya, ketika melihat Rafael yang hanya terdiam setelah ia menjelaskan keadaan Aina.

"Ti--tidak, Dokter. Saya tidak berpikir seperti yang Anda katakan tadi, saya hanya sedih mendengar penuturan Anda tentang luka yang dialami istri saya."

"Saya tidak malu, sungguh. Bagaimana pun Aina tetap istri saya, meskipun keadaannya tidak lagi sama," bohong Rafael.

"Bagus! Saya pegang ucapan Anda, Tuan Rafael!''

"Satu lagi, saya harap Anda bisa menjaga Istri Anda dengan baik. Meskipun saya tahu, Anda adalah orang yang sibuk. Untuk saat-saat ini, tinggalkan dulu pekerjaan Anda. Temani Istri Anda, karena Sebaik-baik dokter atau pun suster yang menunggu pasien, itu lebih naik keluarga terdekat terutama Anda suaminya," saran Dokter Jaden, dengan menahan rasa sesak di dadanya.

Dokter Jaden tahu apa yang ia katakan tadi belum tentu Rafael akan melakukannya, tapi setidaknya sebagai seorang dokter ia telah menjalankan kewajibannya dengan baik.

"Tentu saja, Dokter. Terima kasih atas saran, Anda," jawab Rafael sopan, dan mengulurkan tangan pada Dokter Jaden sebagai ucapan terima kasih.

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dokter Jaden setelah melepaskan tautan tangannya, tanpa ada senyuman di wajahnya.

Dokter Jaden berjalan dengan langakah cepat, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Ia hanya ingin cepat pulang ke apartemennya, dan mandi air dingin untuk mendinginkan pikirannya. 

Ia pun berniat pergi liburan, untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang semalaman memenuhi pikirannya. Tidak lain ketika ia pikiran terus tentang segala hal berkaitan dengan Aina.

Setelah sampai di parkiran, ia mulai memasuki mobil SVU berwarna putih. Setelah itu ia mulai mengendarai dengan sedikit kecepatan, saat ia tengah mengendarai mobil. Tiba-tiba ponselnya berdering, dan menunjukkan nomer telepon yang sudah sangat ia kenal. 

Dengan sedikit senyuman, ia  memasang earphone di telinganya tanpa harus memegang ponsel canggih yang berada di kotak kecil samping ia mengemudi.

Drrrttt!

📲 Pria Tua

"Hai, Boy. Kenapa semalam kamu tidak datang di acara makan malam, apa kamu lupa kalau kamu sudah punya janji dengan Pria Tua ini," sapa seseorang dengan suara serak, yang tidak lain adalah kakek Jaden bernama Mark Tamawijaya.

"Ini semua karena perintah Anda sendiri, Pak Tua. Hingga aku tidak mempunyai waktu sekadar beristirahat karena banyaknya pasien di rumah sakit," kekeh Dokter Jaden, dengan sedikit menyindir sang kakek.

"Benarkah? Kalau begitu, tinggalkan saja pekerjaan itu. Aku juga menyesali sudah menyuruhmu untuk terjun dalam dunia medis, padahal kamu tidak menyukai pekerjaanmu itu," sesal Kakek Dokter Jaden.

'Ya, mungkin kemarin aku masih tidak menyukai pekerjaan yang aku lakukan beberapa tahun ini dengan menjadi seorang dokter. Namun, setelah melihat Aina kembali. Bahkan dengan luka yang sangat parah di tubuhnya, aku bersyukur bisa menjadi dokter yang mampu menyelamatkan wanita itu saat dalam kondisi kritis,' batin Dokter Jaden, dengan rasa syukurnya.

Jika awalnya Dokter Jaden memang tidak menyukai pekerjaan sebagai seorang Dokter, karena ia lebih senang bekerja di kantor. Tapi, semua terlihat berbeda pemikiran setelah kehadiran Aina kembali, dan ia pun mensyukuri hal itu. Sebab di rumah sakitlah tempat ia bertemu kembali dengan Aina, wanita yang sempat ia dambakan 9 tahun silam.

''Untuk kali ini aku tidak bisa berhenti, Pak Tua. Mungkin aku mulai menyukai pekerjaanku, karena masih banyak pasien yang masih membutuhkan diriku," jawab Dokter Jaden dengan menerawang mengingat wajah Aina dalam kondisi Koma.

"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Jika waktunya tiba, dan kamu telah lelah bekerja sebagai seorang dokter. Maka kembalilah menjadi dirimu sendiri, seperti yang kamu inginkan," pesan sang kakek dengan nada penuh sayang.

"Tentu saja aku pasti kembali, hanya menunggu waktu itu kapan," Dokter Jaden pun menghela napas, karena ia tidak tahu kapan ia akan kembali bekerja seperti yang ia inginkan.

"Apakah kamu sudah makan, Nak?" tanya pria tua dengan nada perhatian.

"Belum, hanya tadi pagi minum kopi," jujur Dokter Jaden, yang memang belum sarapan sedari pagi.

"Dasar anak nakal, sudah Kakek bilang makan tepat waktu. Kenapa selalu telat, bagaimana kamu bisa di sebut seorang dokter jika menjaga diri sendiri tidak bisa," marah Kakek Mark.

"Kalau kamu tidak bisa menjaga dirimu dengan baik, kembalilah ke rumah. Biar Kakek yang memperhatikanmu, Boy," nasehat Kakek Mark, dengan terselip perasaan khawatir pada cucu kesayangannya.

"Aku tidak apa-apa, Kek. Tenang saja, aku tidak akan mati gara-gara tidak sarapan saja. Sebentar lagi aku akan makan, jadi Kakek jangan khawatir lagi, ya," jawab Dokter Jaden lembut, menenangkan kegelisahan sang kakek agar tidak khawatir lagi.

"Baiklah, Kakek percaya padamu. Kalau kamu bisa menjaga dirimu dengan baik, karena kamu seorang dokter," pasrah Kakek Mark, dengan nada sedikit tenang.

"Apa Kakek sudah minum obat? Jangan sampai telat. Makan tepat waktu, dan jangan banyak pikiran. Karena jagung Kakek akan sakit jika mengabaikan saran dokter," tanya dan perhatian Dokter Jaden pada sang kakek, ketika ia teringat Kakeknya menderita penyakit jantung.

"Tentu saja sudah, semua asisten di sini memperhatikan keadaanku seperti perintahmu. Jika Kakek menolak, mereka mengancam akan melaporkannya padamu," jujur Kakek Mark.

"Baguslah, jaga diri Kakek. Mungkin beberapa minggu nanti aku tidak bisa pulang ke rumah. Karena ada pasien yang tidak bisa kutinggalkan," ucap Dokter Jaden, sedikit tidak enak hati karena sudah hampir sebulan ini ia tidak pulang mengunjungi Kakeknya.

"Tidak apa-apa, Kakek mengerti. Jaga dirimu juga, Nak. Jangan lupa makan, Kakek tidak mau kamu sakit. Maafkan Kakek sudah mendorongmu bekerja sebagai seorang dokter," pesan dan sesal Kakek Mark.

"Tentu saja, Kakek jangan khawatir. Jangan meminta maaf lagi, karena pekerjaan Jaden saat ini, mulai Jaden sukai," jawab Dokter Jaden menenangkan.

"Aku tutup dulu, Kek. Karena aku masih di jalan menuju apartemen," sambung Dokter Jaden.

"Iya, kamu hati-hati di jalan," jawab Kakek Mark, setelah itu ia menutup sambungan telepon.

Tut.

Setelah sambungan terputus, Dokter melajukan kembali mobilnya dengan sedikit kecepatan. Hingga tidak sampai lima belas menit ia pun sampai di salah satu apartemen mewah yang berada di Jakarta pusat.

****

Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, di dalam kamar bercat merah muda Alya dengan pakaian seksi dan terbuka di bagian dadanya. Terlihat ia tengah mengambil ponsel yang berada di atas laci, kemudian ia memotret dirinya sendiri dengan berbagai pose gaya begitu menggoda.

Cekrek ... cekrek!

'Ah ... foto ini terlihat bagus sekali, akan kukirimkan foto ini pada Rafael. Pasti dia tidak akan bisa menahan dirinya untuk menyentuhku, bila aku berfoto menggoda seperti ini,' kekeh Alya dengan serigainya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status