Naya tersenyum saat menatap tas makanan yang dia bawa. Di dalam sana, Ibunya sudah menyiapkan makanan dan kue yang banyak untuk diberikan pada Rezal sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu anaknya. Entah kenapa wanita itu terlihat bersemangat saat Naya menceritakan hari pertamanya magang. Ibu Naya seolah memiliki perasaan bagus untuk nasib anaknya.
Lift terbuka dan Naya telah sampai di lantai 6, lantai di mana tempat departemen humas dan departemen keuangan berada.
"Selamat pagi!" sapa Naya pada beberapa karyawan yang sudah datang. Dia menyalami satu-persatu karyawan tersebut sebagai rasa sopannya. Bibirnya tidak berhenti untuk tersenyum. Entahlah, dia merasa bahagia saat ini.
"Adem banget sih, masih pagi udah dikasih senyuman manis," ucap Raga setelah melihat tingkah Naya.
"Masih pagi, Mas. Jadi harus semangat!"
"Gini terus ya, Nay. Mas Jedi seneng dapet energi positif dari kamu". Jedi berjalan mendekat dan berakting seolah-olah sedang menghirup aura Naya.
"Dih, nafsu lo!" Fira yang baru saja datang langsung mendorong wajah Jedi.
"Bawa apa itu, Nay?" tanya Raga pada tas kecil di tangan Naya.
"Makan siang, Mas. Sama camilan."
"Naya bawa bekel terus, Ga. Jadi jangan heran kalo liat banyak makanan di tasnya."
Rega mengacungkan dua jempolnya, "Bagus! Jarang banget gue liat cewek kayak gini."
Fira melirik sinis, "Lo nyindir gue?"
Naya hanya tertawa melihat interaksi seniornya. Suasana yang masih pagi membuat semua orang terlihat bersemangat. Naya duduk di mejanya dan mulai membuka laptop. Meskipun belum ada pekerjaan yang akan dia kerjakan, setidaknya dia sudah harus bersiap.
"Pak Rezal belum dateng ya, Mas?" bisik Naya pada Arman yang duduk di belakang mejanya.
Arman menggeleng dan menatap Naya aneh. "Kenapa nyariin Pak Rezal? Bukannya kamu takut?"
"Mau bilang terima kasih." Setelah mengucapkan itu Naya tersenyum dan berbalik.
Arman menegakkan duduknya dan menarik rambut Naya pelan, "Terima kasih buat apa?" tanya Arman penasaran.
"Rahasia."
"Dih, bocah!" Arman mencibir pelan dan kembali bersandar pada kursinya.
Naya masih tertawa sambil sesekali melirik tas makannya. Dia tidak sabar memberikannya pada Rezal. Entah kenapa dia ingin melihat wajah tampan itu.
"Pagi."
Tuh kan jodoh, baru dipikirin udah dateng.
"Pagi, Pak Rezal." Naya menyapa dengan senyuman lebar. Hal itu membuat langkah Rezal terhenti. Dia menatap Naya dengan alis yang terangkat, merasa aneh tentu saja. Namun perlahan dia mengangguk dan kembali berjalan menuju ruangannya.
Mata Naya masih mengikuti langkah Rezal sampai akhirnya punggung tegap itu menghilang dari balik pintu ruangannya. Naya meremas tangannya gemas.
Ganteng banget sih. Senyumnya juga tipis banget, bikin gemes!
Apa yang dilakukan Naya tak lepas dari perhatian para karyawan. Bukan rahasia lagi jika semua orang sudah tahu akan masalah Naya dan Rezal dulu. Terima kasih pada mulut Raga yang belum sempat tersumbat oleh pizza.
"Nay, kamu sehat?" tanya Raga sedikit takut.
"Iya, Nay. Kok nggak takut lagi sama Pak Bos?" Fira ikut bertanya.
"Gimana mau takut kalo hati udah kepincut." Naya terkekeh mendengar ucapnnya sendiri.
"Nay! Kok kamu malah suka sama Pak Rezal. Kan aku duluan yang deketin," ucap Jedi melotot.
"Apaan sih, Jed. Geli gue!" Arman yang sedari tadi diam ikut menyahut.
Naya dengan cepat berdiri dan meraih tas makanannya. "Aku ke dalem dulu ya Mas..Mbak.. Mau ngelurusin sesuatu yang tegang."
Raga terdiam menatap kepergian Naya dan beralih pada Fira yang juga sama terkejutnya.
"Kamu denger kan, Ga?" gumam Fira pelan..
"Itu apaan yang tegang?!" Kali ini Jedi yang berteriak histeris.
***
Rezal menatap komputernya dengan dagu yang bertumpu pada tangan kirinya. Perlahan tangan kanannya menjalankan mouse untuk memulai pekerjaan. Gerakan tangannya terhenti saat mendengar suara ketukan pada pintunya.
Pintu terbuka setelah dia memberikan ijin. Dahinya berkerut saat melihat Naya yang tersenyum lebar padanya. Ada apa dengan gadis itu? Ke mana tatapan takutnya seperti kemarin?
"Pak Rezal sibuk?" tanya Naya dari ambang pintu.
"Nggak terlalu. Ada apa?" Rezal mulai bersandar pada kursinya. Dia mengamati Naya yang mulai masuk dan menutup pintu rapat. Saat sudah berdiri di depan mejanya, Naya meletakkan sebuah tas kecil di sana.
"Ini buat Bapak."
Alis Rezal terangkat, "Apa itu?"
"Makanan dari Ibuk, Pak. Sekalian mau balikin jas hujan juga."
Rezal menarik tas itu mendekat dan melihat isinya. Di sana ada kotak makan dan beberapa kue yang tampak menggugah selera.
"Ibu kamu yang kasih?" tanya Rezal bingung.
Jujur saja, dia masih belum tahu apa maksud Naya melakukan ini. Masih hari kedua, tapi gadis itu sudah menunjukkan hal-hal yang di luar dugaan.
"Iya, Pak. Dari Ibuk untuk ucapan terima kasih. Kalo nggak ada Bapak kemarin, anak gadisnya pasti pulang malem."
Rezal mengangguk paham, "Cuma jas hujan, Nay. Nggak perlu repot-repot."
Tapi udah berhasil buat saya baper, Pak.
"Oke, saya terima. Sampaikan makasih saya buat Ibu kamu."
Akhirnya Ibuk dapet salam dari calon mantu, batin Naya terus berkhayal.
"Ada perlu lagi, Nay?" tanya Rezal ketika Naya tak kunjung berbicara atau keluar dari ruangannya.
Seperti tersadar akan sesuatu, Naya menggeleng cepat dan mulai berlalu pergi. Sebelum berhasil membuka pintu, Rezal kembali memanggilnya.
"Nay?"
"Iya, Pak?"
Rezal tersenyum tipis, "Kamu udah nggak takut lagi sama saya?"
***
Di tengah malam, Rezal turun ke dapur dengan langkah pelan. Dia tidak ingin membangunkan ibunya karena tidak ingin mendengar omelan yang sama setiap harinya. Di tangannya terdapat tas makanan pemberian Naya. Dia sudah memakan sebagian isinya tadi di kantor dan sekarang dia akan memakannya lagi. Setidaknya Rezal membutuhkan oven untuk menghangatkan kue basah itu. Dia bersyukur jika kuenya tidak cepat basi.
Duduk di meja pantry dengan segelas air, Rezal menunggu makanannya selesai dihangatkan. Dia juga membuka kulkas untuk menemukan makanan tambahan. Dia memang belum makan malam dan nekat untuk lembur tadi. Oleh karena itu tenaganya habis di tengah malam.
Rezal tengah menyiapkan makananya di piring tanpa menyadari jika ada Ibunya yang mengintipnya dari pintu dapur. Wanita itu selalu peka jika ada sesuatu di dapur kesayangannya. Perlahan Ibu Rezal berjalan mendekat ke belakang putranya. Matanya melirik pada makanan Rezal dan mengangguk paham. Perlahan senyum mulai menghiasi wajahnya.
"Makanan dari siapa, Zal?"
Rezal terkejut dan menyentuh dadanya pelan. Dia melirik Ibunya kesal. Sengaja dia turun di tengah malam untuk menghindari Ibunya, tapi yang ada wanita itu sendiri yang mendapatinya di dapur.
"Makanan dari siapa, Zal?" tanya Ibunya lagi dan mulai meraih kue yang menarik perhatiannya.
Saat Rezal akan menjawab, dia kembali menutup mulutnya. Dia baru sadar jika Ibunya sangat sensitif dengan nama perempuan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari jawaban lain.
"Beli."
"Ngapain beli? Mama kan masak, Zal."
Rezal mengangkat bahunya acuh, "Sekali-kali."
"Kalau beli, ini kotak makan punya siapa?" Wanita itu menunjuk kotak makan di samping Rezal dengan tatapan jahil. Mulutnya terbuka dan mulai memakan kue di tangannya.
"Punyaku sendiri lah, buat di kantor."
Rezal merutuk dalam hati dan mengambil kotak makan itu. Dia meletakkannya dengan cepat ke tempat cuci piring.
"Oh, emang sejak kapan kamu suka warna merah muda?" Lagi-lagi Ibu Rezal menggodanya.
"Ma.." Rezal menatap Ibunya dengan wajah yang memelas. Dia lelah malam ini dan hanya ingin segera menghabiskan makanannya.
"Iya, iya. Mama nggak kepo lagi." Ibu Rezal mulai mencuci tangannya, "Btw, kuenya enak. Mama bisa pesen nggak buat arisan?"
"Kuenya nggak dijual."
"Nah kan! Ketauan kamu! Cepet bilang sama Mama, siapa yang kasih kamu makanan? Calon mantu Mama ya?" Ibu Rezal terlihat sangat antusias.
Rezal hanya menggeleng pelan dan membawa dua piring di tangannya keluar dapur. "Aku ke kamar dulu," ucapnya dan berlalu pergi meninggalkan Ibunya yang wajahnya tampak berseri-seri.
Akhirnya, calon mantuku bukan Joko. Masa Joko suka warna merah muda? Kan nggak mungkin.
***
Rezal menyesap kopinya setelah selesai mengakhiri rapat mingguan bersama para karyawan. Sesekali matanya mengecek lembaran kertas di tangannya, mencoba memastikan jika tidak ada poin yang terlewatkan."Pak, hari jum'at nih. Enaknya makan apa ya?" Jedi mengingatkan karena jujur saja perutnya sudah lapar."Deliverypizza aja," sahut Raga merenggangkan punggungnya.
Hari sabtu merupakan hari bebas untuk Naya. Dia tidak perlu datang ke kantor karena akhir pekan. Biasanya, dia memanfaatkan waktu liburnya untuk bermanja dengan kasurnya mengingat kegiatan magangnya yang cukup melelahkan. Namun Naya tidak bisa melakukannya kali ini, ada panggilan mendadak dari teman kampusnya yang membutuhkan jasanya dalam bidang fotografi. Demi uang, Naya selalu bersemangat untuk menjemputnya.Di sini lah dia sekarang, di sebuah klinik kecantikan yang membuatnya terkagum. Tentu dia sering melewati klinik ini, tapi dia tidak pernah memasukinya. Hanya kaum jutawan yang bisa dudu
Bagi Rezal, hari minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai di rumah. Di jam 8 pagi seperti ini, biasanya dia masih bergelung di bawah selimut. Namun kali ini berbeda, dia harus meluangkan waktunya untuk mengantarkan Ibunya ke rumah Naya. Ingin menolak pun percuma. Ibunya memiliki banyak cara untuk membuatnya tetap ikut."Aku tunggu di mobil ya, Ma." ucap Rezal memundurkan kursi mobilnya. Mulai mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Hari senin merupakan hari yang paling dibenci oleh hampir semua orang, begitu juga Naya, tapi tidak untuk kali ini. Selama perjalan ke kantor, dia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tapi entah kenapa rasa rindu begitu cepat menyerangnya."Selamat pagi!" sapa Naya saat memasuki ruangan departemen humas. Ruangan sudah tampak ramai, mungkin karena dirinya yang datang sedikit terlambat pagi ini.
Suasana meja makan pagi itu tampak hening, hanya terdengar suara piring dan sendok yang saling beradu. Ibu Rezal menatap anaknya dengan pandangan menilai. Pria itu terlihat baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya Ibu Rezal bersyukur melihat itu. Dia baru saja mendengar kabar mengejutkan yang mendadak membuatnya naik darah."Zal?" panggil Ibunya.Rezal tidak menjawab dan hany
"Gimana Jepang?" tanya Rezal pada Naro, sahabatnya.Tangannya kembali mengambil ayam dan memakannya. Sebenarnya Rezal tidak terlalu suka makanan cepat saji, tapi karena Naro yang memintanya datang akhirnya dia meluangkan waktu istirahatnya malam ini."Bagus," balas Naro sambil memakan nasinya.
Di dalam mobil, Naya tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia menggenggam erat keranjang kue yang ada di pangkuannya. Seperti permintaan para karyawan humas kemarin, hari ini Naya membawa kue buatan ibunya. Tentu saja ibu Naya menyambut hangat tawaran itu. Wanita itu tidak menyangka jika kegiatan magang anaknya akan membawa rezeki untuk keluarganya."Maaf ya, Pak. Tadi sarapannya cuma telor goreng." Naya terkekeh mengingat kejadian tadi pagi."Nggak masalah, Ibu kamu juga lagi sibuk bikin kue," jawab Rezal ketika mobil berhenti di lampu merah. Sebentar lagi mereka akan sampai dan Naya merasa sedih karena kebersamaan mereka akan berakhir."Biasanya ibuk masak sarapan kok, Pak. Cuma hari ini kayanya enggak."Rezal melirik sebentar, "Biasanya masak apa?"Naya berbicara sambil menunjuk jarinya satu-persatu, "Telor mata sapi, telor dadar, telor rebus, telor kecap, tel—""Kamu suka telur?" tanya Rezal sedikit geli."Iya, Pak. Apalagi
Naya keluar dari kantor dengan bibir yang cemberut. Sudah satu jam dia berdiri dengan gelisah karena tidak melihat wajah Rezal. Tidak, bukan karena merindukannya, melainkan jam kerja yang telah berakhir. Jika pria itu tidak ada di kantor, Naya pulang dengan siapa sekarang? Lagi-lagi dia menyesal tidak membawa kendaraan sendiri. Sudah berjalan sendiri melewati taman seluas safari dan sekarang dia juga harus pulang sendiri. Ingatkan dia untuk memukul kepala Rezal jika bertemu.Eh, mana bisa? Keduluan terpesona yang ada.Naya membuka ponselnya dan bergegas untuk memesan ojek online. Langit yang mulai gelap membuatnya sedikit merinding. Meskipun masih ada beberapa orang di kantor, tapi tidak ada yang menjamin jika mereka semua adalah manusia."Ayo pulang." Tiba-tiba seseorang berbicara dan melewati tubuhnya begitu saja. Naya terkejut dan menatap punggung Rezal yang menjauh dengan bingung.Melihat Naya yang tidak mengikutinya, Rezal berbalik dan mengg