Bagi Rezal, hari minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai di rumah. Di jam 8 pagi seperti ini, biasanya dia masih bergelung di bawah selimut. Namun kali ini berbeda, dia harus meluangkan waktunya untuk mengantarkan Ibunya ke rumah Naya. Ingin menolak pun percuma. Ibunya memiliki banyak cara untuk membuatnya tetap ikut.
"Aku tunggu di mobil ya, Ma." ucap Rezal memundurkan kursi mobilnya. Mulai mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
"Mana bisa! Nggak sopan tau."
Rezal berdecak, "Ya udah, aku pulang aja. Nanti Mama telepon kalau udah selesai."
"Hemat bensin, Zal! Kamu ini nggak cinta alam banget sih. Mama mau nangis liat Jakarta yang udah kaya gini."
"Lebay!"
Dengan malas, Rezal keluar dari mobil dan menatap rumah sederhana di hadapannya. Tampak asri dengan banyaknya tanaman hijau di halaman rumah. Bahkan Rezal melihat ada sepetak tanaman sayuran yang segar.
"Lagian kenapa kita harus dateng langsung? Kan Mama udah punya nomernya Naya," tanya Rezal saat mereka sudah berdiri di depan pintu rumah.
"Jalin silaturahmi, Zal. Jadi manusia itu jangan individualis, nanti nggak dapet jodoh nangis."
Rezal tidak ingin membantah ucapan Ibunya yang semakin aneh. Jika dilihat, lama-lama Ibunya dan Naya tidak ada bedanya. Sama-sama aneh.
Cukup lama mereka menunggu sampai akhirnya pintu terbuka dan mucul gadis yang membuat Rezal dan Ibunya terkejut. Detik berikutnya Ibu Rezal tertawa melihat Naya yang menurutnya lucu. Sedangkan Rezal masih menatap gadis di depannya dengan tatapan tidak percaya.
Bagaimana tidak terkejut jika Naya muncul dengan tampilan yang berbeda. Buang jauh-jauh tentang penampilan rapinya selama magang, karena Rezal tidak melihat itu sekarang. Naya dengan rambut kusutnya membuka pintu dengan mata yang terpejam. Baju bali tipisnya yang sudah robek-robek pun semakin menambah kesan aneh. Lihat wajah polos tanpa make-up itu, Rezal masih tidak percaya jika Naya yang di hadapannya adalah Naya yang sama ketika di kantor.
Mendengar suara tawa di depannya, mata Naya mulai terbuka dengan sempurna. Dia terkejut saat melihat dua orang yang sangat dia kenal tengah berdiri di depannya. Dengan cepat Naya kembali masuk dan menyembunyikan tubuhnya di balik pintu, hanya memperlihatkan wajahnya yang sudah tidak lagi mengantuk.
"Naya belum mandi ya?" tanya Ibu Rezal masih dengan tawanya.
"Aduh Tante, jadi malu. Kenapa nggak bilang kalo mau dateng?"
"Tante udah kasih tau Ibu kamu kok."
Naya meringis mendengar itu. Jatuh sudah harga dirinya. Dia tidak menyangka jika Rezal akan melihat tampilannya yang seperti gembel ini. Percuma dia susah-susah berdandan rapi dan wangi setiap magang jika ujung-ujungnya Rezal akan melihatnya dengan pakaian yang sobek di sana-sini. Memalukan!
"Ya udah, Tan. Masuk dulu." Naya membuka pintunya lebar.
"Maaf ya Pak.. Tante. Saya baru bangun makanya kayak gini." Naya kembali meringis dan memeluk lengannya sendiri, untuk menutupi lubang ventilasi di bagian ketiaknya.
"Nggak papa, Nay. Tante maklum kok. Rezal juga suka bangun siang."
"Ya udah, saya panggil Ibuk dulu ya." Naya dengan cepat berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan tamunya yang menampilkan ekspresi yang berbeda.
Ibu Rezal menatap anaknya yang masih terpaku pada Naya. Perlahan dia menyenggol lengan Rezal dan menyeringai, "Kok diem sih, Zal. Kaget ya liat paha mulus Naya?"
"Ma!" Rezal memijat keningnya pelan. Jujur saja, dia juga sempat melirik kaki Naya tadi.
Dasar pria!
***
Naya berjalan ke dapur saat mendengar suara ramai dari sana. Benar saja, dia melihat Ibunya dan Ibu Rezal tengah tertawa dengan tumpukan buku kue milik Ibunya.
"Ini enak banget, Jeng. isi gula merah ya?" tanya Ibu Rezal.
Naya mendekat dan duduk di samping Ibu Rezal. Kapan lagi dia bisa sedekat ini dengan calon mertua? Untuk masalah tadi, Naya sudah melupakannya, hitung-hitung memperkenalkan bagaimana dirinya yang sebenarnya jika berada di rumah.
"Udah seger, Nay? Wangi lagi."
"Baru mandi, Tan." Naya terkekeh, "Oh ya, Pak Rezal ke mana?" tanya Naya saat tidak mendapati pria itu di dapur.
"Masih di depan kayanya. Kamu buatin minum dulu sana." Minta Ibunya yang langsung dia lakukan.
"Pak Rezal biasanya minum apa, Tante?"
"Rezal sukanya kopi."
Naya mengangguk dan mulai mengambil cangkir.
"Kopinya tanpa gula ya, Nay. Kayanya mulai dari sekarang kamu harus tau deh kesukaan anak Tante." Ibu Rezal tersenyum menggoda.
"Jadi malu." Wajah Naya memerah.
"Kamu tenang aja, Tante restuin!"
"Alhamdulillah." Kali ini Ibu Naya yang berbicara.
Mereka tertawa saat menyadari betapa nyambungnya mereka ketika berbicara. Tidak ada keraguan pada diri Ibu Rezal. Dia hanya ingin anaknya segera menikah. Lagi pula dia juga menyukai Naya dan keluarganya. Begitu sederhana dan berwarna.
Naya berjalan ke luar rumah saat tidak mendapati Rezal di ruang tamu. Dia melihat pria itu sedang berada di halaman rumah dan memperhatikan beberapa sayuran yang dia tanam bersama Ibunya. Dengan nampan di tangannya, Naya keluar dan menghampiri Rezal.
"Ngapain, Pak?" tanya Naya membuat Rezal berbalik. Dia cukup lega saat melihat Naya sudah rapi dengan celana dan baju panjangnya.
"Siapa yang nanem?" tanya Rezal menerima kopi dari tangan Naya.
"Saya sama Ibuk, Pak. Saya prihatin sama Jakarta yang makin panas tiap harinya. Jadi sedih."
Rezal mengerutkan keningnya mendengar itu. Lagi-lagi dia mendegar adanya kesamaan antara Naya dengan Ibunya.
"Kamu mirip sama Mama saya."
"Jodoh kali, Pak." Naya tertawa mendengar ucapannya sendiri.
"Bukannya kamu takut sama saya?"
"Bapak terlalu manis buat ditakutin."
Rezal menggelengkan kepalanya mendengar itu, "Jangan sampai Mama saya denger. Bercandaan kamu ekstrim."
Nggak ada yang bercanda, Pak. Ini hati cuma bisa cenat-cenut sama Bapak! batin Naya berteriak.
"Ini kenapa nggak ada ikannya?" tanya Rezal menunjuk kolam buatan yang tampak kering. Bahkan diisi beberapa pot bunga yang besar.
Naya tersenyum kecut melihat itu, "Ayah saya yang suka melihara ikan, Pak."
"Di mana Ayah kamu?"
Rezal melihat Naya hanya bisa tersenyum. Seolah menyadari sesuatu, dia mulai menyentuh bahu Naya. "Maaf. Saya nggak tau dan nggak maksud untuk—"
"Ayah saya belum meninggal kok, Pak." Naya terkekeh pelan. "Dulu Ayah saya suka melihara ikan di sini, tapi semenjak punya istri baru ikannya ikut pindah rumah."
Rezal menatap Naya tidak percaya. Dia bisa melihat ada pancaran kesedihan dari mata itu, tapi yang tidak dia percayai adalah Naya masih bisa terlihat tegar dengan candaan khasnya.
"Maaf, saya nggak maksud buat ungkit masa lalu kamu."
Naya menatap Rezal dengan mata yang berbinar, "Nggak papa kok, Pak. Anggap aja lagi pendekatan."
"Nay.." Rezal memperingati Naya untuk tidak terlalu jauh menggodanya. "Jadi Ibu kamu jualan kue?" tanya Rezal lagi saat teringat dengan Ibunya yang akan memesan kue. Dia ingin mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Pak. Ibuk saya keren ya, cuma jualan kue tapi bisa nyekolahin anaknya sampe kuliah."
Rezal tersenyum tipis melihat wajah berbinar Naya yang tengah membicarakan Ibunya. "Kalau gitu kamu harus belajar yang bener. Jangan buat usaha Ibu kamu sia-sia."
"Iya, Pak. Saya juga bantu Ibuk jualan kok. Saya juga cari uang buat jajan sendiri."
"Dari hobi kamu?" tanya Rezal memastikan. Naya mengangguk.
"Cita-cita kamu apa?"
"Cuma mau cepet lulus, cari kerja, terus nabung biar bisa buka toko kue buat Ibuk." Naya kembali tersenyum dengan pandangan menerawang. Dalam hatinya, dia mengamini semua ucapannya.
"Bagus."
Naya menatap Rezal dan tersenyum jahil, "Ada satu lagi cita-cita saya, Pak."
"Apa?" tanya Rezal penasaran.
"Nikah sama Bapak."
Detik itu juga Rezal meminum habis kopinya dan masuk ke dalam rumah, mengabaikan Naya yang tertawa terbahak di belakangnya. Dia mulai jengah dengan rayuan Naya yang tidak ada hentinya. Sempat Rezal bertanya-tanya, ke mana perginya Naya yang takut dan sungkan padanya?
***
Hari senin merupakan hari yang paling dibenci oleh hampir semua orang, begitu juga Naya, tapi tidak untuk kali ini. Selama perjalan ke kantor, dia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tapi entah kenapa rasa rindu begitu cepat menyerangnya."Selamat pagi!" sapa Naya saat memasuki ruangan departemen humas. Ruangan sudah tampak ramai, mungkin karena dirinya yang datang sedikit terlambat pagi ini.
Suasana meja makan pagi itu tampak hening, hanya terdengar suara piring dan sendok yang saling beradu. Ibu Rezal menatap anaknya dengan pandangan menilai. Pria itu terlihat baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya Ibu Rezal bersyukur melihat itu. Dia baru saja mendengar kabar mengejutkan yang mendadak membuatnya naik darah."Zal?" panggil Ibunya.Rezal tidak menjawab dan hany
"Gimana Jepang?" tanya Rezal pada Naro, sahabatnya.Tangannya kembali mengambil ayam dan memakannya. Sebenarnya Rezal tidak terlalu suka makanan cepat saji, tapi karena Naro yang memintanya datang akhirnya dia meluangkan waktu istirahatnya malam ini."Bagus," balas Naro sambil memakan nasinya.
Di dalam mobil, Naya tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia menggenggam erat keranjang kue yang ada di pangkuannya. Seperti permintaan para karyawan humas kemarin, hari ini Naya membawa kue buatan ibunya. Tentu saja ibu Naya menyambut hangat tawaran itu. Wanita itu tidak menyangka jika kegiatan magang anaknya akan membawa rezeki untuk keluarganya."Maaf ya, Pak. Tadi sarapannya cuma telor goreng." Naya terkekeh mengingat kejadian tadi pagi."Nggak masalah, Ibu kamu juga lagi sibuk bikin kue," jawab Rezal ketika mobil berhenti di lampu merah. Sebentar lagi mereka akan sampai dan Naya merasa sedih karena kebersamaan mereka akan berakhir."Biasanya ibuk masak sarapan kok, Pak. Cuma hari ini kayanya enggak."Rezal melirik sebentar, "Biasanya masak apa?"Naya berbicara sambil menunjuk jarinya satu-persatu, "Telor mata sapi, telor dadar, telor rebus, telor kecap, tel—""Kamu suka telur?" tanya Rezal sedikit geli."Iya, Pak. Apalagi
Naya keluar dari kantor dengan bibir yang cemberut. Sudah satu jam dia berdiri dengan gelisah karena tidak melihat wajah Rezal. Tidak, bukan karena merindukannya, melainkan jam kerja yang telah berakhir. Jika pria itu tidak ada di kantor, Naya pulang dengan siapa sekarang? Lagi-lagi dia menyesal tidak membawa kendaraan sendiri. Sudah berjalan sendiri melewati taman seluas safari dan sekarang dia juga harus pulang sendiri. Ingatkan dia untuk memukul kepala Rezal jika bertemu.Eh, mana bisa? Keduluan terpesona yang ada.Naya membuka ponselnya dan bergegas untuk memesan ojek online. Langit yang mulai gelap membuatnya sedikit merinding. Meskipun masih ada beberapa orang di kantor, tapi tidak ada yang menjamin jika mereka semua adalah manusia."Ayo pulang." Tiba-tiba seseorang berbicara dan melewati tubuhnya begitu saja. Naya terkejut dan menatap punggung Rezal yang menjauh dengan bingung.Melihat Naya yang tidak mengikutinya, Rezal berbalik dan mengg
Naya tampak mengetik dengan serius di samping Fira. Khusus hari ini, dia diminta untuk membantu Fira yang sedikit kerepotan mengingat jika ulang tahun perusahaan akan berlangsung 2 minggu lagi. Waktu yang cukup singkat untuk memastikan jika semuanya berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan."Ini kamu ketik aja sama persis, formatnya udah aku kirim ke email kamu. Nanti kalo udah, kirim ke aku ya, Nay. Biar dicek dulu." Fira terlihat memberi pengarahan sebelum kembali berbicara di telepon, mungkin dengan vendor."Selamat siang!" teriak Jedi yang masuk ke dalam ruangan diikuti Arman. Mereka berdua baru saja mengambil beberapa gambar di sekitar gedung perusahaan untuk kepentingan acara."Nay, mau ikut nggak?" tanya Jedi meletakkan kameranya di atas meja."Ke mana, Mas?""Hotel Olive. Ada acara kecil-kecilan sama orang media. Biasa lah, jalin silaturahmi." Jedi mengedipkan sebelah matanya."Nggak bisa! Naya lagi bantuin gue di sini," ucap
Naya menatap layar laptopnya dengan serius. Raga memintanya untuk mengunggah artikel di website perusahaan. Hanya mengunggah, karena semua artikel telah dibuat oleh karyawan humas. Lain kali Raga akan mengizinkannya untuk membuat artikel jika ada kegiatan perusahaan. Naya sudah mempunyai ide untuk hari ulang tahun perusahaan nanti. "Sekalian kamu baca ulang ya, Nay. Pastiin nggak ada typo. Bisa jadi referensi juga buat kamu nanti kalo nulis, harus tetep ada khas-nya artikel perusahaan." Naya mengangguk patuh, "Iya, Mas. Oh ya, besok aku ikut Mas Jedi ya ke lapangan?" "Mau ikut ambil video?" tanya Raga memastikan. "Iya, Mas."&
Lima hari telah berlalu dan Naya menjalani harinya dengan lesu. Rezal yang harusnya kembali 2 hari yang lalu harus diundur karena keperluan yang mendadak. Entah kapan pria itu akan kembali Naya tidak tahu. Selama dua hari ini juga mereka tidak saling menyapa. Mungkin pria itu benar-benar sibuk. Naya harus bisa memakluminya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Ayah Naya melihat wajah lesu anaknya. Naya menggeleng pelan, "Nggak papa kok, Yah." "Gimana kabar ibu kamu?" Pertanyaan itu membuat Naya sedikit tersenyum. Setidaknya Ayahnya masih mengingat ibunya. Naya sadar jika tidak ada rasa benci dari Ayahnya untuk mantan istrinya itu, justru ibunya lah yang sangat m