Share

Puncak Kesialan

Ana menatap lekat wajah pria di hadapannya dengan bingung. Setelah adegan tarik-menarik yang mengundang banyak pasang mata untuk melirik, akhirnya Ana memilih untuk menyerah. Dia pasrah dengan apa yang dilakukan Davin. Protes pun percuma karena sepertinya pria itu terlihat tidak ingin mencabut ucapannya untuk memecat satpam kantor. Davin memilih diam dan terus menggosok rambut Ana yang basah dengan handuk. Banyak pertanyaan yang berkumpul di otak Ana saat ini. Belum selesai dengan tragedi pemecatan tadi, sekarang Davin kembali melakukan hal yang di luar dugaan. Ana bisa menggosok rambutnya sendiri. Davin tidak perlu melakukan ini untuknya. Jas milik pria itu juga masih membungkus tubuhnya dengan rapi.

"Ganti pakaianmu," ucap Davin tiba-tiba.

"Nggak papa, Pak." Ana menggeleng cepat, "Mana HP saya? Biar saya bisa langsung pulang dan ganti baju." Lanjutnya.

Tanpa mengatakan apapun, Davin berbalik dan membuka sebuah lemari. Dia mengambil sesuatu dari sana dan melembarkan sebuah hoodie pada Ana. Cukup besar, tapi sepertinya panjangnya hanya sampai di atas lutut. Pakaian ini tidak akan bisa menutupi kaki Ana dengan sempurna.

"Ini nggak ada bawahannya, Pak? Masa saya pake ini aja," tanya Ana konyol.

"Ada bokser saya. Mau?"

"Nggak usah, makasih." Ana menggeleng dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah memakai hoodie milik Davin, Ana menatap bayangan dirinya di cermin. Meskipun panjangnya hanya sedikit diatas lutut, tapi tetap saja itu membuatnya risih. Dia berada di sebuah ruangan bersama dengan pria dewasa. Tak apa bukan jika dia waspada?

Ana keluar dari kamar mandi sambil menarik bagian bawah pakaiannya. Matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Davin. Entah berapa lama mereka bertatapan, tapi Davin yang lebih dahulu memutuskan kontak mata mereka. Seolah bersikap acuh, pria itu kembali fokus pada kertas-kertas di atas meja.

Ana berjalan dengan pelan menghampiri Davin dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan pria itu. Dia menunggu Davin untuk memulai pembicaraan, tapi sepertinya sia-sia karena pria itu mendadak menjadi bisu. "Pak langsung aja ya. HP saya mana?" Ana bertanya sedikit kesal.

Davin mulai menghentikan kegiatannya. "Mana makan siang saya?"

Dengan sabar, Ana mengambil kotak makan yang dia letakkan di atas sofa dan memberikannya pada Davin. Jujur saja, yang Ana inginkan saat ini adalah umpatan dan ejekan Davin untuk masakannya. Namun yang ada pria itu malah terlihat tidak masalah dengan apa yang dia bawa untuk menu makan siangnya.

"Kamu nggak punya uang, ya?"

Mata Ana membulat mendengar itu. Pria di hadapannya benar-benar tidak pintar berbasa-basi. Yang Davin katakan memang benar, tapi jika diucapkan secara langsung seperti itu tentu Ana akan malu.

"Ada masalah? Bapak minta saya bawa makan siang kan? Ya udah saya masakin. Mumpung ada nasi sisa kemarin," ucap Ana cepat. Lagi-lagi dia menginginkan sebuah hujatan karena kebohongannya tentang 'nasi kemarin' tapi yang dia dapat justru senyuman miring yang Davin berikan.

Please, keracunan, keracunan, batin Ana berbicara.

Tentu saja tidak mungkin karena Ana tidak memasukan zat berbahaya pada masakannya. Jika tahu akan seperti ini, dia akan memasukkannya sedikit tadi. Ana mengelus perutnya yang terasa lapar. Jujur saja, aroma nasi goreng buatannya membuatnya ingin sedikit mencicipinya juga. Ana kelaparan sekarang, seharusnya Davin tahu jika dia melewatkan makan siangnya demi membuatkan nasi goreng untuknya.

"Nasi kemarin-mu enak."

"Nggak nasi kemarin kok, Pak. Saya bohong tadi." Ana menyandarkan tubuhnya dan menatap Davin pasrah. Dia membiarkan pria itu melakukan apapun. Ana tidak akan protes sekarang.

"Saya tau."

Ana yakin semua wanita ingin berada di posisinya sekarang, tapi tidak untuk dirinya kali ini. Dia merasa aneh dan entahlah, Ana sulit mendeskripsikan rasa ini. Dia merasa asing saat bersama Davin, tapi di sisi lain dia juga merasakan sesuatu yang berbeda pada pria itu.

Lamunan Ana buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka secara paksa. Dia berdiri dengan cepat karena bingung harus berbuat apa. Ana merasa seperti dirazia, padahal mereka tidak melakukan apa-apa di ruangan ini.

"Vinno, ini Bunda bawain makan!"

Ana berdiri dengan canggung dan berusaha untuk menutupi kakinya yang terbuka. Wanita itu, yang ternyata Ibu Davin menatap Ana dari atas ke bawah kemudian beralih ke arah Davin yang masih duduk dengan tenang. Sungguh ingin rasanya Ana menjambak rambut pria itu. Lihatlah, di saat seperti ini Davin masih asik makan dan sesekali menatap layar laptopnya. Menyebalkan bukan?

"Vinno, Bunda tahu kamu udah dewasa, tapi ya nggak sama anak SMA juga dong," ucap Ibu Davin menatap Ana dengan pandangan menilai. "Kamu dibeliin apa sama Vinno? Hp? Tas? Atau baju?" Lanjutnya berbisik pelan pada Ana.

Gila!

Ana menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak, Tante. Saya bukan perempuan begitu. Aduh Pak, bantuin dong! Jangan makan terus!" Ana berbicara kesal sambil menarik lengan Davin.

"Lah, terus?" tanya Ibu Davin bingung.

"Dia pacar aku, Bun." Akhirnya suara Davin terdengar.

Ana terkejut bukan main. Bukannya senang, dia malah kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kalimat apa itu? Ana tidak percaya jika itu yang Davin keluarkan setelah membisu sedari tadi.

"Serius?!" Ibu Davin terlihat antusias dan menutup mulutnya tidak percaya. "Eh, tapi bukannya kamu masih nunggu orang yang bawa cincin Bun—"

"Bunda, nggak di sini." Ana menatap Davin yang memotong ucapan IIbunya cepat.

Sepertinya Ana harus meluruskan banyak hal di sini. Dia tidak tahu alasan Davin melakukan semua ini. Pria itu dengan santainya mengenalkan dirinya sebagai kekasihnya di depan Ibunya. Ini salah, salah besar. Seharusnya Ana tidak berada di situasi seperti ini sekarang.

Ingatan Ana kembali berputar ke beberapa hari yang lalu, saat di mana mobil Davin hampir menabraknya dan membuat ponselnya rusak. Jika tahu akan seperti ini jadinya, Ana tidak akan mau pergi ke kantor ini untuk meminta ganti rugi.

"Sebentar, Tante. Sebenarnya saya bukan pa—" Davin menyela ucapan Ana dan menarik gadis itu untuk mendekat padanya.

"Makasih, udah bawain makan siang." Ana menoleh ke arah Davin dengan cepat. Apa maksud pria itu? Apa dia benar-benar keracunan nasi goreng buatannya?

"Bunda pulang aja sana," usir Davin.

Ana tidak bisa menjawab karena Davin yang masih mencengkeram erat bahunya, membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan. Davin seolah sedang memperingatinya untuk tetap diam dan tidak mengatakan apapun.

"Bunda ke kantor Papa aja. Inget ya, Vin. Jangan aneh-aneh di kantor."

Saat pintu telah tertutup rapat, Ana menghempaskan tangan Davin dari bahunya. Dia mendengkus dan mengusap bahunya yang sedikit sakit. Ditatapnya Davin dengan kesal. Habis sudah kesabaran Ana kali ini.

"Bapak apa-apaan sih?!" bentak Ana emosi.

"Apa?" Davin dengan santai kembali duduk untuk melanjutkan kegiatan makannya.

"Kenapa Bapak bilang kalau kita pacaran?!"

"Karena kamu memang pacar saya." Davin menghentikan ucapannya dan kembali berdiri dari duduknya, "Mulai dari sekarang." Lanjutnya.

"Bapak udah gila ya? Udah lah, saya mau pulang. Nggak guna saya ke sini. Bodo amat sama HP baru. Saya nggak mau ketemu Bapak lagi!" Putus Ana akhirnya.

Saat akan membuka pintu, suara dingin Davin terdengar. "Berani keluar dari pintu, kamu akan menyesal," ucapannya membuat Ana berhenti melangkah. Gadis itu sedikit merinding mendengar nada yang Davin gunakan.

Ana mencengkeram erat tasnya bermaksud untuk menyalurkan rasa kekesalannya. Dia juga merasakan rasa asin di mulutnya karena air mata yang mulai mengalir. Ana menunduk dan menangis dalam diam. Dihirupnya udara dengan satu tarikan nafas berharap tangisannya akan mereda tapi sia-sia, karena dia kembali mengeluarkan air mata.

Perlahan Ana merasakan sebuah tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Rasa hangat langsung menjalar di tubuhnya. Davin memeluk Ana dari belakang dan mengecup puncak kepala gadis itu pelan. Dengan tingkahnya yang seperti ini, malah semakin membuat Ana takut pada Davin. Pria itu benar-benar sulit ditebak.

"Jangan nangis. Aku antar pulang sekarang," ucap Davin melepaskan pelukannya.

Ana menghela nafas lega. Dia seperti terjebak tadi. Ana tidak berani untuk menebak apa yang ada di pikiran Davin dan apa alasan pria itu melakukan ini semua. Ana sangat ingin bertanya, tapi dia terlalu takut dengan sikap misterius pria itu. 

Yang Ana inginkan saat ini hanyalah pergi sejauh mungkin.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status