Share

Menyadari Keberadaanmu

Ana menatap keadaan sekitar dengan was-was. Dia sedang bersembunyi sekarang, menghindar dari pria yang selalu menjemputnya akhir-akhir ini. Bukannya apa, tapi Ana juga membutuhkan waktu untuk sendiri. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ana bergegas masuk ke dalam dan menatap Ally dengan tatapan penuh terima kasih. Untung saja sahabatnya datang di waktu yang tepat, jika tidak maka dapat Ana pastikan jika dia akan berakhir dengan kecanggungan di dalam mobil Davin lagi.

"Ayo, cepet jalan!" Ana menoleh ke belakang dan menemukan Edo yang masih berdiri di samping mobilnya.

Ada rasa kasihan yang Ana rasakan ketika meninggalkan Edo begitu saja, tapi sungguh! Untuk kali ini dia tidak ingin bertemu dengan Davin. Ana tidak tahu apa yang akan pria itu lakukan jika tahu Edo tidak berhasil membawanya ke kantor. Untuk sekarang, Ana akan bersikap tidak peduli.

***

"Bang Alex!" teriak Ally yang membuat Ana menjatuhkan sendoknya kesal.

Kenapa dari banyaknya pusat perbelanjaan di Jakarta, dia harus bertemu dengan Alex di sini? Jujur saja, Ana tidak tahu harus menjawab apa tentang kejadian di Rahardian Corp beberapa waktu yang lalu.

"Kalian di sini juga?" Alex terlihat antusias.

"Iya, Bang Alex ngapain di sini?" tanya Ally penasaran.

"Aku lagi cari kado buat Mama, tapi bingung mau beli apa."

"Wah kebetulan, Ana ini jago banget kalo soal cari kado. Cari sama dia aja." Mata Ana membulat mendengar itu. Ingin rasanya dia memukul kepala Ally karena sudah melemparkannya ke lubang buaya.

"Kamu bisa bantu aku cari kado, Na?" Mau tidak mau Ana mengangguk, dia tidak berani menentang senior. Ana masih ingin belajar dengan nyaman untuk beberapa tahun ke depan.

“Kebetulan aku juga mau kerja kelompok. Bang Alex anterin Ana pulang ya?"

"Iya, nanti Ana aku anter." Alex tersenyum senang.

"Kalo gitu aku pergi dulu." Ally mengedipkan sebelah matanya dan berlalu pergi.

Ana mendengkus dan menggeleng tidak percaya. Apa tadi? Kerja kelompok? Yang benar saja!

"Ini bagus." Ana mengangkat syal berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga, "Inikan lagi musim hujan. Lumayan, bisa buat anget-angetan. Nanti di bagian ujung dibordir pake nama Mama-nya Bang Alex."

"Boleh juga ide kamu. Nggak salah aku ajak kamu. Bener-bener menantu idaman," puji Alex.

Ana hanya tersenyum tipis mendengar itu. Padahal di dalam hatinya dia mengutuk Alex yang sudah mengatakan hal yang membuatnya semakin risih. Entah kenapa ketampanan Alex tidak membuat Ana meleleh. Bukan hanya Alex tapi pria lainnya juga. Seolah ada pintu besar yang menutup hatinya untuk tidak membiarkan para pria masuk ke dalamnya.

Ana memutuskan untuk menunggu di depan toko. Saat sedang asik bermain dengan ponselnya, tiba-tiba dia merasakan tarikan pada tangannya yang membuatnya menjauh dari toko. Ana mendongak untuk melihat siapa yang menariknya. Matanya membulat saat mendapati Davin yang berada di depannya saat ini. Kalimat tolong yang ingin Ana keluarkan untuk meminta bantuan kembali dia telan saat melihat aura Davin yang menyeramkan. Ke mana pria itu akan membawanya? Ana berdoa dalam hati supaya Davin tidak melakukan hal buruk padanya.

***

Lagi-lagi Ana menangis. Dia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu lemah dan cengeng. Dia tidak tahu sudah berapa lama terkurung di kamar ini, tapi yang pasti hari sudah mulai gelap. Hanya jendela kamar yang memberikan akses udara segar untuknya sedari tadi. Tangan kecil itu bergerak untuk mengelus perutnya yang terasa lapar. Ana memang sudah makan siang tadi, tapi sebagai remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, dia akan selalu merasakan lapar setiap saat.

Saat Ana masih berusaha untuk menahan rasa laparnya, tiba-tiba pintu terbuka dan Davin masuk dengan nampan di tangannya. Pria itu terlihat sangat berantakan. Kemejanya sudah keluar dan 3 kancing teratas terbuka memperlihatkan dada bidangnya. Rambutnya juga berantakan dengan sorot matanya terlihat sangat lelah.

Apa aku yang membuatnya seperti ini?

Ketika Davin sudah berada di depannya, Ana dapat mencium aroma menyengat dari tubuh pria itu. Alkohol dan rokok, Ana mengenal bau itu. Baru kali ini dia melihat Davin berbeda dari biasanya, pria itu seperti menunjukkan wujud aslinya sekarang. Davin meletakkan nampan di pangkuan Ana dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Pria itu berbaring membelakanginya tanpa mengatakan apapun. Ana sangat yakin jika pria itu ingin memarahinya saat ini. Entah apapun itu alasannya.

Ana sudah menyiapkan mental dan argumen untuk setiap amarah yang akan dikeluarkan Davin, tapi setelah sampai di sebuah apartemen, pria itu malah menguncinya di kamar dan baru muncul kembali sekarang. Mencoba mengabaikan Davin, Ana mulai memakan makanannya. Dia akan mencoba berbicara dengan pria itu nanti setelah makan. Ana akan meluruskan hubungan yang seharusnya tidak terjadi ini.

"Pak, saya mau bicara,” ucap Ana begitu telah selesai dengan makanannya. Dia menghirup udara dalam dan kembali berbicara, "Ini semua salah, Pak. Sejak awal saya cuma mau tanggung jawab dari Bapak dan saya sudah dapet itu sekarang. Seharusnya urusan kita udah selesai, tapi Bapak malah nyeret saya untuk lebih masuk ke dalam hidupnya Bapak. Terus tiba-tiba Bapak bilang kalau kita pacaran, padahal kita belum pernah ken—" ucapan Ana terhenti saat Davin dengan cepat bangkit dan mendekat ke arahnya.

Ana menahan napasnya saat Davin sudah berdiri di hadapannya. Dia mulai gugup saat tidak ada jarak sedikitpun di antara mereka. Ana menatap mata Davin yang berkilat marah. Apa mata itu tidak bisa memancarkan kehangatan sekali saja?

"Siapa Alex?" tanya Davin dingin.

Ana berusaha menjauh, tapi Davin langsung meraih lengannya dan mendorongnya ke atas kasur. Tangannya terangkat dan meremas rambutnya gelisah.

"Bukan siapa-siapa." Ana mengelus lengannya pelan.

"Jauhi dia."

Ana mengerutkan keningnya tidak suka, "Itu bukan urusan Bapak."

"Kamu pacar aku!"

Ana memejamkan matanya saat mendengar bentakan dari Davin. Bahkan pria itu juga memukul tembok di sampingnya. Ingin rasanya Ana keluar dari ruangan ini karena ketakutan.

"Kamu bener-bener nggak inget?" tanya Davin mulai mengendalikan emosinya.

"Pak Davn kenapa sih?" tanya Ana pelan.

Davin menghela nafas kasar dan menatap Ana dengan pandangan sayu, "Fiana Putri Aprilian," gumamnya pelan.

"Kok Bapak tau nama lengkap saya?" tanya Ana terkejut.

"Aku tau semua tentang kamu, Ana." Davin berjalan mendekat dan menarik kursi untuk duduk tepat di depan Ana, "Dan aku juga mau kamu."

Ana menggeleng tidak percaya. Bagaimana bisa Davin menginginkannya dengan cara seperti ini?

"Apa Pak Davin nggak pernah tau apa itu namanya pendekatan? Pelan-pelan, Pak. Nggak perlu maksa kaya gini." Akhirnya Ana mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini.

Kedekatan mereka cukup aneh. Davin selalu memaksakan kehendak tanpa memberikan kesempatan padanya untuk merasakan ketulusan pria itu. Bahkan Ana sendiri tidak tahu apa alasan Davin menginginkan dirinya.

"Pendekatan?" Davin tersenyum kecut, "Apa itu harus dilakukan saat aku sendiri udah nunggu kamu lama?"

"Maksud Bapak?"

Davin berjalan menjauh dan menatap jendela dengan tatapan kosong. Pria itu benar-benar sulit ditebak. Ana menunduk dan menggaruk lehernya yang tidak gatal. Tangannya bergerak untuk mengeluarkan kalung yang dia kenakan sejak kecil. Ketika melihat kalung itu, entah kenapa Ana menjadi sedih. Dia kembali teringat dengan pria masa lalu yang sudah dia lupakan wajahnya. Bukannya apa, tapi itu karena terapi yang dia lakukan pasca tragedi penculikan yang sempat dia alami dulu.

"Jadi mau Bapak apa sekarang?" tanya Ana melunak.

Davin memutar tubuhnya untuk menatap Ana. Saat akan berbicara, matanya tidak sengaja menatap kalung yang dipegang oleh Ana. Davin terdiam dan menatap lekat kalung itu. Sebenarnya bukan kalung yang menjadi fokusnya, melainkan cincin yang menjadi bandul kalung itu. Davin sangat mengenal cincin itu. Tentu saja! Cincin itu adalah milik ibunya yang pernah dia berikan pada Ana 10 tahun yang lalu. Ternyata gadis itu masih menyimpannya sampai sekarang.

"Kamu masih simpan cincin itu?"

"Bapak tau cincin ini?" Ana menatap Davin dan cincin itu bergantian.

"Kamu masih simpan cincin itu tapi kamu nggak inget aku sama sekali?" tanya Davin tidak percaya.

Untuk saat ini, Ana menyesal akan cara kerja otaknya yang begitu lamban. Dia masih menatap Davin dan cincin itu secara bergantian. Otaknya mulai memutar memori lama tentang pertemuan mereka sampai bisa berakhir seperti ini.

Ana sudah mengambil kesimpulan, tapi dia terlalu ragu untuk mengatakan semuanya. Dia takut jika apa yang ada di pikirannya saat ini tidak sesuai dengan fakta yang ada. Apa benar Davin adalah pria yang dia tunggu selama ini?

"Nama Bapak siapa?" tanya Ana memastikan.

"Namaku Davinno." Davin menjawab dengan tegas.

Ana merasakan deja vu detik ini juga. Dia seperti pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Perlahan mata Ana terpejam dan kembali terbuka saat sudah menyadari semuanya. Ana mematung di tempat. Ternyata benar jika pria di hadapannya ini adalah pria masa lalunya. Wajah pria yang dulu terlihat samar sekarang menjadi jelas di otaknya.

"Jadi Bapak yang pernah nolongin saya dulu?"

Davin tersenyum lega, "Kenapa baru sadar?”

Melihat tingkah Davin yang menyebalkan, Ana meraih bantal dan memukul Davin dengan brutal. "Kenapa nggak bilang dari dulu?!"

"Maaf."

Ana menggeleng cepat, "Saya yang minta maaf, Pak. Saya sadar kalau udah kurang ajar sama Bapak."

"Aku bukan bapakmu, panggil aku seperti biasa."

Ana menggaruk lehernya yang tidak gatal, "Mas?" tanyanya ragu.

"Nggak masalah." Tanpa disangka Davin terkekeh kecil. Untuk beberapa detik Ana terpesona dengan senyum itu. Sekarang dia sadar akan kebodohannya selama ini. Senyum Davin masih sama seperti dulu dan Ana tidak mengingatnya sama sekali. Dia merasa bersalah sekarang.

"Jadi Mas Davin, apa aku udah boleh peluk sekarang?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status