Share

Hari Bersamamu

Ana berhenti berlari saat kakinya sudah tidak kuat lagi untuk memutari lapangan tenis. Dia terduduk di atas tanah dan bersandar pada jaring yang menjadi pembatas lapangan. Napasnya terdengar memburu dan reflek tangannya terangkat untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya.

"Cuma 4 kali putaran?" tanya Davin dengan nada mengejek.

"Capek, Mas!"

"Ayo, satu kali dan setelah itu selesai." Davin menarik tangan Ana untuk berdiri tapi gadis itu menolak dan kembali bersandar pada jaring.

"Lari sendiri aja, aku tunggu di sini."

Jujur saja, jika bukan karena Davin, Ana tidak akan mau lari pagi seperti ini. Entah kenapa kedatangan pria itu sangat mempengaruhi kehidupannya. Seperti sekarang ini, di hari libur biasanya Ana akan tidur seharian tapi kali ini Davin sepertinya tidak akan membiarkannya, karena tepat pukul lima pagi dia sudah berada di depan kos untuk mengajaknya lari pagi. Tahu jika mengusir Davin akan sia-sia, akhirnya Ana menurut dan di sinilah dia sekarang, melakukan olah raga pagi dengan mengelilingi lapangan tenis sebanyak empat kali. Iya, hanya empat kali yang kemudian dia memilih untuk menyerah karena kelelahan.

Davin membiarkan Ana beristirahat dan kembali berlari mengelilingi lapangan tenis. Sudah sering dia mengingatkan Ana untuk menjaga kesehatannya. Davin yakin jika selama hidup sendiri, Ana jarang sekali berolahraga bahkan untuk makan pun sembarangan asalkan dia merasa kenyang. Prinsip anak kos.

Ana yang memang keras kepala, menganggap omelan Davin hanya ceramah biasa. Dia merasa tubuhnya sehat-sehat saja selama ini. Ana juga tidak bodoh untuk selalu memakan makanan yang tidak sehat. Itu semua juga tergantung dengan kondisi keuangannya. Jika sedang menipis maka dia akan bertahan dengan mie instan. Tidak sehat memang, tapi dia lebih memilih untuk makan dari pada tidak makan sama sekali. Lagi-lagi prinsip anak kos.

"Luruskan kakimu." Davin menendang pelan kaki Ana yang ditekuk. Dia meraih botol minum dan meminumnya hingga habis.

Ana mengerucutkan bibirnya dan mulai meluruskan kakinya. Tangannya dengan pelan memijat pahanya saat ototnya mulai terasa kaku. Dia melihat ke arah Davin yang kembali berolahraga dengan melakukan push-up di sampingnya.

"Empat puluh delapan, empat puluh sembilan, lima puluh," ucap Ana sambil menghitung. Davin menyudahi kegiatannya dan berdiri untuk melakukan pendinginan.

"Kok cuma lima puluh? Dasar lemah," ejek Ana membuat Davin memutar matanya jengah.

"Empat kali putaran juga bukan sesuatu yang hebat, Ana."

"Kan besok bisa olahraga lagi," sahut Ana acuh.

"Oke, besok aku jemput."

"Loh, kok beneran? Nggak mau, aku mau rebahan sehaian."

Davin hanya menggelengkan kepalanya dan mengulurkan tangannya pada Ana. Gadis itu dengan sigap menerima tangan Davin yang menariknya berdiri.

"Aku laper," ucap Ana sambil membersihkan celananya.

"Mau makan apa?"

"Makan itu aja ya?" Ana menunjuk sebuah restoran cepat saji favoritnya yang berada di seberang jalan.

Davin mengikuti arah pandang Ana dan menggeleng cepat. "Nggak sehat."

Bukan tanpa alasan dia menolak, Davin memang selalu anti dengan makanan yang terkenal tidak sehat itu, tapi bukan berarti dia tidak pernah memakannya. Hanya saja kali ini dia baru saja berolahraga. Kenapa harus merusaknya lagi dengan menambah banyak kalori?

"Terus makan apa?" tanya Ana kecewa karena dia ingin sekali memakan es krim di sana.

"Ikut aja."

***

Tatapan ngeri Ana tunjukan pada restoran yang dipilih Davin. Demi Tuhan! Ana membenci sayuran dan sekarang Davin malah membawanya ke restoran yang selalu Ana hindari, Vegan Resto.

"Kok di sini sih, Mas?"

"Memang kenapa?" tanya Davin sambil melepas sabuk pengamannya.

"Nggak suka sayur!"

"Turun aja dulu.”

Ana hanya diam di dalam mobil sambil melihat Davin yang mulai memasuki pintu restoran. Tak lama kemudian pria itu kembali muncul dan menunjukkan kunci mobilnya. Ana yang paham segera keluar dan sedetik kemudian Davin sudah mengunci mobilnya. Ana mendengkus dan menghampiri Davin yang menunggunya di pintu masuk.

"Aduh bau sayur." Ana mengeluh sambil menutup hidungnya.

"Sejak kapan sayur ada baunya?" Davin menggeleng pelan dan mendorong Ana untuk berjalan.

"Aku mau ini." Tunjuk Ana pada steak daging sapi dalam menu.

"Menu sarapan yang cukup berat," kritik Davin tapi tetap membiarkan Ana memesannya.

Ana menekan tombol menu pada ponselnya dan mengeluarkannya lagi, begitu seterusnya sampai dia memilih untuk menjatuhkan kepalanya di atas meja. Matanya memandang ke arah jalan yang dibatasi oleh jendela bening untuk menikmati jalanan pagi yang sudah macet. Sesekali kaki Ana juga ikut bergoyang menikmati musik yang diputar oleh pihak restoran.

"Ana?" panggil Davin.

"Hm?"

"Kalau dipanggil itu noleh."

Ana dengan cepat mengangkat kepalanya dan menatap Davin. "Apa?"

"Hari ini Bunda ulang tahun." Ana mengangguk dan tetap diam menunggu Davin untuk melanjutkan ucapannya, "Dan kamu diundang."

"Serius?!" pekik Ana tanpa memperhatikan orang-orang di sekitar yang mulai menatapnya aneh.

Davin hanya mengangguk dan tak lama pelayan datang membawa pesanan mereka. Tanpa diminta, pria itu langsung mengambil piring Ana dan memotong dagingnya menjadi potongan yang lebih kecil. Dia juga tidak lupa untuk memindahkan sayuran yang ada ke dalam piringnya sendiri. Davin tahu jika Ana akan mengomel jika menemukan sayur di atas piringnya.

"Nggak mau, Mas. Aku nggak bisa dateng."

"Kenapa?" tanya Davin heran.

"Takut."

Davin mendengkus dan memberikan piring milik Ana. Dengan pelan Ana meraih garpu dan memakan makanannya dengan tidak semangat. Dia benar-benar merasa takut saat ini.

"Nggak perlu takut."

"Tapi kan Bunda nggak suka sama aku." Ana memakan dagingnya dengan kesal.

"Kata siapa?"

Ana terdiam bingung harus menjawab apa. Memang benar jika Ibu Davin tidak pernah berkata seperti itu, bahkan dia terlihat baik-baik saja saat Davin mengenalkan dirinya sebagai kekasihnya dulu saat di kantor.

"Tapi Mas—"

"Habiskan dulu, ngomongnya nanti."

Setelah tiga minggu mengenal Davin, Ana mulai mengerti watak pria itu. Sifat Davin sangat berbanding terbalik dengannya, bahkan Ana sempat bingung dari sisi mana Davin bisa menyukai dirinya. Jika dikatakan pintar, Ana tidak begitu pintar. Dikatakan cantik pun Ana tidak merasa seperti itu. Jadi Davin menyukai Ana dari sisi yang mana? Kecerobohannya begitu?

Ana mengerutkan keningnya saat Davin memakan brokoli mentahnya dengan lahap. Davin yang ditatap seperti itu menaikkan alisnya bingung. "Kenapa? Mau coba?" Davin memberikan Ana sepotong brokoli yang dilumuri saus yang tidak Ana ketahui.

Ana menatap Davin dengan ragu tapi karena rasa penasarannya akhirnya dia membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Davin. Perlahan Ana mulai mengunyah brokoli itu dan mencoba mencerna rasa apa yang dia rasakan di lidahnya, tapi sedetik kemudian Ana meraih tisu dan mengeluarkan brokoli itu dari mulutnya. Ana menggeleng dan meminum air putihnya cepat.

"Enggak enak!" ucap Ana dengan wajah yang masam. Davin hanya tersenyum kecil melihat tingkah kekasihnya itu.

***

Mobil Davin berhenti tepat di depan kos Ana. Setelah sarapan tadi dia memutuskan untuk mengantar Ana karena dia harus membantu Ibunya untuk mempersiapkan acara nanti malam.

Ana kembali menatap Davin dengan wajah memelasnya. "Nggak ikut ya, Mas," ucap Ana lagi.

"Kenapa?"

"Takut, udah dibilangin juga."

"Takut kenapa? Bunda sendiri yang suruh aku buat bawa kamu nanti malam."

Ana terdiam bingung harus melakukan apa. Jika memang benar Ibu Davin yanng mengundangnya, Ana tidak berani untuk menolak tapi dia juga tidak punya nyali untuk datang. Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia juga tidak ingin mengecewakan Davin.

"Ana dengarkan aku." Davin meraih bahu Ana dan menatapnya lekat, "Jangan takut, nggak ada yang harus ditakutin. Bunda nggak benci sama kamu, percaya sama aku." Seolah terhipnotis Ana pun mengangguk.

"Ya udah, masuk sana." Davin menarik kepala Ana dan mencium keningnya seperti kebiasaannya akhir-akhir ini.

Ana tersenyum dan melambaikan tangannya pada Davin sebelum masuk ke dalam kosnya. Davin mengulum bibirnya menahan senyum saat melihat tingkah lucu Ana. Dia tidak menyangka jika bisa berakhir bersama Ana. Davin tahu jika ini bukanlah sebuah akhir melainkan sebuah awal dari kehidupan baru untuknya, kehidupan yang dia harap akan jauh lebih berwarna bersama Ana.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status