Share

Rasa Amarah

Ana masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Ibu Davin. Dia tahu jika pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Dia berada di posisi yang tidak menguntungkan sehingga membuat wanita itu berpikiran yang tidak-tidak. Meskipun Ibu Davin tidak berkata apa-apa setelahnya, tapi siapa yang tahu jika dia memendam amarahnya pada Ana dan mengundangnya sekarang agar bisa memojokkannya bersama dengan keluarga besar.

"Sampai kapan kayak gini?" Davin melirik Ana yang hanya memainkan jari-jarinya sejak tadi, "Sudah hampir 30 menit, Bunda udah nunggu di dalam."

"Bentar, Mas. Aku belum siap."

Davin berdecak dan mulai membuka pintu mobil, mengabaikan protes Ana yang masih belum siap. Jika Davin tidak bersikap tegas, Ana akan selalu takut dengan apa yang akan dihadapinya suatu saat nanti.

"Lima menit lagi, Mas." Ana menahan tangan Davin yang sudah menariknya untuk keluar dari mobil.

"Turun sekarang atau aku gendong?"

Ana masih diam saat tiba-tiba Davin menggendongnya seperti karung beras, "Mas, berhenti! Oke, aku jalan!" Seharusnya Ana tahu jika Davin tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Pria itu menurunkannya dan membuka pintu mobil bagian belakang untuk mengambil kue buatan Ana. Davin sudah mengatakan jika tidak perlu membawa apapun, tapi sepertinya Ana tidak bisa jika datang dengan tangan kosong. Sebelumnya Ana tidak tahu harus memberi kado apa untuk Ibu Davin, jadi dia memutuskan untuk membuat kue dengan tulisan yang pastinya akan membuat geli bagi siapa saja yang membacanya. Ana bahkan tidak sadar saat menuliskan kalimat itu, saat akan menggantinya, tiba-tiba Davin mengirimkan pesan bahwa dia sudah berada di depan kos. Jadi Ana tidak sempat menggantinya.

Selamat ulang tahun calon mertua semoga sehat selalu dan awet muda.

Salam calon mantu :)

Menggelikan bukan? Ana yakin Ibu Davin akan semakin tidak menyukainya karena ini.

Ana menatap pintu besar di hadapannya dengan tangan yang masih memeluk erat lengan Davin. Jantungnya benar-benar tidak bisa diajak untuk bekerja sama sekarang. Ingin rasanya dia berlari pulang ke rumah dan bersembunyi. Ana merasa jika pertemuan ini terlalu cepat, bahkan dia pikir hubungannya dengan Davin tidak akan seserius ini.

"Sudah siap?"

Ana menggeleng dan menghembuskan napasnya kasar. Berusaha menolak pun percuma karena Davin tetap membuka pintu besar itu.

"Kok sepi, Mas?" tanya Ana saat mulai masuk ke dalam kediaman Rahardian.

"Semuanya ada di taman belakang."

Mata Ana membulat mendengar itu, "Semua? Siapa aja yang dateng?"

"Cuma keluarga besar dan para sahabat."

Mati aku!

Davin membawa Ana ke taman belakang. Suara musik mulai terdengar dan seketika Ana langsung lemas saat melihat banyak sekali orang yang datang malam ini. Semua orang menghentikan kegiatannya saat melihat Ana dan Davin datang. Suasana mendadak menjadi hening. Ana menahan napasnya bingung sampai akhirnya terdengar suara teriakan dan sorakan. Ana terkejut dengan situasi ini, dia yakin bahwa sorakan itu ditujukan untuk dirinya dan Davin.

"Akhirnya pangeran es membawa putrinya."

"Yes! Punya kakak ipar!"

"Aku tunggu undangan nikahmu, bro!"

Ana melirik Davin yang hanya mendengkus mendengar teriakan setan itu. Ana masih diam sampai seseorang datang menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Ana kembali terkejut saat melihat siapa yang memeluknya saat ini.

"Akhirnya kamu datang, Sayang. Bunda udah nunggu kamu dari tadi," ucap Ibu Davin.

"Maaf, Tan—"

"Bunda. Panggil Bunda aja kayak yang lain."

Ana tersenyum dan mengangguk patuh, "Maaf ya, Bun. Baru dateng."

"Nggak papa, Sayang."

“Ini ada kue buat Bunda. Belum sempet beli kado soalnya Mas Davin—" ucapan Ana terpotong saat kembali mendengar sorakan dari para tamu.

"Aduh dipanggil Mas!"

"Udah langsung nikah aja, Vin!"

"Aduh, Mas. Adek nggak kuat!"

Ibu Davin malah tertawa mendengar itu, "Nggak papa, ayo kita coba kue buatanmu."

Aduh mati! Jangan dibuka sekarang!

"Bunda itu jangan dibuka—" Terlambat, kue itu sudah dibuka dan wanita itu langsung terdiam melihat tulisan yang Ana buat.

"Manisnya calon mantuku! Papa liat deh!" teriak Ibu Davin keras.

Ana melirik Davin meminta pertolongan. Dia yakin setelah ini dirinya akan menjadi bahan ejekan semua orang. Kenapa penyesalan selalu datang terakhir? Tahu jika seperti ini, Ana tidak akan membawa kuenya tadi.

"Makasih ya. Sebenernya Bunda nggak perlu kado, cukup kamu ada di sisi Vinno aja udah buat Bunda seneng." Ana tidak tahu harus berkata apa ketika Ibu Davin mencium kepalanya lembut, "Maafin Bunda juga ya soal di kantor Vinno waktu itu. Bunda nggak tau kalau kamu itu 'Ana' yang Vinno maksud."

"Maksudnya, Bun?" Ana bertanya bingung.

"Biar Vinno aja yang jelasin. Sekarang ayo ikut! Bunda mau kenalin calon mantu ke semua orang," ucapnya sambil mengejek Ana.

"Udah dong, Bun. Aku malu." Davin hanya mendorong punggung Ana untuk mengikuti Ibunya. Dia ingin Ana akrab dengan semua anggota keluarganya.

***

Keluarga Davin sangat ramah, mereka menerima Ana dengan baik. Bahkan perbedaan kasta di antara mereka bukan menjadi penghalang. Bukan hanya keluarga, Davin juga mengenalkannya pada sahabatnya, Bram dan Kevin. Ana baru tahu jika pria seperti Davin juga bisa mempunyai sahabat. Ana juga baru tahu jika Davin adalah kakak tertua dari 3 bersaudara. Dia mempunyai adik perempuan, bernama Diva yang ternyata telah menikah dengan sahabat davin, Bram. Sedangkan adik terakhirnya laki-laki seumuran dengan Ana, dia bernama Lando.

Sifat Lando yang konyol membuat pria itu sering menggoda Ana yang bertujuan untuk membuat Davin marah. Menurut Lando wajah kakaknya terlihat lucu ketika cemburu. Ini juga kali pertamanya Davin mengenalkan gadisnya pada keluarga besar. Oleh karena itu Lando dan keluarganya terlihat sangat antusias. Ana benar-benar tersanjung kali ini.

Saat ini Ana sedang duduk dan berbincang-bincang dengan Diva. Wanita itu terlihat sangat bersemangat saat menceritakan hal-hal buruk yang ada pada diri Davin, tapi itu tidak berlangsung lama saat tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengalihkan perhatian semua orang.

"Vinno aku dateng, kangen banget deh!" Ana melihat seorang wanita datang menghampiri Davin dan menciumi wajah pria itu gemas.

"Sialan, si medusa muncul!" Ana tersadar saat Diva sudah sampai di tempat Davin dan menjambak rambut wanita yang mencium kakaknya saat ini.

Ana masih berdiri dengan kaku. Bagaimana tidak? Dia melihat sendiri kekasihnya dicium dengan orang lain. Semua terjadi begitu cepat dan Ana tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Davin tidak terlihat mengelak sedikitpun.

Bagus! Baru aja tadi dibikin seneng sekarang udah bikin nyesek.

***

"Tante nggak nyangka kamu bisa kayak gini, Lucy!"

"Aku kan kangen Vinno, Bun—"

"Jangan panggil aku Bunda!"

Saat ini mereka semua sudah duduk di ruang keluarga. Hanya ada keluarga inti dan sahabat Davin, karena keluarga lainnya sudah pulang saat keadaan berubah menjadi tidak memungkinkan karena kehadiran wanita yang bernama Lucy.

Tidak ada keterangan lebih jelas tentang Lucy, bahkan Diva hanya diam saat Ana bertanya. Lucy masih menunduk saat Ibu Davin memarahinya. Saat dimarahi pun dia masih memilih untuk dekat dengan Davin dan memeluk lengannya erat. Seolah ada lem yang tidak akan bisa membuat pelukan itu terlepas. Lagi-lagi Davin tidak menolak sedikitpun. Hal itu membuat Ana kembali berfikir, apa Davin hanya mempermainkannya saja selama ini?

"Udah malem, kalian semua nginep di sini. Dan Lucy, Tante harap kamu jauh-jauh dari kamar Vinno," ucap Ibu Davin dan berlalu pergi bersama suaminya.

Semua orang masih duduk dengan diam. Ana tidak bisa berdiam terus seperti ini. Dia harus tahu hubungan apa yang terjalin di antara Davin dan Lucy. Namun untuk saat ini, Ana memilih untuk sendiri dulu. Kepalanya mendadak terasa pening.

"Aku mau pulang." Setelah mendengar itu, Ana menjadi pusat perhatian sekarang.

"Ana kamu denger tadi Bunda bilang apa, semua menginap. Jangan menentang perkataan Kanjeng Ratu. Kualat nanti," jawab Kevin berusaha untuk mencairkan suasana yang sepertinya sia-sia karena semua orang masih diam dengan pikiran masing-masing.

"Kamu siapa?" tanya Lucy pada Ana.

"Dia pacar Vinno," jawab Diva cepat.

"Nggak mungkin!" Lucy menatap Ana tajam dan mulai mendekat.

"Jangan ganggu Ana." Davin menarik Ana dan melindunginya dari Lucy.

"Siapa dia, Vinno?! Aku yang pacar kamu di sini!" teriak Lucy murka.

"Masuk ke kamarmu sekarang!" Lucy menggeleng cepat dan berusaha meraih Ana. "Lucy!" bentak Davin sekali lagi.

"Aku nggak mau!"

"Terserah." Davin menarik Ana dan membawanya naik ke lantai dua. Jika Lucy tidak bisa menurut, lebih baik dia yang pergi.

***

Ana terduduk di ujung kasur dengan perasaan campur aduk. Dia ingin marah dan menangis di saat yang bersamaan. Kenapa kebahagiaannya datang begitu singkat?

"Aku mau pulang."

"Ana!" Davin menggeram yang membuat Ana terdiam karena takut.

Mereka butuh ketenangan. Mereka butuh waktu untuk berpikir. Davin tidak menyangka jika di hari bahagia ini, masalah akan datang untuk menguji hubungannya bersama Ana.

Davin berjalan mendekat dan mengelus kepala Ana pelan. Mencoba memberikan ketenangan untuk gadisnya, "Tenang lah." Setelah itu Davin berlalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika sudah selesai, Davin tidak mendapati Ana di kamarnya. Dia takut jika gadis itu akan pergi sebelum dia menjelaskan semuanya.

"Ana!" teriak Davin saat menuruni tangga sambil berlari, bahkan dia mengabaikan panggilan Kevin dan Bram yang masih berada di ruang tamu.

Davin berlalu menuju halaman untuk menemukan Ana. Dia meremas rambutnya kesal saat tidak mendapati gadis itu di mana pun. Davin kembali masuk dan mengambil kunci mobil. Dia harus menyusul Ana, dia tidak akan membiarkan gadisnya itu pulang sendiri.

"Kamu kenapa sih, Vin?" tanya Bram bingung melihat tingkah sahabatnya itu.

"Ana pergi," jawab Davin cepat.

"Vinno!" teriak Kevin yang membuat langkah Davin kembali terhenti.

"Apa?!" bentak Davin kesal. Sekarang bukan waktunya untuk berbincang.

"Ana lagi di dapur, emang kamu mau jemput Ana ke dapur pakai mobil?"

"Dapur?" gumam Davin pelan. Sedetik kemudian dia berjalan cepat ke dapur dan menghela nafas lega saat mendapati Ana sedang duduk santai bersama Diva dan Laila sambil menikmati jus jeruk.

"Kenapa nggak bilang?" tanya Davin setelah perasaan kalutnya sudah hilang.

"Emosi bikin haus ternyata," jawab Ana acuh.

Dengan sabar, Davin meraih lengan Ana pelan. Gadis itu berusaha menghindar untuk menenangkan hatinya. Jangan salahkan dia yang bertingkah seperti anak kecil. Salahkan saja Davin yang tak kunjung memberitahunya tentang Lucy. Ana sempat berpikir, sebenarnya dia ini siapa? Tiba-tiba dia merasa asing di rumah ini.

"Aku ngantuk. Kamarnya ada di atas pintu ke-2 kan?" tanya Ana pada Laila.

Laila hanya mengangguk dan ikut berdiri," Aku juga mau tidur, udah malem." Ana dan Laila berlalu meninggalkan Davin bersama dengan Diva.

Davin melirik adiknya yang memilih untuk diam. Diva mengedikkan bahunya acuh, "Nggak tau, selesain sendiri."

Davin menatap adiknya tidak percaya. Bahkan sepertinya tidak ada yang membelanya saat ini. Davin akui dia salah karena tidak menghindar sama sekali dari Lucy. Dia hanya terlalu terkejut. Davin tidak bisa melakukan apapun saat tubuh Lucy sudah menempel erat pada tubuhnya.

 Apa yang harus dia lakukan sekarang?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status