Suasana sunyi melingkupi kamar bernuansa monokrom itu, hanya ada suara deru nafas berirama seorang gadis bersurai mahoni yang tengah memejamkan matanya yang tampak sembab.
Jejak-jejak sisa air mata masih tertinggal di pipinya, sehingga pria pirang yang sedari tadi hanya diam mengusap pipi pucat gadis yang tak lain adalah istrinya. Sebastian tidak bergerak dari posisi awalnya. Pria itu takut membangunkan Rael yang tengah terlelap dalam dekapannya setelah menangis tersedu-sedu di hadapannya hampir selama satu setengah jam lamanya.
“Kenapa gadis manusia yang lemah sepertimu harus memilih jalan pembalasan memutar seperti ini?”
“Padahal akan lebih mudah, jika kau langsung mencabut nyawa mereka.”
Sebastian berdialog sendiri. Tangannya telah
“Sudah saya bilang semuanya berjalan sesuai rencana kita, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir saya telah melakukan dengan baik dan tertata rapi.”…“Benar, selama dia tidak dapat membuktikan apakah tuduhan itu salah rencana kita tidak akan berantakan.”…“Setelah gagal lama-kelamaan dia akan ditinggalkan … ya, seperti itulah biasanya yang terjadi. Baik, serahkan saja pada saya, Nyonya.”Tut …Sambungan baru saja terputus. Seorang wanita berambut brunette menyibakan sebagian poni panjangnya yang sedari tadi memang telah menghalangi pandangan. Ponsel yang sempat tergantung di telinga telah ia letakan kembali di atas meja.&nbs
Pagi yang cerah sekaligus dingin. Suhu kota London mencapai di bawah 0° C, itulah mengapa mereka yang hendak beraktifitas harus mengenakan mantel tebal dan sebuah syal. Tidak lupa sepasang sarung tangan dan boots agar tidak tergelincir saat berjalan di atas tumpukan permadani putih yang licin.Meski udara dingin menusuk sampai ke dalam tulang ternyata tidak menghentikan seorang gadis berambut brunette yang saat ini mengemudikan sebuah sedan tua dengan riangnya. Bibir tebal dan penuhnya tidak berhenti menyunggingkan seulas senyuman manis. Ia seakan tidak merasa lelah sekalipun harus berkendara selama hampir tiga jam lamanya.“Itu dia tujuan kita …rumah sakit Eden!” seru Lizzy bersemangat.“Astaga, ak
Ada beberapa hal yang selalu membuat Felix selalu merasa merinding atau ketakutan. Seakan melupakan fakta bahwa ia adalah salah satu makhluk yang sering ditakuti. Siapapun pasti akan berlari tunggang-langgang bukan ketika bertemu dengan seorang iblis? Jika manusia takut dengan iblis dan hantu, maka hal seperti apa yang membuat Felix yang notabennya adalah seorang iblis jadi bergidik⸺ketakutan.Jawabannya sosok pria bersurai pirang yang saat ini sedang terbahak di sudut ruangan. Sebastian Dayton merupakan alasan mengapa Felix berusaha menahan gemetar. Tangannya bahkan mencoba agar tidak menjatuhkan cangkir keramik berisi cairan kental hitam yang baru saja diseduhnya.“Elizabeth Brigitte … si tikus yang berani menghancurkan karir istriku,” ujar Sebastian disela-sela tawanya. Ia terus saja mengulang ucapannya menyebutkan sosok gadis muda y
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Tanganku sama sekali tidak berhenti gemetar. Berulang kali setir hitam di hadapanku menjadi korban. Aku mencengkramnya erat berusaha agar rasa cemas yang bergelayut menghilang satu-persatu, sayangnya nihil. “Sial! Aku berharap tidak menolak tawaran Sebastian untuk menemani,” teriakku sembari memukul kemudi. Mengapa hal ini terjadi? Aku rasa tidak membuat kesalahan barangkali sedikitpun karena memang selama ini dalam melakukan pekerjaanku tidak pernah menggunakan cara kotor. Meski aku bersekutu dengan iblis bukan berarti aku selalu bertindak demikian bukan? Disaat benakku masih sibuk menerawang jauh entah kemana, tubuhku terlonjak kaget ketika dering ponsel memecah keheni
“Penulis Anda tentu saja, Agatha Gray adalah Istri saya.” Suara lantang dan tegas dari sosok pirang yang masih berdiri di depan pintu mengejutkan Brown yang tampaknya masih berusaha mencerna ucapan tamu tidak diundang. Aku sendiri sama terkejutnya dengan pria gempal paruh baya. Tidak pernah sedetik pun ia akan datang kesini, sekalipun mungkin aku memang memanggil namanya dalam hati. “Sebastian …,” panggilku lirih. Suamiku itu mengulum senyum manis seolah sedang menenangkanku. Aku mulai dapat merasakan buliran bening menumpuk di pelupuk mata. Tapi mana mungkin aku terlihat begitu lemah di hadapan Brown. Jika aku sampai menangis pria itu akan mengira aku hanya sedang mencari simpati darinya. “Jangan membual, Nona Agatha … maksud saya Nona Raeliana Oswald masih lajang,” balas Brown dengan melipat kedua t
“Aku tidak percaya, bagaimana bisa dia tega melakukan hal ini padaku?! Menghancurkan satu-satunya mimpi yang sudah kupupuk sedari kecil.” “Rael, bernafas … kau baru saja minum obat, jangan sampai ada serangan berikutnya,” ucap Sebastian mencoba mengingatkanku yang baru saja mendudukan diri pada jok penumpang. Iris hazel ku memandang sosok pria bersurai pirang yang kini tengah duduk di belakang kemudi. “Kau tidak pernah memikirkan itu semua adalah ulah Emilia?” Bukankah tadi yang memintaku menenangkan diri itu dirinya? Lalu mengapa ia kembali mengingatkanku tentang kejadian mengesalkan beberapa waktu yang lalu? Meski begitu aku masih menjawab pertanyaan Sebastian dengan wajah masam. “Tidak sama sekali, mungkin karena aku terlalu panik dan gugup. Bayangkan saja a
“Saya minta maaf karena telah melakukan hal seperti ini kepada Anda. Saya minta maaf.” Gadis berambut brunette yang tengah berdiri di hadapanku menunduk dalam. Kini kami telah berada di basement, karena disanalah mobil kami terparkir.Sekitar hampir tiga menit berdiri dan Elizabeth telah meminta maaf juga berterima kasih padaku serta Sebastian. Gadis berusia 19 tahun itu tampak menyesali perbuatannya, mana mungkin aku tega menghukum orang yang melakukan semua ini karena terpaksa.“Tidak apa-apa, Anda kan sudah menjelaskan jika itu bukan kemauan Anda sendiri. Saya juga berterima kasih karena Anda sudah berani datang kemari,” ujarku sembari mengusap bahu York, mencoba menenangkannya.Elizabeth mengangguk dan menyeka deraian cairan bening yang masih mengalir
Brakkk Derap langkah cepat terdengar menggema sepanjang lorong apartemen bergaya minimalis. Seorang pria bersetelan jas mahal melenggang masuk dengan langkah terburu. Nafasnya terengah begitu mencapai salah satu pintu yang menghubungkan ke sebuah ruangan dengan jacuzzi. “Hei, Robert … ada apa dengan penampilanmu yang berantakan itu, Wakil Direktur? Apakah kau baru saja habis bertemu dengan Valak?” Emilia mengulum senyum dan mengangkat gelas kristal berisi whisky. Wanita itu tampak dalam keadaan setengah basah karena menikmati waktu istirahatnya dengan berendam air panas. “Emilia, kau sudah membaca, melihat atau … mendengarkan berita? Internet sedang guncang!” Robert setengah berteriak dari ambang pintu. Bahkan anjing pudel Emilia berjengit karena suara menggema sang wakil direktur.