Deru nafas seorang wanita berambut mahoni terdengar begitu keras. Berulang kali ia terjatuh dan tersingsal tebalnya salju yang menutupi jalanan kota. Beberapa kali ia juga berusaha menggapai tangan orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Sayangnya saat ada yang mendekat wanita tersebut justru berlari. Bukan tanpa alasan ia berlari kesana-kemari dengan luka di beberapa sudut tubuhnya.
“Hei … tunggu! Dasar jalang … tangkap dia!” Teriakan para pria bermantel hitam mengejutkan wanita bersurai mahoni itu. Tanpa memperdulikan luka di kakinya yang telah dipenuhi noda kemerahan. Ia tetap berlari secepat yang ia bisa.
“Sial … sial! Emilia, kau memang benar-benar brengsek! Bagaimana bisa dia berencana untuk membunuhku.” Maggie bergumam tidak jelas. Wanita bersurai mahoni itu terus memperhatikan ke kanan-kiri
Ban hitam yang mengkilap dari sebuah mobil Bugatti tengah menapaki jalanan aspal London yang licin juga bersalju. Penumpangnya tidak lain tidak bukan adalah aku dan suamiku⸺sang iblis tampan rupawan. Alunan lagu ber beat lambat dari salah satu grup musik kesukaanku mengiringi perjalanan kami untuk menuju tepi selatan London. Atau lebih tepatnya West Sussex. Mobil Bugatti Sebastian ini harus menempuh sekitar 48 km dari pusat London untuk mencapai bandara tersibuk kedua yang ada di London⸺Gatwick. Suasana hatiku sedang cukup baik, sehingga sepanjang perjalanan dari apartemen bibir tipisku sudah sibuk menggumamkan lagu-lagu dari daftar lagu yang diputar. “Pukul berapa Maggie akan berangkat?” tanya Sebastian dan membuatku yang semula sibuk menyanyikan bait lagu bagi
Aroma anyir dan apek serta hawa dingin yang menusuk menjadi hal pertama yang menyambut indra seorang wanita berambut mahoni. Maggie tampak kacau, tidak ada penampilannya yang selalu stylish dan trendy. Sebaliknya ia justru seperti seekor kucing kampung di jalanan.Pandangannya masih mengabur ketika ia terbangun dari mimpi indah singkatnya. Kepalanya seperti habis dihantam batu besar dengan keras, samar-samar ia dapat melihat beberapa pria dan seorang wanita berada di hadapannya. Rasa perih dan nyeri di tubuhnya membuat ibu dua anak itu meringis kesakitan.“Akhirnya kau sudah bangun dari tidurmu, wahai putri salju.” Sebuah suara yang terdengar familiar menyapa Maggie. Perlu waktu selang beberapa detik sebelum akhirnya ia merespon sapaan hangat tersebut dengan
“Aku akan menunggu disini, kau cepat lakukan urusanmu … aku tidak akan mengunci pintunya, jadi jangan berharap kau bisa kabur,” kata pria yang mengenakan jaket kulit hitam. Saat ini Maggie telah berada di sebuah kamar mandi kotor yang tampak dipenuhi kerak di lantainya. Tangannya masih diikat kencang, sementara pintu kamar mandi sengaja dibuka sedikit untuk jalan tali yang masih dalam genggaman salah satu pria yang menyekapnya.“Cepatlah sial! Kau berbohong ya …” Suara menggelegar dn sebuah gebrakan keras di dinding mengejutkan Maggie. Ia terlonjak dan kembali memutar otak ia mencoba mencari sesuatu di sana yang dapat digunakan. Manik hazelnya bergulir dengan cepat menyusuri setiap sudut sampai menemukan bilah kaca yang pecah, sepertinya berasal dari pecahan kaca jendela yang terletak tepat di bagian atas toilet kamar mandi.
Derit pintu terdengar. Seorang pria berambut pirang melangkah masuk di salah satu ruang perawatan. Jas putih masih membalut tubuh kekar bak binaragawannya. Pandangannya terjatuh pada seorang sosok gadis bersurai mahoni yang tengah sibuk menimang seorang balita dalam gendongannya. Rael tidak menyadari kehadiran seseorang di dalam ruangan. Ia terlalu sibuk dengan keponakannya yang kini masih sesenggukan. Bibir tipis berwarna plum tersebut menggumam kecil—menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur. Sebastian terdiam di lorong kamar dan memperhatikan gadis berambut coklat madu tersebut. Ia hanya diam tanpa berniat menunjukan diri. Terlebih ketika ia dapat melihat kristal bening yang kembali meluncur di pipi porselennya. Ia tidak dapat melangkah lebih jauh. Bukan karena ia tidak ingin menenangkan sang istri,
“Bagaimana dengan para tamu undangan? Apakah mereka sudah datang?” “Berapa lama lagi nyonya akan selesai? Gedung sudah mulai penuh dan banyak yang harus beliau sapa. Kau! Bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari panti rehabilitasi? Apakah mereka sudah siap?” Robert Hammington tampak sibuk. Sang wakil kepala direktur tidak berhenti berjalan dan berbicara dengan para staf. Alasannya adalah satu, hari ini merupakan salah satu momen penting perusahaan mereka. Berbagai banyak hal telah ditempuh dirinya bersama sang kepala direktur sebaik mungkin agar tidak ada kesalahan barangkali setitik pun. Itulah yang menyebabkannya tampak seperti seekor lebah. Ia bergerak kesana-kemari bergumam dan melakukan persiapan akhir hanya untuk memastikan, hari yang penting bagi Oswald
“Apa yang kalian lihat?! Aku akan mencabut kedua bola mata kalian jika sekali lagi melihatku!” Seorang wanita berambut mahoni berteriak marah kepada beberapa orang wanita lain yang berada di satu ruangan dengannya. “Aku akan membuat Robert membayar semua ini. Beraninya dia mengkhianatiku, setelah aku memberikan segalanya pada pria itu … lihat saja, mereka pasti akan meregang nyawa di tanganku,” gumamnya lagi. Ia menggigit kuku-kuku jarinya untuk meredakan rasa cemas yang telah menggelayuti sejak hari pertama dirinya mengenakan setelan orange neon. “Emilia, kau ada tamu.” Pintu besi terbuka menampilkan wanita berseragam kebiruan⸺opsir penjaga sel⸺telah berdiri di ambang pintu untuk membawa Emilia menemui seseorang. Mendengar namanya disebut Emilia tersenyum lebar. Ia bahkan sampai terbahak dan berulang kali menunjuk narapidana wanita lain yang berada di
Butiran salju yang menumpuk dan dinginnya udara yang membekukan aliran darah menjadi fokus perhatianku sejak mobil milik Sebastian meluncur di jalanan beraspal. Kami baru saja meninggalkan salah satu penjara wanita Wakefield. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya ada deru mesin mobil saja yang mengisi suasana hening. Entah mengapa aku sendiri tidak begitu tertarik hanya untuk memecah keheningan, sehingga aku memilih diam. “Rael … apakah kau ingin pergi ke pantai?” Sebuah pertanyaan yang baru saja dilemparkan pria bersurai legam di sampingku berhasil membuat kerutan samar terukir di dahiku. “Di tengah musim dingin seperti ini? Kau mengajakku untuk pergi ke pantai?” Sebastian tidak segera menanggapi pria itu justru tertawa kecil dan mengangguk, “Kau pasti belum pernah bukan? Kita hanya akan menikmat
Mataku terasa begitu berat. Tapi cahaya matahari yang menelisik masuk melalui tirai terlanjur mengusik tidurku, sehingga dengan berat hati aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan ruangan yang tidak lain adalah kamarku. Aku melenguh ketika merasakan otot-otot tubuhku terasa kaku. Entah sejak kapan aku sudah berada di apartemen, dan lagi aku mengenakan piyama. Aku tidak terlalu ingat mengganti pakaianku dengan ini. Malas berpikir lebih jauh membuatku mengabaikannya saja, toh aku sudah terlanjur berganti pakaian. Disaat sedang sibuk bergelung di dalam selimut kilasan kejadian kemarin terlintas. Aku dan Sebastian pergi ke pantai. Kami berjalan-jalan menyusuri pantai di udara yang dingin sembari menonton para peselancar bermain kejar-kejaran bersama ombak. Seulas senyum terukir di sudut bibirku s