Sinar matahari yang menelisik masuk melalui celah tirai beludru mulai mengusik tidurku, keinginan bergelung di balik selimut tebal masih menggelayut. Kasur yang terasa sangat empuk beraroma citrus berpadu dengan harum musk menggelitik hidung. Tunggu, sejak kapan kamarku yang biasanya beraroma lavender menjadi citrus?
‘Yang terakhir, cintai aku dan jadilah suamiku selama setahun nanti.’
Kilasan balik semalam terbesit kembali dibenakku. Ucapan memalukan pada seseorang membuatku langsung terduduk dengan setengah sadar, membuatku hampir oleng jika sebuah tangan tidak segera menangkapku. Aku berkedip beberapa kali melihat surga di hadapanku.
Seorang pria bersurai pirang dengan manik legam tengah mengenakan jubah mandinya tersenyum padaku. Tanpa basa-basi tentu saja aku segera menjauh dan menarik selimut menatapnya dengan raut yang dapat dipastikan sudah memerah.
“Selamat pagi Nona, bagaimana apakah tidurmu nyenyak?” tanya pria pirang yang kini sudah duduk di pinggir tempat tidur, aku hanya mengangguk pelan.
“Tunggu, apa kau Tuan iblis semalam?”
Pria itu mengangguk, aku mengigit bibirku lagi teringat ucapan yang masih saja terngiang-ngiang dibenakku, karena tingkahku semalam seperti tengah melamar seorang pria. Pertanyaanku adalah apakah ini benar-benar nyata? Apakah dia benar-benar iblis?
“Ah, anda jangan khawatir saya sudah biasa mendapat lamaran seperti semalam,” timpal iblis di hadapanku ini fromtal. Dan tentu saja langsung membuatku melempar bantal yang terletak tepat di belakangku. Aku sangat yakin wajahku pasti sudah memerah seperti pantat monyet, bodohnya.
Pria itu tertawa renyah menghindari serangan bantal milikku.
'Ya Tuhan, mengapa tawa seorang pria tampan memang selalu menjadi musik yang sangat indah di telinga?'
“Saya jadi malu Nona, jika anda memuji saya terang-terangan, tapi terimakasih saya memang tampan.”
Lagi dan lagi pria ini membaca semua isi pikiranku, menyebalkan. Aku jadi tak memiliki privasi nanti, bahkan untuk sekedar berbicara dengan diriku sendiri.
“Berhenti membaca apapun yang muncul diotakku, sialan!” Pria itu tersenyum, mengangguk berusaha menutup mulut, aku kembali meliriknya sinis masih mengumpat. Muak diperhatikan, jadi aku memilih beranjak keluar dari selimut dan berjalan keluar kamar yang aku bahkan tak tahu akan kemana.
Kemudian baru kusadari, saat ini aku berada di sebuah apartement mewah bernuansa hitam putih, menegaskan pemiliknya adalah seorang pria. Berikutnya aku berjalan hingga menemukan dapur dengan pantry beralaskan batu granit cantik, membuatku tergoda mencoba setiap alat masak yang tampak mahal dan mewah.
Aku mengusap perut datarku yang sepertinya tengah merongrong meminta diisi. Tubuhku sedikit terlonjak karena baru menyadari,entah sejak kapan aku telah berganti pakaian dengan sebuah piyama kebesaran berlengan panjang berwana beige. Semburat merah kembali muncul diiringi makian pelan karena rasa sebal. Aku yang hendak kembali ke kamar terkejut karena sosok pirang itu muncul, sekarang ia telah mengenakan turtleneck hitam dan celana jogger senada. Rambutnya masih tampak berantakan dan sedikit basah, namun sialnya menambahan ketampanan dan keseksian sang Iblis.
“Duduklah akan kubuatkan sarapan, kau bisa makan apa saja bukan.” Pria ini mendorong tubuhku menuju meja yang menghadap langsung ke dapur, menarik kursi dan membuatku duduk. Tak disangka lagi ia mengambil secangkir susu hangat dan meletakannya dimeja.
“Aku bisa makan apa saja, tapi tidak jika hanya dengan susu,” ujarku cukup pedas, si pirang terbahak dan menggeleng hanya mencubit pipi putihku. Ia berjalan menuju dapur sembari memakai apron hitam polos membuka kulkas mengeluarkan beberapa bahan seperti daging bacon beberapa telur, sosis, tomat, jamur, dan roti.
Menu makanan sederhana ala Inggris. Selanjutnya dapur hanya berisi denting perkakas saja dan aku hanya memangku tangan melihatnya sibuk. Ini adalah pertama kalinya aku melihat seorang pria tampan memasak secara langsung.
'Wow ... Dewi Fortuna terimakasih!.'
Lima belas menit kemudian menu sarapan ala Inggris pun tersedia, plus sebagai tambahan segelas susu. Tanpa memperdulikan norma kesopanan dan harga diri langsung saja tanganku menyuap bacon dan telur mata sapi yang terasa lumer di dalam mulut. Berulangkali mulutku bergumam enak dan menatap kagum pria pirang yang juga ikut menyendokkan sarapannya ke dalam mulut dengan masih tersenyum.
“Pelan-pelan mengunyahnya, apa seenak itu Nona?”
Aku mengangguk cepat dan tersenyum beberapa kali rambut mahoni milikku menutupi pandangan, sehingga beberapa kali tanganku sibuk menaruhnya ke belakang telinga. Kegiatan sarapanku terhenti karena terpaku pada sepasang manik obsidian yang menghipnotisku, dan akibatnya aku hampir mati tersedak. Langsung saja tanganku menyambar gelas berisi susu dan meneguknya.
“Jadi bisakah kita mulai berbicara soal bisnis kita?”
Pria itu telah menyingkirkan piring-piring di hadapan kami dan bersandar pada bantalan kursi sembari melipat tangannya. Aku menghela nafas sebentar kemudian ikut membenarkan dudukku.
Baiklah aku siap!
Pria itu tersenyum simpul hingga aku baru tersadar kedua irisnya telah berganti menjadi sepasang mata berwarna merah menyala. Begitu indah seperti batu ruby yang berkilauan.
“Mari kita tegaskan apa yang kau inginkan kemarin ada beberapa hal,” tutur pria pirang itu mengawali percakapan kami. Aku hanya mengangguk kecil dengan tangan saling mencengkram piyama kebesaran di tubuhku.
Ia tersenyum hingga aku baru menyadari terdapat dua taring yang mencuat cukup tajam dari sudut bibirnya. Tampak menakutkan tapi tampan juga menggoda.
Ah, sudahlah fokus. Tangannya berada di hadapanku dan di sana aku dapat melihat gambar simbol pentagram berpendar, bersamaan dengan pendarnya aku dapat merasakan tepat di punggung tanganku telah terukir gambar yang sama. Aku menatap balik iris menyala itu, ia hanya terenyum miring dan mengangguk kecil.
“Aku ingin membuat perjanjian denganmu dimana kau tidak akan pernah mengkhianatiku apapun yang terjadi hingga kontrak kita berakhir. Jangan berpihak pada siapapun dan lindungi aku.”
Mata kami saling bertemu kembali, sorot jenaka miliknya masih menatapku bahkan tak ada satu kata apapun yang keluar dari mulut kami. Tak lama aku dapat merasakan pipiku yang terasa panas sesaat, “Lalu cintai aku dan jadilah suamiku selama kontrak ini berlangsung nanti.”
Pria itu tersenyum puas.
Beberapa saat kemudian aku dapat merasakan sensasi terbakar di punggung tanganku, lalu gambar pentagram itu perlahan menghilang seolah menyatu dengan kulit putih milikku. Aku kembali melihat kembali ke arah pria pirang yang sudah berdiri dan kini duduk di atas meja ⸻tepat di hadapanku⸻tersenyum seperti orang bodoh.
“Nah, Istriku ayo kita mulai permainan kecilmu itu.”
*blush*
Pipiku terasa sangat panas bahkan aku harus menutupinya dengan kedua tanganku yang masih terbalut piyama kedodoran miliknya. Si pirang ini justru tertawa dan membawaku dalam pelukannya membuatku semakin membatu. Bagaimana pun aku wanita dewasa, meskipun aku sendiri tak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun, kecuali orang itu.
'Ya benar, dia yang sudah menghancurkan segalanya.'
Aku mendorongnya keras hingga ia tersentak, tetapi segera menyeimbangkan tubuhnya, sepertinya pria ini biasa berada dalam hubungan romansa. Ia tampak tenang, bahkan tak tersipu sama sekali. Yah ... maklum juga, ia pasti sudah hidup lama. Jadi, menjalin hubungan romantis seperti ini bukanlah hal yang aneh.
“Baiklah, kita harus mulai berlatih menjadi romantis agar orang-orang benar-benar percaya bahwa aku, Sebastian Dayton adalah Suami dari Raeliana Dayton.”
Aku tercengang sesaat, bagaimana ia bisa mengetahui namaku. Sesosok pria berkacamata tampan berambut hitam dengan iris mata keemasan, tiba-tiba saja telah berdiri di ujung pintu membuatku berjengit kaget dan melompat ke arah si pirang yang bernama Sebastian ini.
“Perkenalkan dia asistenku, Felix Scott Hamilton. Nah, dia juga sama sepertiku. Jadi tenang saja rahasia kita aman.”
Sebastian tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya dan mengedipkan sebelah matanya, aku hanya mengangkat sebelah alisku dan kembali memperhatikan pria bernama Felix. Dan ternyata asistennya itu membawa banyak kantong bingkisan barang-barang bermerek ternama seperti Gucci, Armana, Guess, dan lain-lain yang sudah tertata rapi disana,
“Felix, mulai sekarang dia Istriku. Jadi, jaga dia dengan seluruh jiwa dan ragamu,” titah Sebastian yang sudah berjalan meninggalkanku dan Felix menuju ruangan yang lain. Tentu, aku hanya mengekor di belakangnya setelah tersenyum kecil pada asisten tampan suamiku ini.
“Ah, aku belum bilang ya apa-apa soal kehidupanku saat ini. Baiklah, ini.”
Sebastian mengambil sebuah map dari dalam brankas berwarna hitam, tangannya memberi tanda untuk aku membukanya dan ternyata berisikan biodata miliknya lengkap. Aku ternganga membaca biodata atau sebuah novel, bagaimana bisa setebal ini?
“Seorang istri harus menghafal kesukaan, kebiasaan, phobia, bahkan sampai hal paling dibenci suaminya, benar?”
Aku mendengus⸻kesal⸻merasa seperti diriku baru saja dipermainkan.
“Bagaimana denganmu? Kau juga tidak tau apa-apa tentangku,” selorohku sembari melipat kedua tangan di depan dada, tubuhku bersandar pada dinding kamar. Kini kami telah kembali ke kamarnya. Saat ini dengan santainya suami iblisku itu berganti pakaian tanpa memperhatikan, ada seorang wanita di hadapannya. Wajahku pasti sudah memerah karena tesipu.
“Tentu, aku mengetahui segalanya tentangmu. Raeliana Oswald seorang penulis novel thriller dengan nama Agatha Grey. Penulis ternama yang menyembunyikan identitas aslinya, lulusan dari London University, apalagi yang kau mau tau?”
“Apa makanan kesukaanku?”
“Pasta, steak, dan bagel,” jawab Sebastian mengulum senyum miring di kedua sudut bibirnya. Tangannya sibuk mengancingkan kemeja putih, aku bahkan masih bisa melihat perut seksi dengan delapan kotak disana, sial!
“Apa yang aku benci?”
“Orang-orang, keluargamu, mantan kekasihmu dan mantan sahabatmu.”
Aku terdiam saat mendengar jawabannya, pria itu tersenyum miring lagi. Aku yang hendak pergi meninggalkan pria menyebalkan itu dapat merasakan sebuah tangan mencekalku. Ia tersenyum dan mengucap ‘sorry’ tanpa suara.
“Nah, jadi siapa target pertama kita, darling?”
‘Uh, aku merasa mual tidak terbiasa dengan panggilan menjijikan itu.’
Aku hanya mendelik dan duduk di sofa memandang keluar pemandangan lalu lintas London dari atas sini. Senyumku merekah diiringi dengan kekehan seram yang membuat Sebastian menaikkan sebelah alisnya.
“Mari kita awali dari keluarga besarmu yang baru, darling.”
Apa yang paling aku benci selain orang-orang? Keramaian dan tatapan orang-orang seperti saat ini⸻hampir setiap pasang mata memperhatikanku. Bagaimana tidak? Saat ini aku dan suamiku⸻pria yang semalam kutemui⸻baru saja turun dari mobil Bugatti La Voiture Noire. Salah satu mobil yang dinobatkan menjadi mobil termahal di dunia senilai 18,7 Juta USD, tengah mampir di sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota London dan tebak apa jabatan suamiku tersayang ini? Direktur utama sekaligus pemilik dari rumah sakit yang tampak seperti hotel ini. Aku mencoba berdeham beberapa kali dan membenarkan rambutku yang sudah kutata seapik mungkin. Tentu saja, aku tak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan berpakaian seperti gembel. Dress berkerah tinggi dengan pita tanpa lengan merek Prada, dipadukan dengan mantel Gucci coklat membalut tubuh rampingku, tak lupa bots berhak tinggi berwarna senada dengan renda hitam di ujung dressku.
Suara ketukan ujung sepatu hak bersahutan menggema di sepanjang lorong sebuah rumah sakit. Dua orang wanita berjalan dengan anggunnya. Beberapa kali perawat adam yang melihat sosok wanita yang berjalan paling belakang terkagum-kagum⸻kecantikannya terlalu mempesona. Tubuh bak gitar spanyol, tinggi semampai, kulit seputih salju dan rambut sepinggang berwarna mahoni yang tertimpa sinar lampu membuatnya tampak berkilau. "Selamat pagi," sapa wanita berbibir tipis yang berbalut lipstik merah tersebut, membuat sejumlah perawat pria yang melihat sosok wanita itu terkagum-kagum. Di sebelah wanita elok tersebut adalah seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum bangga. 'That's my daughter.' Bangga wanita tersebut yang tengah berjalan dengan membusungkan dada, mendengar decak kagum orang-orang pada sang putri. Langkah keduanya terhenti ketika mendapati seorang perawat sedang berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya menunjuk ke arah salah satu pintu kayu be
Nafasku tak beraturan, kepalaku terasa pening seolah batu besar baru saja menghantamku. Belum lagi perutku yang terasa seperti ditekan keras, aku dapat merasakan seluruh tubuhku melemas tepat setelah kedua orang yang tak lain adalah ibu serta kakak sulungku menghilang di balik pintu. *BRUUKK* Tubuhku segera merosot kehilangan tenaga, untungnya pria di sampingku ini segera menahan tubuh serta kepalaku agar tidak menghantam dinding. Aku menatap iris obsidiannya yang tampak tenang setelah melakukan akting yang cukup panjang tadi. Sebastian membawaku dalam gendongannya dan meletakkanku di atas sofa. Pria pirang itu melepaskan sepatu botsku menyisakan paha putih jenjangku yang segera ditutupinya dengan sebuah selimut cadangan baru di lemari belakang sekat tempatku membuat minum tadi. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-gerik pria yang saat
Pemandangan apartemen berinterior hitam dan putih yang mendominasi hampir di setiap sudutnya. Kemudian sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota London. Selama setahun ke depan hingga akhir nafasku nanti akan menjadi hal yang sangat familiar. Aku masih saja berdecak kagum melihat pemandangan dari atas sofa yang diletakan tepat di hadapan jendela besar. Bruuuakk Hingga suara berdebum yang sepertinya berasal dari beberapa barang membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber dari suara keras itu. ‘Sepertinya itu Sebastian.’ Suamiku itu saat ini memang sedang merapikankamar yang seharusnya akan kutempati. Tanganku merentang lebar dan bergerak ke kanan kiri, mencoba melemaskan setiap otot-otot dan sarafku. Rambut mahoni yang telah menutupi pantatku pun telah ter
Awal tahun merupakan waktu dimana setiap harapan baru lahir dan lembaran baru dibuka guna menggoreskan tinta kehidupan yang lain di bab yang baru sebelum mencapai akhir buku kehidupan. Jika beberapa orang menghabiskan waktu awal tahunnya dengan canda, tawa, dan bersulang. Seorang wanita justru duduk di dalam selimut menatap jendela besar di samping tempat tidurnya sembari menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Hidung mancungnya tampak memerah, jejak air mata tertinggal di kedua sisi pipi putihnya. Tangannya bergetar menggenggam gunting. Menangis dalam gelapnya ruan
“Rael itu hanya pernah berpacaran satu kali, itu pun ia justru dikhianati sahabatnya sendiri. Siapa ya … Penelope, sepertinya itu namanya.” Ibu memasang sedih dan penuh iba lagi padaku,tangannya mengusap pipi putihku dengan sorot matanya memandangku rendah, “Aku tidak tahu bagaimana bisa memiliki Putri sepertinya. Mungkin ini karena mendiang suami Ibu dulu sering memanjakannya.” ‘Sudah cukup, aku muak dengan omong kosong ini.’ Bahkan mereka berani mengatakan itu semua di hadapan suamiku, jika bukan karena kontrak kami dan seandainya Sebastian adalah suamiku sesungguhnya Ia pasti sudah berlari meninggalkanku. Kedua tanganku terkepal, hingga tanpa sadar kuku panjang yang tajam milikku menembus lapisan kulit. Sudah cukup berhenti gemetar, aku tidak ingin hin
Sebastian memasuki apartemen masih menggenggam tanganku yang sepertinya sudah sedingin es batu. Udara hangat langsung melingkupi tubuhku yang bergetar hebat, aku hanya berjalan mengikuti kemana pria ini akan melangkah. Ternyata ia membawaku menuju kamarku dan menghidupkan lampu juga diffuser beraroma lavender kesukaanku. Kami duduk berhadapan dengan aku yang masih tertunduk. Suasana sangat hening bahkan aku bisa mendengar deru mesin diffuser dan tetesan air. Kemudian aku merasakan tubuhku ditarik dan menabrak dada bidang miliknya, tangannya menjulur mengusap punggungku. Aku tidak menolak dan kini malah menangis dalam dekapannya. “Maafkan aku h-hiks ...” “ I-itu salahku jadi kau basah, ma-maaf.” Tidak dapat berkata-kata apa-apa lagi, bagaimana bisa s
Semerbak aroma sup dan daging bacon menguar memenuhi apartemen hingga menelusup masuk setiap ruang, termasuk kamar dan mulai menggelitik hidung. Merasa terusik akhirnya kedua mataku mengerjap beberapa kali berusaha memfokuskan pandangan melihat sekeliling kamar bernuansa hitam dan putih. ‘Tunggu, hitam dan putih?’ Segera terduduk dengan cepat, sekali lagi aku mengedarkan pandanganku dan baru menyadari semalam aku tertidur di kamar Sebastian. Dan tiba-tiba kepalaku terserang sakit kepala yang amat sangat, tanganku meraba dahi lebar ku dan menemukan kompres gel yang sudah menempel di sana⸺tak lupa dua buah selimut yang sudah membungkusku. Celingukan, aku seperti seorang perampok yang tengah menghindari si pemilik rumah. Aku berencana untuk diam-diam menyelinap ke dapur mengambil sarapan yang disiapkan Sebastian yan