Share

CHAPTER 6 : TINGGAL BERSAMA

Pemandangan apartemen berinterior hitam dan putih yang mendominasi hampir di setiap sudutnya. Kemudian sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota London. Selama setahun ke depan hingga akhir nafasku nanti akan menjadi hal yang sangat familiar. Aku masih saja berdecak kagum melihat pemandangan dari atas sofa yang diletakan tepat di hadapan jendela besar.

Bruuuakk 

Hingga suara berdebum yang sepertinya berasal dari beberapa barang membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber dari suara keras itu.

‘Sepertinya itu Sebastian.’ Suamiku itu saat ini memang sedang merapikankamar yang seharusnya akan kutempati. 

Tanganku merentang lebar dan bergerak ke kanan kiri,  mencoba melemaskan setiap otot-otot dan sarafku. Rambut mahoni yang telah menutupi pantatku pun telah tergulung rapi.

‘Baiklah, saatnya bekerja, Rael!’

Sebuah pintu kamar yang berada tepat di depan kamar Sebastian terbuka lebar. Karena rasa penasaran, akhirnya langkah kaki yang seharusnya mengarah lurus menuju dapur justru berbelok. Kepalaku menyembul dari balik pintu,  sedikit mengintip. Dan beberapa saat kemudian aku terkejut saat menemukan apa yang ada di balik pintu hitam ini. Sebuah kamar bernuansa musim gugur. Bisa dibilang kamar ini adalah satu-satunya kamar yang memiliki warna kehangatan dan kenyamanan.

“Holly shit … astaga, ya Tuhan,” kagumku.

Ranjang kayu dan dinding berwarna putih gading, kemudian dua buah rak buku kayu dan meja kerja masih berbahan kayu telah mengisi sudut kamar.  Di dalamnya telah diisi dengan beberapa barang, bahkan fotoku dan ayah sudah tertata rapi di meja.

“Kau ingin mengutuk atau memuji Tuhan? Pilih salah satu, Rael.”

Seorang pria bersurai pirang yang saat ini tengah mengenakan celana olahraga dan atasan kaos hitam polos panjang sedang berdiri membelakangiku. Pria itu tampak sibuk memasang perangkat komputer keluaran terbaru di meja.

Wah, padahal setahuku orang sekaya dia pasti lebih memilih mengeluarkan uang dan tinggal menerima hasil akhir saja dengan duduk santai. Tapi mengapa pria ini memilih melakukan hal repot seperti ini.

“Oh, Rael bagaimana kau menyukainya?” tanyanya sembari menata beberapa dekorasi labu dan beberapa bingkai foto tua. Aku tersenyum mengangguk cepat membuatnya tertawa senang.

“Syukurlah, aku menata segalanya sendiri meskipun beberapa aku meminta Felix untuk mencarikan barang-barang yang sesuai dengan kesu-“

Ucapan pria bodoh di hadapanku ini terhenti saat tiba-tiba saja tubuhku langsung melompat ke dalam pelukannya, sudah sangat lama untukku mendapat kejutan seperti ini. Terakhir adalah ketika umurku masih 20 tahun itu berarti sudah empat tahun waktu berlalu. Aku berteriak tertahan terlalu senang hingga baru menyadari tingkah kekanakan ku, saat aku hendak melepaskan pelukan pria ini justru membalas pelukanku.

“Sama-sama, aku senang kau menyukai hadiah kecil ini.” 

Cukup lama kami terdiam hingga suara langkah seseorang membuatku segera melepas pelukan kami secara paksa, Sebastian hanya terkekeh dan mengacak rambutku pelan.

“Tentu saja, aku menyukainya,” lirihku.

Sekali lagi aku memperhatikan setiap benda di kamar baruku yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kamar di rumah dahulu. Sebuah meja rias dan walk-in closet ku sendiri tak lupa barang-barang yang berasal dari apartemen lamaku.

Yah, setelah sempat ada insiden lain di mana kami hampir ketahuan tidak dalam hubungan suami-istri yang nyata, meskipun aku memerintahkannya menjadi suamiku dalam kontrak. Tapi aku memutuskan untuk tinggal di apartemenku sendiri⸺itu hanya alasan.

‘Sebenarnya aku hanya tidak nyaman menerima semua sikap manis memabukannya itu. Aku bisa mengidap diabetes!’

Setelah menjadi seorang istri dari direktur muda nan tampan, namaku melejit bahkan beberapa platform media sosial yang memuat artikel tentang kami. Dan sewaktu aku hendak keluar sendirian seseorang mengikuti bahkan hampir saja aku celaka.

‘Padahal aku bukan istri dari seorang artis, astaga!’

Jika saat itu Felix tidak segera tiba mungkin kami akan ketahuan jika tinggal secara terpisah, dan pada akhirnya aku pun memutuskan untuk tinggal bersama suami iblisku ini.

‘Bagaimanapun juga aku akan rugi jika tidak memanfaatkan apa yang sudah kubeli bukan?’

Apalagi jika kubeli seharga nyawaku sendiri. Karena itu aku akan merasakan kembali arti dari dicintai karena aku tak pernah merasakannya, kecuali apa yang telah diberikan ayah.

Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan kamar yang saat ini tengah diterangi satu penerangan saja. Berasal dari lampu dengan sinar berwarna kuning di atas nakas meja. Aku tersenyum kecil dan berjalan menuju pantry setelah menutup pintu kamar, lalu mengambil apron berwarna beige yang baru saja beberapa minggu yang lalu aku beli saat hari pertama permainan kami dimulai, tepatnya setelah ibu dan Emilie menemui Sebastian.

Hingga saat ini Sebastian masih mengulur waktu untuk mempertimbangkan keikutsertaan ‘Eden’ dalam proyek Oswald, dan rencananya kami akan datang ke acara peringatan kematian Ayah dimana seluruh keluarga besar Oswald akan hadir.

Saat ini aku sibuk  mengambil beberapa potong daging, keju, kentang, dan sayuran. Tak lupa sekotak jamur yang akan kusulap menjadi semangkuk sup jamur hangat karena suhu di London menjelang musim dingin seakan bisa membekukkan aliran darah. 

“Baiklah … sudah, ini … itu. Okay, persiapan sudah selesai,” ucapku setelah semua bahan tersedia.

Dalam hitungan detik selanjutnya tanganku mulai sibuk mengupas wortel dan kentang lalu mencucinya bersih. Begitu pula dengan daging dan bahan lainnya. Kegiatanku terhenti saat mendengar derit kursi ditarik sehingga aku memutar balikkan badanku dan menemukan Sebastian telah duduk manis sembari memperhatikanku.

“Kau ingin camilan dulu? Makan malam belum siap,” kataku. Tanpa menunggu respon si pria pirang sepiring muffin telah tersaji rapi di atas meja. Bagaimanapun aku adalah istrinya, maka aku mencoba memenuhi tugas dan kewajibanku.

"Apakah setiap istri seperti ini?" tanyanya tiba-tiba membuatku yang masih memotong sayur berhenti.

"Entahlah, ayah dan ibu tidak pernah seperti ini. Hanya saja aku ingin menjadi sosok istri yang seperti ini."

Aku tak ingin melihat bagaimana rautnya karena masih merasa malu akan sikapku yang memeluknya spontan. Telingaku dapat menangkap suara tegukan, Sebastian mulai meminum teh yang kuseduh dan dari sudut mataku aku dapat melihat iris obsidiannya berbinar kala memasukan muffin ke dalam mulutnya.

“Jadi, apa mereka masih mengikutimu?” tanya Sebastian dengan mulut penuh, aku yang memulai memasukan loyang berisi bubble and squeak sedikit mendengus jika mengingat kehidupan baruku yang tidak tenang.

“Aku sangat bingung, apakah kau adalah seorang idol atau apa? Bagaimana bisa seorang Direktur sekaligus Profesor bisa memiliki fans,” gerutuku, karena mengingat bagaimana diriku hampir berakhir menjadi tuli karena diserbu pertanyaan dari banyak pihak.

Sebastian tertawa terbahak bahkan ia harus menyeka air mata di sudut matanya, selanjutnya ia tampak berkutat pada layar ponsel lalu menunjukkan sesuatu padaku. Aku melihat postingan tiga orang pria salah satunya adalah dirinya yang berambut hitam dan dua di antaranya setahuku mereka adalah salah satu idol di negeri Ginseng.

“Mereka adalah Iblis sama sepertiku.”

Mataku berkedip beberapa kali, aku tertawa terbahak keras masih melanjutkan kegiatan memasukan bumbu ke dalam air di dalam panci. Sebastian berdecak menatap datar diriku yang masih berusaha menahan diri untuk tidak terlihat semakin jahat.

“Aku serius, mereka juga sama Iblis sepertiku dan kami berteman dekat,” lanjut Sebastian yang kembali menggigit muffinnya keras dan mengunyahnya gemas karena aku yang tidak percaya dengan ucapannya. Tanganku mengeluarkan sebuah roti dan memotongnya, meletakkannya di meja bersama jus apel yang sudah kubuat.

“Baiklah aku percaya,” timpalku dengan senyum miring berusaha menggoda pria yang kini tengah menekan sesuatu di layar ponselnya, hingga terdengar nada sambungan beberapa detik kemudian tergantikan sebuah suara seseorang dari ujung sana.

‘Sebastian, tumben sekali kau melakukan panggilan video padaku,’ seru suara di seberang sana, dan detik berikutnya tanganku menjatuhkan sendok sayur dan segera berlari menuju samping Sebastian yang sudah tersenyum penuh kemenangan.

‘Wow, sialan bagaimana kau bisa mendapat gadis manis sepertinya?’ umpat sosok tampan di ujung sana. Aku masih menutup mulut tak percaya salah satu idol kesukaan editorku, Michael adalah sahabat dari suamiku, lalu apa dia adalah Iblis, astaga!?

“Istriku, dia tidak percaya jika kita bersahabat, dan lagi … hei! karena kau mengunggah foto kita, hidupku jadi semakin seperti seorang selebriti padahal aku adalah seorang Direktur rumah sakit,”  seloroh Sebastian.

Kedua pipiku merona saat Sebastian menyebut kata ‘istri’, sehingga aku memilih kembali ke tempatku dengan berlari kecil dan menutupi wajahku dengan tangan. Senyum tipis terukir di sudut bibirku, aku cukup lupa bagaimana kehangatan yang kurasakan saat makan bersama seseorang atau bersenda gurau.

‘Ah … I really miss this moment.”

Tinggal bersama Sebastian dan mencoba menerima apa yang kuminta padanya sepertinya memang bukan hal yang buruk. Hidupku yang selama ini suram dan kelam menjadi sedikit lebih penuh warna.

Sambungan telah terputus tepat saat hidangan makan malam sudah siap. Aku terkekeh saat melihat raut Sebastian seperti anak kecil yang tengah menatap penuh binar pada seloyang pie, sepertinya ia menyukai makanan manis.

‘Yah, ini memang tidaklah buruk.’

Komen (1)
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
kebersamaan itu ada kesannya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status