Dari seluruh semesta,
Hanya Engkau saja yang kupilih.
Apakah Engkau akan membiarkanku
duduk bersedih?
Hatiku bagaikan pena,
dalam genggaman tanganmu.
Engkaulah sebab gembira,
atau sedihku.
Kecuali yang Engkau kehendaki,
apakah yang kumiliki?
Kecuali yang Engkau perlihatkan,
apakah yang kulihat?
Engkaulah yang menumbuhkanku,
ketika aku sebatang duri;
ketika aku sebatang mawar;
ketika aku seharum mawar;
ketika duri-duriku dicabut.
Jika Engkau tetapkan aku demikian,
maka demikianlah aku.
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini,
maka seperti inilah aku.
Di dalam wahana,
tempat Engkau mewarnai jiwaku.
siapakah aku?
apakah yang aku sukai?
apakah yang aku benci?
Engkaulah yang awal, dan kiranya,
Engkau akan menjadi yang akhir.
Jadikanlah akhirku lebih baik dari awalku.
Ketika Engkau tersembunyi,
aku seorang yang kufur.
Ketika Engkau tampak,
aku seorang yang beriman.
Tak ada sesuatupun yang kumiliki,
kecuali yang Engkau anugerahkan.
Apakah yang Engkau cari,
dari hati dan wadahku?
-Jalaludin Rumi, "Hanya Engkau"-
***
Kutulis kisah ini untuk keabadianku.
***
Kisah ini terinsipirasi dari kisah Anne Frank. Oh Anne, terima kasih Anne, untuk kisahmu yang luar biasa.
***
Senja bertangkai sunyi. Di bawah langit kota Amonmakh, sinar kemerahan cakrawala menyiram daratan, membuat tanah-tanah yang dari awal telah gersang, tampak makin gersang dan pecah-pecah. Angin berdesir dari gurun pasir Dasht-e Gul, menerbangkan debu-debu, menghalau pandangan mata dan membuatnya menjadi terasa perih. Pedas. Pohon-pohon Mesquite dan pinus yang tak berdaun berdiri berserakan di seluruh kota, tegar di hadapan iklim yang kering. Sementara perlahan-lahan, seiring dengan tergelincirnya matahari, harum aroma anggur menyeruak dari rumah-rumah balok lempung yang berbaris di perbukitan cokelat.
Tak jauh dari barisan bukit cokelat, di sini, di pinggir aliran sungai Semantik, seorang laki-laki dan perempuan melangkahkan kaki menuju Temple of The Prophet, sebuah bangunan tinggi berkubah dengan dua sayap yang menjorok maju dan tiga serambi tangga rumah. Barisan menara berjumlah genap memanjang di samping kanan dan kirinya, seperti mendirikan pagar. Sebuah minaret jam berdiri tak jauh dari Kuil, menyendiri di dekat bukit cadas, seakan memantau semua situasi, bagai mercusuar di pinggir pantai. Latar belakang dari Kuil itu adalah pegunungan Trias Mountain dengan puncak tertingginya yang berdiri ribuan meter dari atas permukaan laut. Segumpal salju tertiup angin pada puncaknya, kontras dengan kehidupan gurun nan berdebu dibawahnya.
Sang laki-laki berjalan beriringan dengan sang perempuan. Sang laki-laki memakai toga, sebuah kain panjang berwarna krem yang dililitkan ke tubuh dan dikenakan di atas tunik dengan warna yang sama. Sedangkan sang perempuan memakai toga panjang dan kerudung atau selendang longgar yang disampirkan di atas kepalanya, juga berwarna krem. Sekawanan burung tonggaret melintas di atas mereka ketika mereka tengah berjalan, seakan memberi isyarat menyambut.
Gerbang Temple of The Prophet mendecitkan suara nyaring ketika laki-laki itu mulai menarik gagangnya ke belakang, menandakan bahwa gerbang besi berulir dan berukir tanda agama Noktah itu sudah karatan dan selayaknya mendapatkan perhatian lebih. Namun selayaknya Kota Kuno, tidak ada yang tampak baru disini. Segala sesuatu sengaja dibiarkan tua dan tampak dituakan supaya terkesan lebih tinggi nilai historisnya, dan tentu saja, supaya lebih klasik sisi seninya.
Menerobos himpunan semak-semak alder, bunga-bunga liar milkweed yang tumbuh bersilangan dengan bunga-bunga margot dan akasia, serta menyibakkan sulur-sulur anggur yang melilit di batang-batang pohon poplar dan cypress yang menghalangi perjalanan mereka, sang laki-laki dan sang perempuan akhirnya sampai di sebuah telaga di belakang Kuil. Keduanya sama-sama membasuh muka dengan air telaga tersebut. Telaga air mata namanya.
"Sham shalaim Isaac la Ann!" sahut seorang Shalaim, pemuka agama Noktah, yang telah menunggu mereka di pinggir telaga. Sebut saja Shalaim Henokh. Ia duduk di atas batu hitam sembari mengelus-elus janggut putih panjangnya yang terus berkibar diembus angin. Sang laki-laki dan sang perempuan itu langsung berjalan menghampiri pria sepuh tersebut. Keduanya mencium tangan Shalaim Henokh yang kurus dan keriput, seperti mencium ranting pohon.
"Kaif kan zeizst, Isaac?" tanya Shalaim Henokh dalam bahasa Khorm, setelah basa-basi kehormatan usai. Artinya, "Apa kabar, Isaac, selama ini?"
"Zie, Shalaim, ay kaylost," jawab laki-laki yang dipanggil Isaac tersebut, juga dalam bahasa Khorm. Artinya, "Ya, Shalaim, aku baik-baik saja."
"La Zey?" Dan bagaimana denganmu? Isaac balik bertanya.
"Ya, aku pun baik-baik saja, anak muda," jawab Shalaim Henokh. "La Ann?" Dan Ann? Shalaim Henokh memandang perempuan yang disapa Ann itu. Matanya yang sudah sedikit rabun tidak menghalanginya untuk memberikan tatapan yang hangat. Justru Annastasia yang disapa, malah tersenyum canggung, malu-malu.
"Ya, Shalaim," jawab Ann dengan suara yang nyaris tak terdengar. Kemudian, seperti kebanyakan perempuan Noktah pada umumnya, Ann lebih banyak tertunduk dan berhati-hati sekali dalam menjaga kesopanannya, terutama di hadapan seorang pemuka agama. Terutama lagi, di area Kuil Suci ini.
Kuil Suci atau biasa disebut juga sebagai "Temple of The Prophet", adalah sebuah bangunan suci kiblat kaum Noktarian, mereka yang khusus memeluk agama Noktah. Di dunia Sajada, dunia kompleks di mana huru-hara terjadi hampir setiap hari; orang-orang terbunuh, orang-orang dibunuh, bom di sana sini, perampokan, pemerkosaan, mutilasi, perang hingga genosida yang berujung pembakaran massal, orang-orang mulai tak percaya bahwa Tuhan itu ada, dan juga banyak orang yang akhirnya terpaksa menjadi hamba Tuhan palsu, The Holy Lord King Nathaniel Rotsfeller dari Negeri Meyhem, maka menganut sebuah agama adalah nyaris seperti anomali. Dan Noktah adalah satu dari dua agama yang ada di Dunia Sajada. Lebih tepatnya, satu dari dua agama yang tersisa. Isaac dan Ann, sebagai penganut setia agama tersebut, memutuskan untuk berziarah, menyebrang jauh dari negerinya di North Bank sana, menuju Negeri Menokrakh yang kuno dan gersang.
"Aku senang kalian berdua datang kemari," puji Shalaim Henokh, meskipun ia tak tahu bahwa motivasi sebenarnya Isaac dan Ann kemari bukanlah untuk sekadar beribadah, melainkan untuk meminta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebelum mereka memutuskan untuk bercerai.
Seorang Shalaim pernah bercerita bahwa kalau kamu ingin memastikan apakah seseorang itu jodohmu atau bukan. Maka, datanglah ke Temple of The Prophet ini dan pejamkan matamu. Berdoalah dengan segala isi hatimu. Utarakan segala kegelisahanmu dan menangislah sebanyak air matamu dapat keluar. Lalu, lihatlah siapa yang kamu lihat saat kamu membuka mata. Jika kamu melihat malaikat. Maka itulah jodohmu. Itulah cinta sejatimu. Dan itulah mengapa Isaac dan Ann kemari, untuk memastikan kembali jodoh mereka. Karena, ya, karena mencintai seseorang adalah bagai melihat wajah malaikat.
"Kami pergi dulu ya, Shalaim," tukas Isaac setelah berbasa-basi mengobrol membicarakan tentang perang antara Raja Nathaniel dengan para kaum Noktarian yang tak kunjung usai. Shalaim Henokh mengangguk. Sambil terus mengurut janggut panjangnya, ia berdoa, menyampaikan seribu satu kata-kata harapan,
"Semoga perang segera berakhir. Semoga dunia akan segera membaik dan semoga kita dapat beribadah dengan tenang, tanpa rasa takut lagi. O Mestre, Sabmne ora lucionis. Oh Tuhan, Selamatkanlah kami dari jeratan iblis."
Akhirnya Isaac dan Ann pamit undur diri meninggalkan Shalaim Henokh. Mereka menuju serambi barat, tempat air mancur mengalir. Isaac berbelok ke kanan dan Ann berbelok ke kiri. Tanpa suara, tanpa keromantisan layaknya suami istri, mereka berpisah begitu saja dan duduk berdoa masing-masing di atas sebuah batu.
Ann berdoa, "Ya Tuhan, Yang Maha Cinta Dan Maha Pemberi Cinta. Jika pernikahan ini begitu berarti. Jika aku dan Abang memang telah Engkau takdirkan bersama, maka tunjukanlah jalannya. Tunjukanlah bukti bahwa Abang memang jodohku sesungguhnya. Tunjukanlah supaya aku dapat melihatnya."
Isaac pun ikut menguntai doa, "Ya Tuhan, Yang Maha Cinta Dan Maha Pemberi Cinta. Apa itu jodoh? Apa itu cinta sejati? Apakah benar bahwa Annastasia adalah jodoh yang Engkau kirim padaku? Kalau benar begitu, izinkan aku melihat tanda jodoh itu. Izinkan aku mengetahuinya. Izinkan aku walau hanya sekali dalam seumur hidupku."
Di langit, kepakan camar terbang melintasi senja, dan lantunan violin berayun terdengar dari dalam Temple of Prophet, menyanyikan kidung suci Tuhan, Sang Maha Cinta.
Ahvir kharim thsam khayarim*
Matahari terbenam,langit merah muda,
Dereravkh o rhanim
Harum pinus di udara,
Nisha bharua kharbaim
Menyeruak sampai samudera,
Inkh kho bha’a mhonim
Berayun bersama angin senja.
Isaac dan Ann sama-sama masih memejamkan mata, menghayati alunan violin itu seakan telah menyatu dengan hati dan jiwa keduanya.
Uv tar dhamat e ikhnaba evet
Adalah kita, orang-orang yang sembahyang
Suyhk a bakha lohma
Mencari perlindungan kepada Tuhan
Khair ser badhat u sevet
Kita menabur cinta dan kasih sayang
U e limha khoma
Di lembah kedamaian
Nun tak jauh dari gerbang Temple of Prophet, anak-anak berlarian mengejar layang-layang. Bersorak-sorak merayakan malam yang sebentar lagi akan tiba. Tubuh mereka menjadi siluet.
“Sham shalaim,” shel zhagaf
“Salam,” aku ucapkan pada takdir cintaku
Bishel ne kho shel bhiselor
Siapakah engkau oh gadis di jiwaku?
Alolekh kho shiraikh
Aku tidak mampu melihat wajahmu
Akhni khinor
Aku tidak mampu mendengar suaramu
Isaac selesai berdoa dan Ann selesai berdoa. Keduanya saling membuka mata.
Khazar nkhoel bkhurut khamaim
Jika engkau tahu kekuranganku,
Lasutkh belakhtiva
Masihkah kau mencintaiku?
Skhofar kore bera harabim
Jika takdir mempertautkan kita,
Bair a akhtiva?
Akankah engkau mengingkarinya?
Dan siapakah yang Ann dan Isaac lihat? Seorang malaikat atau seorang manusia penuh kekurangan? Seorang anak-anak yang berlarian mengejar layang-layang di pematang senja atau camar yang melintas di angkasa? Apakah perang, atau kisah cinta dua insan ini yang akan berakhir duluan?
Pada suatu hari di hidupmu, kamu akan mengetahuinya.
*Judul lagu, “Sham Shalaim,” dilagukan dalam bahasa Khorm,.
Dan jauh sebelum Annastasia dan Isaac memanjatkan doa di Temple of The Prophet, meminta petunjuk tentang jodoh, mengalirlah hari-hari ini, hari-hari yang biasa, yang telah lama diketahui dan dijalani dengan hampa.***Zerubabel, North Bank, 1942 ZR.Waktu itu pukul lima pagi, di musim gugur. Dari balik jendela kamarnya, Annastasia Kohler, perempuan cantik berusia 17 tahun, mengamati awal hari dengan sikap setengah bosan dan setengah melamun. Dedaunan orange maple yang berjatuhan menutupi hampir seluruh halaman rumahnya, juga suara dersik angin yang menyentuh ranting-ranting pepohonan, maupun suara bebek dan angsa yang berenang di kolam tak terawat di dekat pohon oak di seberang rumahnya, tidak mampu menjadi penghibur bagi mata maupun batinnya. Ia disitu saja, memandang jenuh kepada segala sesuatu yang melewatinya. Mungkin beginilah hidup takkala segala sesuatu yang buruk telah menimpa kehidupan seorang manusia.Sebulan yang lalu, orang tua Annast
"Gak apa-apa udah," ketik Isaac, datar tanpa tambahan emot apapun. Meskipun sebenarnya jantungnya berdegup kencang. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Annastasia, sudah pasti Isaac lah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh orang tuanya, oleh masyarakat, oleh lingkungan dan oleh segenap kaum Noktarian serta seluruh penduduk Negeri North Bank. Istri adalah seratus persen tanggungjawab suami. Begitulah prinsip dan hukum alamnya.Gak apa-apa terus, Annastasia ngedumel di dalam hati. Aku beneran takut, Abang. Dan apakah Isaac akan terus begitu? Tanya Ann dalam hati. Apakah suaminya benar-benar tidak peduli kalau ia celaka? Hari ini Gestapo. Besok apalagi? Bagaimana kalau ada monster? Makhluk-makhluk malam yang mengerikan? Ann memang tidak pernah menemui makhluk-makhluk semacam itu, tapi di Dunia Sejada, apapun bisa terjadi. Waktu kecil, Ann bahkan pernah mendengar bahwa nun jauh dibalik pegunungan di Negeri Azimuth, hiduplah kaum Jabbar, kaum raksasa
Pukul 20:00 Waktu Zerubabel, North Bank.Pesta meriah. Kembang api warna-warni meledak di langit malam. Di sebuah jembatan besar, para muda-mudi berkerumun. Sambil sesekali meneguk minuman kerasnya, mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan, larut dalam irama musik yang melantunkan lagu rock 'n roll bertema kebebasan.It's my life!!!It's now or never!!Ain't gonna live forever!!!I just wanna live while I am alive!!"It's my life!!" teriak Isaac di tengah-tengah kerumunan itu, seirama dengan lirik lagu dan teriakan muda-mudi lain di sekitarnya. Udara terasa panas meskipun angin mengalir deras. Itu bukan masalah. Seorang pria paruh baya bertubuh sintal berdiri di atas truk lalu menyemprotkan selang air ke kerumunan muda-mudi yang tengah berjingkrak-jingkrak itu. Ahhh!!! Mereka semua mandi hujan be
Dini hari pukul lima pagi, bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit yang perlahan berubah warna menuju ungu tua, terantuk di pucuk cemara, terjebak di bingkai jendela. Musim gugur seringkali menghadirkan malam yang lebih lama. Namun hari ini, dengan sangat ganjil, malam seakan ingin buru-buru pergi. Sementara awan mendung yang tidak kelihatan, perlahan mulai menurunkan gerimis, lalu terbawa oleh angin dan menyeruakkan harum aroma tanah basah. Dari dalam kamar hotelnya, Camilla menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Segaris angin yang menyelinap lewat celah-celah jendela menyisir rambut pirangnya dan menerpa wajahnya yang teduh jelita."Aku tak pernah merasa rindu pada seseorang dalam hidupku seperti padamu," ucap Camilla, setengah berbisik, entah kepada siapa. Barangkali kepada Isaac, tetapi lelaki itu tengah pulas tertidur, terlentang dan telanjang di atas kasur berseprai putih. Barangkali Camilla bercerita bukan untuk siapa-siapa.
Camilla membuka jendela hotel saat matahari mulai meninggi dan menyiram langit menjadi warna biru yang pudar. Udara pagi langsung menerpa wajahnya, terhirup oleh hidungnya lalu memberinya rasa segar yang nyaman. Ini adalah oksigen pertama yang keluar sebelum nantinya terkontaminasi oleh asap kendaraan dan asap dari cerobong pabrik. Meski begitu, suhu di pagi hari selalu terasa cukup dingin, membuat orang-orang harus tetap memakai mantel sekalipun hanya untuk membeli sabun di toko sebelah.Camilla memandang ke bawah dari unit kamar hotelnya di lantai lima, tampak genangan air di beberapa ruas jalan akibat rembesan dari gorong-gorong yang tidak ditangani dengan baik. Seorang pria berjas hitam berjalan di trotoar dengan terburu-buru. Ia tak mempedulikan sepatunya yang basah karena menginjak setiap area yang becek. Seorang perempuan berjalan santai. Sambil merapatkan mantelnya, ia melihat-lihat barisan toko sayuran yang baru dibuka di ujung jalan sana. Sebuah mobil sedan lewat de
"O Anne..." Eli mengusap punggung sahabatnya dengan prihatin. Waktu itu jam makan siang, di sebuah aula besar dengan langit-langit melengkung yang ditancapi tiang-tiang, di salah satu sudut meja yang dihiasi patung kepala rusa dan lukisan semi-realis di dinding, Eli mendengarkan keluh kesah Ann tentang kelakuan suaminya. Di luar, gerimis membawa dingin. Sebuah suara resah datang dari pohon-pohon neem yang ranting-rantingnya berkeriang-keriut tertiup angin. Sebuah pohon tabebuya gersang tanpa bunga teronggok di pinggir kebun belakang sekolah, yang bisa dilihat dari jendela di aula makan ini; perawakannya sangat jelek, bebonggol-bonggol dan dedaunannya layu. Ketika angin dingin bertiup sekali lagi, dedaunan tabebuya itu berterbangan menimpa dinding sekolah, bercampur dengan dedaunan kuning dari pohon maple."Mungkin kalian belum terbiasa saja hidup berdua," bujuk Eli, berusaha tidak menunjukkan sentimen apapun. Ia mengiris daging asap hingga terlepas dari tulangnya dengan teram
Langit biru tua dan separuh ungu muda membentang luas di atas samudera, memancarkan aura murung. Suara ombak berdebur, keras bagai ledakan besar. Petir menyambar-nyambar, menampilkan atraksi pedang cahaya yang menyeramkan. Annastasia berada di bawah nyala kilat-kilat itu, mencoba berenang melawan arus."Pergi, Ann! Pergi!" Suara itu memekik di hamparan air tak bertepi. Suara entah dari siapa, dengan maksud yang juga entah apa. Annastasia terus berenang berkejar-kejaran, seakan menghindari sesuatu di belakang yang ingin menangkapnya."Pergi, Ann! Pergi dari sini!"Ann terus berkecipak dengan air. Rasanya ia telah berenang bermil-mil jauhnya melintasi samudera bolak-balik. Ann terengah-engah sendiri."Ann, pergi! Sembunyilah, Ann! Sembunyi!"Kini Ann berusaha menggerakkan kakinya, tetapi nihil. Tiba-tiba kedua kakinya terasa begitu berat, bahkan nyaris ingin lepas dari persendiannya. Tangannya juga tiba-tiba menjadi begitu pegal, seakan ia tengah men
Makan malam dihidangkan dengan muram. Nasi sudah dingin, gulai sudah mengental dan es batu di dalam minuman sudah mencair, menyisakan titik-titik air di gelas kaca. Annastasia dan Isaac duduk bersebrangan. Tak ada perbincangan apapun yang keluar di antara keduanya. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu menggema, menjadi nyanyian paling kencang di ruangan yang luas dan sepi ini. Secara fisik, suami istri itu memang makan bersama. Namun, secara jiwa, mereka makan sendiri-sendiri.Ting! Terdengar suara notifikasi dari ponsel pintar Isaac. Saat lelaki itu melihat siapa yang mengiriminya pesan, senyumnya mengembang."Will you stay with me tomorrow night?" tanya Camilla dalam pesannya. "Maukah kamu menginap bersamaku besok malam?"Isaac mengirimkan emot senyum, yang artinya "Yes.""Good. Aku akan membuatkanmu masakan terlezat sedunia," balas Camilla lagi dengan dibumbuhi emot cium tiga berderet."Kamu paling b