Share

Malam Tanpa Abang

Pukul 20:00 Waktu Zerubabel, North Bank.

Pesta meriah. Kembang api warna-warni meledak di langit malam. Di sebuah jembatan besar, para muda-mudi berkerumun. Sambil sesekali meneguk minuman kerasnya, mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan, larut dalam irama musik yang melantunkan lagu rock 'n roll bertema kebebasan.

It's my life!!!

It's now or never!!

Ain't gonna live forever!!!

I just wanna live while I am alive!!

"It's my life!!" teriak Isaac di tengah-tengah kerumunan itu, seirama dengan lirik lagu dan teriakan muda-mudi lain di sekitarnya. Udara terasa panas meskipun angin mengalir deras. Itu bukan masalah. Seorang pria paruh baya bertubuh sintal berdiri di atas truk lalu menyemprotkan selang air ke kerumunan muda-mudi yang tengah berjingkrak-jingkrak itu. Ahhh!!! Mereka semua mandi hujan bercampur keringat. Basah. Kuyup. Dan lelah. Tapi menyenangkan.

It's my life!!!

My heart is like an open highway!!

Like Frankie said I did it my way!!

I just wanna live while I am alive!!

IT'S! MY! LIFE!!

Ting! Ting! Ting! Bunyi gelas berdenting. Di depan Isaac, seorang pria meneguk bir langsung dari dua botol. Isaac tertawa, lalu menyemangati pria yang terobsesi minuman keras itu. Isaac menoleh ke kiri, dilihatnya sepasang kekasih tengah bercumbu, ia buru-buru berbalik ke kanan, dilihatnya ciuman yang lebih intens ada di sebelah kanannya. Tenggelam oleh buaian mimpi. Oh Isaac seperti tenggelam ke dalam buaian mimpi. Isaac menoleh ke belakang, dilihatnya seorang wanita berpakaian minim berlari ke arahnya, "Isaac!!"

***

"Abang, Abang di mana?" Ketik Annastasia, dengan perasaan harap-harap cemas. "Kok abang belum pulang?" lanjutnya. Mendapat notifikasi pesan begitu, Isaac langsung buru-buru menyingkir dari gemuruh pesta. Ia berdiri di pinggir jembatan lalu membalas,

"Gue masih di kerjaan, Ann," balas Isaac. Saat ia mengetik ini, seorang perempuan cantik berambut blonde yang tadi berlari ke arahnya, kini menggelendoti lengannya dengan manja.

"Katanya nanti malam pulang," balas Ann. "Ini udah malam, bang."

"Hmmm,sayang," perempuan blonde itu mendesah manja. Isaac merangkul pundak perempuan itu dengan senang hati.

"Hmmm, Camilla," desah Isaac, tak kalah manja.

Sebotol brendi Exshaw No. 1 tahu-tahu sudah ada di dalam genggaman Camilla, langsung saja ia menyorongkan botol brendi itu ke dalam mulut Isaac. Dua buah aliran sungai mengalir di leher Isaac saat ia meneguknya.

"Abang," ketik Ann lagi ketika ia tak kunjung mendapat balasan.

"Bisa gak sih lu gak usah ganggu gue?" Isaac kesal dan membalas pesan dari istrinya tersebut dengan ketus. "Kan gue udah bilang, walaupun kita udah menikah, bukan berarti lu harus ikut campur semua urusan gue. Gue bilang dari sekarang, kita hidup masing-masing aja. Iya, semua kebutuhan hidup lo gue yang tanggung. Tapi please, jangan ganggu gue. Meh vi shalem? Lu paham?"

Jleb! Ada sesuatu yang nyelekit di hati Annastasia saat membaca balasan dari suaminya tersebut. Ia ditolak mentah-mentah, batinnya. Padahal ia hanya takut sendirian di rumah malam-malam. Ia takut Gestapo tiba-tiba mendatangi rumahnya sebagaimana mereka mendatangi sekolahnya dan mendata dirinya yang Noktarian ini. Dan Annastasia tak punya siapa-siapa yang bisa dimintai perlindungan selain suaminya sendiri.

"Iya paham, abang," balas Annastasia, akhirnya. Sebenarnya ia punya banyak argumen untuk dilontarkan kepada Isaac. Tentang kewajiban suami. Tentang hukum dan aturan dalam berumah tangga. Tentang perkara membangun bahtera kehidupan baru bersama. Tapi Ann tahu, kalau ia berargumen, ia hanya akan mengundang keributan dan perdebatan. Akhirnya, ia memilih mengalah dan menyimpan protesnya di dalam hati.

"Kalau pekerjaannya sudah selesai, cepat pulang ya, bang. Ann takut sendirian disini. Ann takut kalau nan-" pesan yang disampaikan Annastasia itu menggantung begitu saja. Tanpa sempat membacanya, Isaac sudah menutup ponselnya. Ia sudah keburu dicium oleh Camilla. Ciuman panas penuh gairah bercampur keringat dan harum aroma parfum yang telah lama dipakai seharian, juga bau alkohol.

Isaac kembali bergabung ke kerumunan pesta. Kali ini ia lebih liar. Seorang pria yang tadi menyirami muda-mudi dengan air, kini menyiram lagi, lagi dan lagi. Lampu jembatan berkelap-kelip. Di bawah, air sungai beriak-riak kecil. Kejernihannya memantulkan bayangan mereka yang tengah sempoyongan di pesta.

Sesuatu dibalik celana Isaac tiba-tiba menegak. Lelaki itu menarik tangan Camilla. Mereka memesan satu kamar di hotel terdekat. Dan di sana, dalam malam yang kian lisut, juga sayup-sayup gemuruh pesta dan teriakan musik, Isaac memuaskan hasratnya. Ahh...

Camilla menciumi Isaac. Matanya yang biru, bulat dan basah berpadu dengan eyeliner dan bulu mata palsu, membuatnya tampak cantik, apalagi saat terangsang begini. Isaac menyerah dalam gravitasi pesona wanita di hadapannya. Diciuminya balik Camilla, diremasnya dua bola kembarnya, dibelainya rambut pirangnya dan didekapnya hangat.

"Whatever happens, I'll always love you," bisik Isaac di telinga Camilla, begitu syahdu. Ada tangis yang tertahan disana. Tentang takdir yang tak berpihak kepada dua insan yang saling mencintai. Dan rembulan perak terjebak di jendela, menjadi saksi atas pergumulan malam itu.

"Jangan pernah panggil gua abang lagi, Ann," ketik Isaac dan sebuah rencana melayang di pikirannya, ia akan mengajukan gugatan cerai dalam satu tahun ke depan. Kepada Annastasia yang dinikahinya karena terpaksa, ia tak ingin hidup menderita selamanya.

***

"Abang," lirih Annastasia waktu melihat story media sosial suaminya yang dipenuhi foto-foto pesta; kembang api, confetti dan minuman keras.

"Abang berbohong," batin Ann. Lalu ia teringat ucapan Isaac, "Kita hidup masing-masing". Tiba-tiba dada Ann terasa sesak. Ia tahu ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sudah bukan keraguan bagi Ann bahwa Isaac tak akan menganggap kebohongannya adalah suatu perkara besar atau perkara yang harus dibesar-besarkan. Dengan demikian, Ann berusaha tegar, menahan tangis dan gundah gulananya jauh di lubuk hati.

Ann menonton TV, mencoba mengalihkan perhatiannya dari suami yang tidak perhatian. Dilihatnya di berita, bahwa perang mulai mereda. Gencatan senjata terjadi antara Raja Nathaniel dengan Raja Armani, Raja North Bank. Sebentar, Annastasia tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya menghilang mendapati fakta bahwa Raja Armani yang meminta gencatan senjata setelah kalah dimana-mana.

"Rotsfeller tidak akan sebaik hati itu," pikir Ann. Dan kemudian ia menjadi lebih khawatir daripada sebelumnya. Ann, seperti juga orang-orang pada umumnya, hanyalah rakyat biasa. Orang kecil yang tidak dipedulikan oleh dunia. Ann tahu, bahwa ada atau tidak adanya ia, dunia akan terus berjalan. Matahari terus berputar. Hari berganti. Bulan dan tahun bergulir. Tapi meskipun sosoknya diabaikan dunia, Ann tetap tidak sanggup untuk mati tertimbun reruntuhan perang. Bukankah itu sangat menyedihkan? Mati karena dosa orang lain.

"Abang, Abang dimana? Ann takut," ketik Ann di ponselnya. Ia hampir mengirimkan itu kepada Isaac, tapi kemudian ia menghapusnya, menyadari bahwa suaminya nanti akan merasa terganggu. Lebih-lebih, ia sedang pesta sekarang.

"Abang, kapankah dunia menjadi lebih baik? Kapankah kita bisa hidup tanpa mengkhawatirkan hari esok? Tanpa khawatir bahwa suatu saat nanti, entah di hari apa dan jam berapa, rudal Rotsfeller jatuh mengenai rumah kita, menimbun kita. Atau bom yang meledakkan seluruh kota Zerubabel, menjadikan kita abu. Atau senjata kimia yang digaung-gaungkan kelompok pengikut Rotsfeller itu, sebagai pencapaian intelegensi tinggi. Abang, kapankah abang pulang dan kita bisa bercerita bersama. Ann tahu bahwa kita dijodohkan, tapi bisakah kita hidup normal dengan saling membahagiakan pasangan masing-masing? Abang..." Ann tak pernah mengirim pesan itu. Begitu curhatnya selesai diketik, saat itu juga ia menghapusnya. Air matanya segera menjadi telaga. Kesepian yang dalam mencekatnya. Bagai kabut di pagi hari, menuruni pegunungan, segala sesuatu dipikiran Ann tampak kabur dan gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status