Dini hari pukul lima pagi, bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit yang perlahan berubah warna menuju ungu tua, terantuk di pucuk cemara, terjebak di bingkai jendela. Musim gugur seringkali menghadirkan malam yang lebih lama. Namun hari ini, dengan sangat ganjil, malam seakan ingin buru-buru pergi. Sementara awan mendung yang tidak kelihatan, perlahan mulai menurunkan gerimis, lalu terbawa oleh angin dan menyeruakkan harum aroma tanah basah. Dari dalam kamar hotelnya, Camilla menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Segaris angin yang menyelinap lewat celah-celah jendela menyisir rambut pirangnya dan menerpa wajahnya yang teduh jelita.
"Aku tak pernah merasa rindu pada seseorang dalam hidupku seperti padamu," ucap Camilla, setengah berbisik, entah kepada siapa. Barangkali kepada Isaac, tetapi lelaki itu tengah pulas tertidur, terlentang dan telanjang di atas kasur berseprai putih. Barangkali Camilla bercerita bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk didengar.
Camilla terus menatap rembulan lekat-lekat. Kini, bulan itu menari-nari di manik matanya, menjelma menjadi sebuah gambaran nostalgia yang membuat hatinya tergetar. Suatu momen kerinduan yang terasa pahit, tetapi tetap saja diharapkan hadir memeluknya.
***
Flashback.
Sore itu adalah sore yang tenang di suatu musim dingin di Grand Canal, Fenicte. Seperti berabad-abad yang lalu, sama seperti North Bank, Fenicte adalah Negeri yang lebih banyak mengalami musim dingin daripada negeri-negeri yang lain. Bahkan, seringkali, musim dingin di Fenicte lebih parah. Gemuruh salju berpusar terbang di udara, menutupi jalanan, pepohonan dan memasuki Kastil-kastil serta halaman rumah warga. Camilla ingat saat itu ia tengah menyebrangi alun-alun Kota menuju Kampus tempat dirinya bernaung. Ia adalah mahasiswa internasional jurusan ekonomi dan ia baru saja ditunjuk oleh Rektor Kampusnya sebagai salah satu kandidat mahasiswa berprestasi dari North Bank. Fenicte dan North Bank memiliki sejarah hubungan baik yang legendaris. Ini adalah masa-masa romantis hubungan kedua negara sebelum serangan Raja Nathaniel yang memporak-porandakan North Bank, dan kemudian, Fenicte.
"Nona, sapu tanganmu jatuh," seru Isaac, yang kemudian segera menghentikan langkah Camilla yang berjalan terburu-buru itu. Dahulu, penampilan Isaac tidaklah setampan seperti sekarang. Ia adalah sesosok laki-laki culun berkacamata dengan kancing kemeja yang dikancing sampai leher, dasi kupu-kupu dan celana hitam panjang. Formal. Sedangkan Camilla, dengan rambut pirang, mata biru dan senyum manisnya, serta prestasinya yang gemilang, membuat gadis itu lebih mudah dikenali di antara kaum pria, dosen, senior bahkan sesama perempuan sendiri. Singkatnya, ia adalah selebriti kampus. Dan mengembalikan sapu tangan yang terjatuh milik selebriti kampus? Oh itu adalah salah satu hal paling berani yang pernah dilakukan Isaac. Lelaki itu telah mengamati Camilla sejak lama dan terpesona oleh penampilan serta karakternya. Ia membayangkan kapankah ia bisa benar-benar berbicara dengan Camilla dan saat itu, akhirnya tiba.
"Oh, terima kasih," kata Camilla, memandang Isaac, tersenyum tipis sejenak, lalu pergi. Satu senyuman itu telah mampu membuat Isaac panas dingin sampai dua pekan. Ia yang culun dan belum berpengalaman dengan perempuan, mengalami syndrome ketika yang tersenyum padanya adalah gadis yang selama ini dikaguminya. Tapi tak ada interaksi apapun yang terjadi di antara mereka setelah itu. Karena Camilla yang super cantik, segera dikerubuti kaum pria, menanyakan ini dan itu, dan seketika, membuat Isaac menyusut.
Isaac dan Camilla kembali bertemu setelah musim dingin usai. Di sebuah taman dekat kampus, Camilla Parker biasa keluar dari asramanya untuk belajar dan mengeringkan rambut dalam naungan dan sebuah kedamaian pohon neem. Sementara Isaac datang berlari, tergopoh-gopoh karena terlambat mengikuti kelas. Semalam teman-temannya mengajaknya menonton film porno sampai pagi dan akhirnya ia tidur kebablasan.
"Tuan, sapu tanganmu jatuh," seru Camilla, yang kemudian langsung menghentikan langkah Isaac. Sekelebat lintasan masa lalu berkelebat di ingatan Isaac dan ia langsung yakin bahwa ini adalah takdir yang tak terelakkan.
"We?" tanya Camilla, dalam bahasa Aram. "Kenapa?" Camilla heran mendapati air muka Isaac yang tiba-tiba membeku. Isaac menggeleng, "Nay. Tidak."
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Camilla, merasa wajah Isaac serta penampilannya tak begitu asing di matanya.
"Ya, pernah. Waktu itu di musim dingin, sapu tanganmu terjatuh," Isaac menceritakan kronologi pertemuan mereka dengan mata yang berbinar-binar. Camilla tak pernah melihat sorot mata seantusias itu dari seorang laki-laki sehingga ia sedikit terpesona, meski masih sedikit risih karena Isaac benar-benar bukan tipe pria idealnya. Terlebih, karena penampilannya.
"Aku mahasiswa jurusan manajemen," jelas Isaac dengan gemetar. Tangannya ingin terulur untuk berjabatan tangan tapi ia ragu. Camilla benar-benar menjulang begitu indah dan anggun di mata Isaac sehingga ia sendiri takut tak mampu mengatasi pesonanya. Camilla menyadari kegugupan dalam tiap inci gerakan tubuh Isaac, ia pun tersenyum memaklumi. Sudah biasa baginya melihat laki-laki yang salah tingkah.
"Jadi ini semacam permintaan tolong yang berbalik?" Camilla bertanya, lebih kepada menyimpulkan.
Tidak, ini takdir, Isaac membatin. Ia yang tak pernah dekat dengan perempuan, pun tak pernah jatuh cinta, merasa yakin bahwa Camilla adalah takdirnya, dan Camilla tak pernah tahu betapa leganya Isaac karena dapat menemukannya, belahan jiwanya. Seorang pria culun bertemu dengan seorang gadis cantik tersohor, bagaimana mungkin bisa kalau bukan takdir? Benar kan? Pikir Isaac.
"Sebaiknya kau jangan terlalu yakin," Emerald Cohen, teman sekamar Isaac mengomentari ketika Isaac curhat mengenai Camilla. "Pertama, kau baru bertemu dengannya dua kali. Kedua, kau dan Camilla berbeda bagai bumi dan langit." Emerald mengisyaratkan dengan tangannya ke atas dan ke bawah untuk menunjukkan bahwa derajat Camilla ada di atas dan Isaac jauh dibawahnya.
"Niye betyder det?" tanya Isaac. "Apa maksudnya?" Isaac tak mengerti.
"Look at you," Emerald menunjuk sahabatnya yang tengah memakai kaos oblong putih dan boxer merah itu. Di kamar asrama, sebuah TV menyala, menayangkan opera sabun murahan yang sudah berkali-kali tayang; Karena Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.
"Kau mahasiswa biasa dan Camilla mahasiswi berprestasi. Kau kupu-kupu (Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang) dan Camilla jadi pemimpin organisasi di mana-mana. Temanmu sedikit, followersmu di medsos kurang dari seratus, sementara followers Camilla sudah mencapai ribuan, temannya ban-"
"Tapi takdir adalah takdir," potong Isaac, membantah.
"Kau tidak pernah benar-benar berbicara dengannya," Emerald mencoba membawa Isaac ke alam realistis, sebagaimana pikiran seorang pria seharusnya; logis. "Apa kau sudi pasanganmu lebih tinggi statusnya daripada dirimu? Harga diri pria-"
"Tapi aku sudah menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya berjalan di Kampus ini. Tidak ada perempuan yang paling aku kagumi selain dirinya. Dan asal kau tahu, Emerald, aku telah berdoa sejuta kali kepada Tuhan, meminta petunjuk bahwa jika Camilla memang jodohku, maka dekatkanlah. Dan sekarang Camilla mengenalku. Maka ini adalah cara Tuhan mendekatkanku dengan Ca-"
"Kau belum pernah benar-benar berkenalan dengannya-"
"Besok aku akan memperkenalkan namaku padanya," Isaac terus ngotot.
"Dengar, sebenarnya dia tidak sudi berkenalan denganmu."
"Tapi dia tersenyum padaku?"
"Itu cuma formalitas. Apa kau pikir yang akan dilakukan Camilla kepadamu? Menganiayamu di depan umum?"
"Dua kali kita bertemu dengan pola yang sama," Isaac masih bersikeras. "Itu adalah sebuah keajaiban."
"Bullshit!" Emerald emosi. "Astaga, Isaac, mengapa kau begitu polos? Berapa umurmu? Huh? Tujuh tahun?"
"Aku melihat malaikat di wajah-"
"DIA BUKAN NOKTARIAN!!!"
Satu bentakan sanggup membuat Isaac terdiam. Beda agama, persoalan itu langsung membuat Isaac mati kutu.
Emerald terengah-engah, kesal dengan perilaku sahabatnya yang naif ini.
"Bagaimana kau bisa melihat malaikat di wajahnya ketika apa yang kau percayai dan dia percayai berbeda? Bagaimana kau bisa berdoa kepada Tuhan untuk dinikahkan kepada seorang gadis yang bahkan tak mempercayai Tuhanmu? Huh??" Emerald bertolak pinggang. "Isaac, kau benar-benar lelaki yang belum tumbuh dewasa. Jangan bertindak gegabah."
Isaac masih bungkam. Diluar jendela, angin berdesir menggugurkan dedaunan, menerbangkan debu-debu. Sungai Seinna beriak-riak, sepi.
***
Camilla membuka jendela hotel saat matahari mulai meninggi dan menyiram langit menjadi warna biru yang pudar. Udara pagi langsung menerpa wajahnya, terhirup oleh hidungnya lalu memberinya rasa segar yang nyaman. Ini adalah oksigen pertama yang keluar sebelum nantinya terkontaminasi oleh asap kendaraan dan asap dari cerobong pabrik. Meski begitu, suhu di pagi hari selalu terasa cukup dingin, membuat orang-orang harus tetap memakai mantel sekalipun hanya untuk membeli sabun di toko sebelah.Camilla memandang ke bawah dari unit kamar hotelnya di lantai lima, tampak genangan air di beberapa ruas jalan akibat rembesan dari gorong-gorong yang tidak ditangani dengan baik. Seorang pria berjas hitam berjalan di trotoar dengan terburu-buru. Ia tak mempedulikan sepatunya yang basah karena menginjak setiap area yang becek. Seorang perempuan berjalan santai. Sambil merapatkan mantelnya, ia melihat-lihat barisan toko sayuran yang baru dibuka di ujung jalan sana. Sebuah mobil sedan lewat de
"O Anne..." Eli mengusap punggung sahabatnya dengan prihatin. Waktu itu jam makan siang, di sebuah aula besar dengan langit-langit melengkung yang ditancapi tiang-tiang, di salah satu sudut meja yang dihiasi patung kepala rusa dan lukisan semi-realis di dinding, Eli mendengarkan keluh kesah Ann tentang kelakuan suaminya. Di luar, gerimis membawa dingin. Sebuah suara resah datang dari pohon-pohon neem yang ranting-rantingnya berkeriang-keriut tertiup angin. Sebuah pohon tabebuya gersang tanpa bunga teronggok di pinggir kebun belakang sekolah, yang bisa dilihat dari jendela di aula makan ini; perawakannya sangat jelek, bebonggol-bonggol dan dedaunannya layu. Ketika angin dingin bertiup sekali lagi, dedaunan tabebuya itu berterbangan menimpa dinding sekolah, bercampur dengan dedaunan kuning dari pohon maple."Mungkin kalian belum terbiasa saja hidup berdua," bujuk Eli, berusaha tidak menunjukkan sentimen apapun. Ia mengiris daging asap hingga terlepas dari tulangnya dengan teram
Langit biru tua dan separuh ungu muda membentang luas di atas samudera, memancarkan aura murung. Suara ombak berdebur, keras bagai ledakan besar. Petir menyambar-nyambar, menampilkan atraksi pedang cahaya yang menyeramkan. Annastasia berada di bawah nyala kilat-kilat itu, mencoba berenang melawan arus."Pergi, Ann! Pergi!" Suara itu memekik di hamparan air tak bertepi. Suara entah dari siapa, dengan maksud yang juga entah apa. Annastasia terus berenang berkejar-kejaran, seakan menghindari sesuatu di belakang yang ingin menangkapnya."Pergi, Ann! Pergi dari sini!"Ann terus berkecipak dengan air. Rasanya ia telah berenang bermil-mil jauhnya melintasi samudera bolak-balik. Ann terengah-engah sendiri."Ann, pergi! Sembunyilah, Ann! Sembunyi!"Kini Ann berusaha menggerakkan kakinya, tetapi nihil. Tiba-tiba kedua kakinya terasa begitu berat, bahkan nyaris ingin lepas dari persendiannya. Tangannya juga tiba-tiba menjadi begitu pegal, seakan ia tengah men
Makan malam dihidangkan dengan muram. Nasi sudah dingin, gulai sudah mengental dan es batu di dalam minuman sudah mencair, menyisakan titik-titik air di gelas kaca. Annastasia dan Isaac duduk bersebrangan. Tak ada perbincangan apapun yang keluar di antara keduanya. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu menggema, menjadi nyanyian paling kencang di ruangan yang luas dan sepi ini. Secara fisik, suami istri itu memang makan bersama. Namun, secara jiwa, mereka makan sendiri-sendiri.Ting! Terdengar suara notifikasi dari ponsel pintar Isaac. Saat lelaki itu melihat siapa yang mengiriminya pesan, senyumnya mengembang."Will you stay with me tomorrow night?" tanya Camilla dalam pesannya. "Maukah kamu menginap bersamaku besok malam?"Isaac mengirimkan emot senyum, yang artinya "Yes.""Good. Aku akan membuatkanmu masakan terlezat sedunia," balas Camilla lagi dengan dibumbuhi emot cium tiga berderet."Kamu paling b
Kehidupan malam terasa begitu lambat dan bayang-bayang pagi tampak begitu jauh dari penglihatan. Di kamarnya, Annastasia berdiam diri di atas kursi. Ia tidak bisa tidur. Oleh karena itu, gadis itu pun memutuskan untuk membuka laci lalu membongkar buku-buku, berharap akan mendapatkan suatu bacaan sebagai pelahap waktunya."Hmmm?" Ann bergumam. "Apa ya?" Ann bermonolog dengan dirinya sendiri. "Wuthering Heights? To Kill A Mockingbird?" Ann menyebutkan judul-judul novel favoritnya, yang sebenarnya sudah ia baca berkali-kali tapi tak pernah membuatnya bosan. "The Lady With The Little Dog," lanjut Ann ketika melihat sampul buku seorang perempuan bergaun putih, berkosase, dengan topi lebar yang dipasang miring dan bunga mawar merah merekah di pinggirannya. Di samping sang perempuan itu, adalah anjing kecil dengan bulu-bulunya yang kasar. Sebuah kalung melingkar di leher sang anjing. Pengait kalung itu bersambung dengan tali panjang yang menjulur sampai ke genggaman sang perempuan.
Petir meledak di langit, menyambar pepohonan. Gemuruh guntur bergolak, menyelimuti suasana diantara mereka. Hujan terus turun menghujani atap rumah, sebagian besar dari hujan yang jatuh itu adalah es."Ann, ish!" Dengan kedua tangannya, Isaac mendorong Ann jauh-jauh, seakan istrinya itu adalah sesuatu yang berpenyakit dan pembawa virus sehingga mesti dijauhi. Ann terdorong, lalu akhirnya bangkit dan berdiri."Ann takut, Abang..." suara Ann, parau. Ia berdiri di sisi ranjang, memandang Isaac dengan nanar."Terus?" tanya Isaac, agak nyolot. Ia mengangkat kepalanya sedikit ke atas. Oh jangan harap adegan ini akan sama seperti di film-film, yang mana sang lelaki akan merentangkan tangannya memeluk sang perempuan. Lalu mereka berdua tertidur bersama dalam kehangatan, di tengah hujan badai yang menderu. Oh tidak. Ini bukan film. Ini kenyataan. Dan kenyatannya, Isaac tak tertarik untuk melakukan adegan romantis tersebut, bahkan ketika ia bebas melakuk
Ketika cakrawala mulai meninggi di batas horison, Annastasia terbangun. Ia terkejut melihat tubuhnya sudah berbaring di atas kasur serta diselimuti selembar selimut hangat. Ann tidak pernah pura-pura amnesia. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana keadaannya terakhir kali sebelum terpejam. Seharusnya ia terbangun di bawah jendela. Jadi, siapa yang telah memindahkannya?"Abang..." gumam Annastasia pelan, sembari membayangkan suaminya membopong dirinya ke atas kasur. Tidak mungkin kan orang lain yang melakukannya? Karena tentu saja, di rumah ini hanya tinggal mereka berdua.Ann mengedari pandangannya ke sekitar, menyadari bahwa ia masih berada di kamar Isaac. Tetapi di mana suaminya? Ia tidak menemukannya. Ann mengucek-ngucek matanya, berusaha memastikan bahwa ia sudah seratus persen berada di alam nyata, bukan mimpi."Abang..." Ann turun dari kasur, lalu mencari-cari suaminya."Abang..." Ann memanggil-manggil satu nama yang sama dalam beberapa men
Ann mematut dirinya di depan cermin. Ia memperhatikan topi baret yang dikenakannya, sebuah topi yang menempel indah di atas surai panjang kecokelatannya. Ia membetulkan syal flanel yang melilit lehernya dan merapikan mantel hangat berwarna abu-abu yang membungkus tubuhnya. Tak lupa ia menyiramkan parfum bunga mawar ke pergelangan tangan, pundak dan lehernya, supaya harum tubuhnya tercium dengan maksimal. Annastasia tampak cantik dan anggun, seperti biasanya. Ia tersenyum, dan bayangannya yang memantul di cermin juga ikut tersenyum.Sudah sejak pagi Ann dicekam kebosanan. Rasanya seperti mau mati. Jadi akhirnya ia memutuskan untuk bergegas pergi ke luar, ke rumah sahabatnya, Eli.Sekali lagi, Ann merapikan lilitan syalnya. Kemudian, sambil berderap ke pintu, ia meraih tas serta ponselnya sekaligus. Ann mengetik, memberitahu Isaac bahwa dirinya pergi main sebentar. Isaac tak membalas, jadi Ann anggap itu sebagai bentuk persetujuan. Lagi pula dia juga berbohong, demikian