Share

BIANGLALA KEHIDUPAN
BIANGLALA KEHIDUPAN
Author: Aling Tan

AWAL MULA

Jakarta 2018

   Dania menghela napas perlahan. Ia menatap tiket pesawat di tangannya. Lalu, ia menatap Ibunya yang tersenyum di atas kursi roda sambil menatapnya penuh kebanggaan. 

"Selama Dania pergi, Ibu jangan lupa minum obat ya. Ibu jangan lupa makan dan istirahat yang cukup, ya." 

"Iya, Ibu pasti akan menjaga kesehatan Ibu," jawab Kartika.

   "Kamu belajar yang tenang ya, nak. Di sini kan ada Mama dan juga kak Yunita yang akan menjaga Ibumu. Kau belajar yang rajin saja, supaya kau segera lulus dan juga bisa menjadi dokter spesialis." 

"Terimakasih, ma," jawab Dania. Ia menatap Ibu angkatnya itu dengan penuh rasa terimakasih yang tulus. Jika tidak ada Ibu Aryani kehidupan Dania saat ini mungkin tidak akan seperti sekarang ini.

   Tahun ini Dania berusia 24 tahun. Dan ia baru saja menyelesaikan S1 nya di sebuah Universitas ternama di kota Bandung. Dan, sebentar lagi ia akan terbang ke Singapura untuk melanjutkan pendidikan S2 nya. Dania merasa seperti mimpi bisa menjadi seorang dokter. Dia menatap kembali sangat Ibu menatap dengan kedua netra yang sudah berkaca- kaca. 

"Ibu jangan nangis. Aku bisa sedih dan kepikiran di sana nanti," ujarnya sambil memeluk dan mencium wajah Kartika. 

"Ibu hanya terharu melihatmu bisa seperti sekarang, nak. Maafkan segala kesalahan Ibu, ya. Ibu sudah terlalu banyak membuatmu menangis dan kesulitan."

   Dania menggelengkan kepalanya. "Ibu nggak salah apa- apa. Aku seharusnya berterimakasih karena Ibu bersedia merawat dan melahirkan aku. Jika waktu itu Ibu memutuskan untuk melenyapkan diriku, tentu aku tidak akan berdiri di sini sekarang."

***

_ Bandung 1990_

   "Pergi sekarang juga dari sini!" pekik Sulastri pada Ceppy suaminya. Mendengar teriakan sang istri Ceppy langsung naik darah. Ia mendorong Sulastri sehingga istrinya itu terbentur ke tembok. Dahi Sulastri pun langsung mengeluarkan darah. Sulastri yang melihat ada darah di dahinya bukannya merasa takut, dengan cepat ia menyambar pisau yang tergeletak di atas meja dan mengacungkannya pada sang suami. 

"Kau mau bermain-main denganku?!Kemari kau sekarang juga!"

   Tiba-tiba dari dalam Kartika putri mereka datang dan melerai. 

"Pak, bu! Udah, malu sama tetangga. Bapak sama Ibu nggak malu gitu hampir setiap hari berantem terus!" 

"Ibu kamu itu liat, kurang ajar sama Bapak," jawab Ceppy dengan napas tersenggal.

"Siapapun juga pasti akan marah kalau lihat suami setiap hari kerjanya ongkang kaki. Pergi ke warung kopi, minum- minum, judi!" teriak Sulastri.

    Dengan cepat Kartika merampas pisau dari tangan Ibunya. Dengan berani ia menempelkan pisau itu ke lehernya. 

"Kalau Ibu sama Bapak nggak bisa berhenti ribut,lebih baik aku mati!" jerit Kartika. 

"Eeeeh, kamu anak kecil, ikut-ikutan gila kaya bapak kamu? Sana, pergi sekalian kamu sama Bapakmu itu.Nggak butuh suami sama anak modelnya kaya kalian, pergi!!"

   Bukannya panik, Sulastri malah semakin emosi. Dia pun langsung melangkah menuju ke kamarnya dan membanting pintunya dengan keras. Kartika meletakkan pisah di tangannya. Ia pun terduduk lemas seketika. Air matanya mulai menetes di pipinya. Ceppy mengembuskan napasnya perlahan. Ia menghampiri Kartika dan mengelus rambut putri sulungnya itu perlahan. 

"Maafkan bapak, neng. Gara - gara Bapak di PHK, Ibu jadi marah- marah terus." 

"Bapak usahalah, pak. Cari kerjaan, apa aja. Mau jadi tukang becak, ngojek, narik angkot atau apa sajalah yang penting halal. Malu, pak setiap hari bapak sama ibu ribut terus." 

"Insya Allah, nak."

   Kartika bangkit dan segera masuk ke kamarnya meninggalkan Ceppy sendiri. Ceppy tadinya bekerja di sebuah pabrik. Tapi, sudah setahun ini ia di PHK dan belum mendapatkan pekerjaan kembali. Untuk sehari- hari akhirnya Sulastri bekerja sebagai pembantu untuk mencukupi kehidupan mereka sehari- hari.

   Ceppy menghela napas panjang ia sebenarnya tidak mau seperti ini. Ia juga tidak mau membebani istrinya. Tapi, apa daya dia hanyalah lulusan sekolah dasar. Mana ada perusahaan atau pabrik yang mau menerima. Jika dia dapat bekerja di pabriknya yang dulu itu karena bantuan seorang sahabatnya. Ya, dengan cara menyogok orang dalam sehingga ia bisa di terima bekerja. Dengan usianya kini yang sudah memasuki 45 tahun mana ada pabrik yang mau menerima.  Ceppy pun bangkit berdiri dan melangkah keluar dan berjalan dengan gontai. Saat ini ia hanya ingin menenangkan dirinya. Mungkin dengan menikmati angin malam, ia akan lebih baik. 

    Sampai menjelang Isya, Ceppy tidak juga kembali ke rumah. Kartika yang sedang menggoreng nasi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak heran lagi jika bapaknya tidak pulang sampai malam. Apalagi baru jam 7 malam. Tapi, entah mengapa perasaan Kartika malam itu tidak enak. 

"Teteh kenapa?" tanya Agung sang adik. Kartika menggelengkan kepalanya. 

"Perasaan teteh nggak enak. Coba kamu panggil Ibu,suruh makan sekalian. Teteh udah masakin nasi goreng," ujar Kartika. Agung mengangguk, tapi baru saja ia hendaknmengetuk pintu kamar Ibunya, pintu rumah mereka di ketik dengan keras. Agung dan Kartika pun saling berpandangan. Tampak Sulastri membuka pintu kamar nya akibat mendengar gedoran di pintu yang sangat keras.

   "Kalian nggak dengar pintu di gedor segitu kerasnya?!" hardik Sulastri pada kedua anaknya. Kartika dan Agung tak menjawab, mereka mengikuti langkah ibunya. Dengan kesal Sulastri membuka pintu. Hampir saja ia memaki orang yang menggedor pintu rumahnya. Tapi, makannya hanya menggantung saat melihat Pak RT dan dua orang berseragam Polisi yang datang. 

"Aduh, punten Pak RT. Ada apa ini?" tanya Sulastri cemas. Pak RT yang bernama Uju Supriyadi itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak sedikit kebingungan. Sementara Kartika dan Agung sudah saling pandang penuh kecemasan.

   "Apa benar ini rumah bapak Ceppy Nugraha?" tanya salah satu anggota kepolisian yang bernama Gunawan. Sulastri mengangguk, "Betul, ada apa ya pak?" tanya Sulastri. 

"Begini bu, suami Ibu saat ini sedang kritis di rumah sakit karena terlibat perkelahian dengan preman. Apa Ibu bisa ikut kami?"

   Dada Sulastri terasa begitu sesak. Ia memang kesal pada suaminya. Tapi, tidak pernah terlintas dalam benaknya jika sang suami akan mendapatkan musibah seperti ini. Hampir saja ia terjatuh, jika Kartika dan Agung tidak bergegas menangkap tubuh Ibu mereka. 

"Ibu tidak apa-apa?" tanya pak Uju dengan cemas. Sulastri menggelengkan kepalanya. "Udah, saya nggak apa-apa. Teu nanaon. Sebentar saya ganti baju dulu ya."

    Sulastri bergegas menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya. Dan, 15 menit kemudian dia keluar dengan membawa tasnya. "Kalian jaga rumah. Ibu pergi dulu," ujarnya pada kedua anaknya dan langsung pergi bersama Pak Uju dan kedua Polisi yang sedang bertugas itu. 

    Sementara Kartika hanya bisa tertegun dan meneteskan air mata. Entah mengapa ia merasa bahwa setelah ini akan ada sesuatu yang jauh lebih buruk menimpanya. Kartika hanya bisa berdoa, semoga semua akan baik-baik saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status