Kartika dan Agung tidak menyangka jika pagi itu Sulastri akan pulang dengan membawa jasad ayah mereka pulang. Kartika tidak kuasa menahan derai air mata. Ia menangis tersedu sambil memeluk Agung adiknya. Beberapa tetangga mereka langsung membantu memandikan jenazah ayah mereka. Ceppy rupanya terlibat dalam perkelahian dengan para preman ketika ia mabuk. Perkelahian yang tidak seimbang dan satu buah tikaman yang tepat mengenai organ vitalnya membuat Ceppy meregang nyawa setelah beberapa jam ia melawan maut di dalam ruang operasi.
"Kamu yang sabar ya, neng. Harus bisa hibur Ibumu," ujar Aminah majikan Sulastri. Kartika hanya mengangguk pedih."Terima kasih banyak ya, Bu," jawab kartika pilu.
"Ini disimpan ya, nggak usah bilang sama Ibumu. Ini buat pegangan ya, kasian adikmu sekolahnya. Kamu juga neng, udah kelas 2 sayang sebentar lagi naik ke kelas 3. Kalau ada apa-apa, bilang sama Ibu ya," kata Aminah lagi sambil memberikan amplop berisi uang pada Kartika. Aminah memang baik. Ia adalah juragan beras yang memiliki kios beras di pasar Caringin Bandung.
Setelah disolatkan di mesjid terdekat, jenazah Ceppy langsung di makamkan di TPU Cikutra. Kartika hanya menangis pilu saat melihat jenazah Ceppy di masukkan ke dalam liang lahat. Sulastri hanya diam membisu. Ia memang marah dan kesal pada suaminya yang hampir setahun terakhir ini tidak memberi nafkah padanya. Tapi, Sulastri tidak menyangka jika Ceppy akan pergi secepat ini. Tak ada isak tangis, tak ada teriakan. Sulastri hanya diam membisu. Bahkan setelah pemakaman selesai pun Sulastri hanya diam. Ia membiarkan tetangga- tetangganya yang mempersiapkan acara tahlil untuk suaminya. Dia hanya mengurung diri dikamar. Aminah yang melihat hal itu melarang Kartika untuk mengganggu Ibunya.
Aminah tau bagaimana kondisi keluarga Sulastri dan Ceppy. Aminah seorang janda yang ditinggal suaminya meninggal dunia. Anak Aminah hanya satu. Dan, dialah yang menjaga dan mengurus kios beras mereka. Aminah pernah meminta Kartika dan Agung untuk menjadi anak angkatnya. Tapi, Sulastri tidak mau memberikannya. Aminah pun tidak bisa memaksa. Tapi, terkadang ia memberikan uang saku pada Kartika dan Agung jika kebetulan mereka berpapasan di jalan. Sempat terbersit dalam benak Aminah untuk menjadikan Kartika menantunya. Tapi, ternyata putra tunggalnya sudah memiliki pilihan sendiri.
***
Siang itu, Sulastri baru saja pulang bekerja dari rumah Aminah saat beberapa orang preman mengacak- acak rumahnya. Sementara Kartika dan Agung tampak ketakutan dan saling berpelukan di halaman rumah mereka.
"Heeh, ada apa ini mengamuk di rumah orang! Kalian siapa?!" hardik Sulastri. "Kami di suruh bos nagih utang sama Cecep! Kamu istrinya Ceppy alias Cecep kan?!" "Yang punya utang udah mati! Tuh, kuburannya baru seminggu. Kalian pergi jangan datang lagi kesini. Saya nggak ada urusan!" "Enak aja, nih liat surat rumah kalian ada di tangan kami. Ini ada surat perjanjiannya juga, kamu mau kami bawa dan kami seret ke kantor polisi?!" bentak seorang preman yang bertubuh paling besar.Sulastri menelan salivanya. Ia terkejut melihat sertifikat asli rumah yang sudah berpindah tangan itu. Tubuhnya lemas seketika.
"Be-berapa hutangnya?" tanya Sulastri. "Hutangnya 30 juta. Sama bunganya jadi 45 juta.""Banyak sekali itu bunganya?!""Heh, suami kamu itu udah nunggak 6 bulan lebih. Jadi, wajar bos kasi bunga tinggi sesuai perjanjian!"Sulastri terdiam, dalam hati ia merasa kesan bukan main. Sulastri tidak menyangka bahwa suaminya akan meminjam uang dalam jumlah banyak pada rentenir. Sulastri mencoba mengingat- ingat kapan terakhir Ceppy memiliki uang banyak. Dan, tatapan matanya berubah tajam pada sang anak.
"Ini gara- gara bayar uang sekolah kamu sama beli motor, ya kan?!" hardik Sulastri pada Kartika. Kartika terdiam, ia ingat almarhum memang sedikit terlambat membayar tunggakan uang pangkal masuk SMU nya dan juga SPP-nya selama beberapa bulan. "I- iya, bu. Tapi, waktu itu kan, bapak beli motor itu buat ngojek, trus kalau nggak salah sisa uangnya dikasi ke ibu kan?" "Sial! Memang kamu sama bapak kamu itu sama aja! Ngapain sekolah tinggi, ujungnya juga paling jadi SPG!" "Heh, nggak usah ribut! Kalian jadinya kapan mau bayar?!" "Sa- saya minta waktu bang, saya pasti lunasi semuanya," jawab Sulastri. "3 hari lagi kita balik lagi ke sini!"Dan, kelima preman itu pun akhirnya pergi dari rumah Sulastri. Sulastri langsung menatap Kartika dengan tajam. "Semua ini gara-gara kau yang ingin sekolah, ngotot! Udah tau bapakmu di PHK , liat akibatnya sekarang! Bapakmu jadi berhutang, kau pikir 45 juta itu sedikit, hah?!Kalau rumah ini disita, kita mau tinggal di mana?!"
"Aku sekolah biar pintar, bu. Biar bisa angkat derajat Ibu sama Bapak," jawab Kartika lirih. "Hah, angkat derajat apa? Nyusahin yang ada! Di pikir biaya sekolah murah?! Jatuh dari langit! Perempuan paling nikah juga jadi babu di rumah, dapur sama kasur. Nih, kalau adik kamu yang sekolah tinggi nggak masalah!" bentak Sulastri.Kartika hanya bisa menangis sedih. Ibunya memang selalu seperti itu. Kartika merasa Ibunya pilih kasih. Selalu saja Agung yang lebih di bela. Dan juga di perhatikan. Sementara dia sendiri tidak.
"Kenapa sih, bu selalu saja Agung yang Ibu bela. Apa aku nggak boleh sekolah tinggi? Aku juga mau jadi sarjana kaya teh Intan." "Heeeh, jangan mimpi, Intan itu emak bapaknya punya kios di pasar. Mobilnya aja ada berapa? Mau kuliah tinggi juga ada biaya. Kamu?! Bapak kamu itu udah mati! Kalau nanti kamu nikah, kamu bakalan ikut suami. Mending kalau suami kamu kaya raya bisa ngasih sama Ibu. Kalau modelnya kaya bapak kamu?! Boro- boro ngasih sama Ibu yang ada mungkin malah nyusahin. Numpang tinggal di rumah ini! Sekarang kamu nggak usah sekolah lagi! Ibu nggak punya biaya. Mending si Agung aja yang sekolah tinggi. Agung nantinya jadi kepala keluarga, dia yang bakalan angkat derajat Ibu. Dia itu anak laki-laki," Sulastri mulai merepet.Kartika hanya bisa menangis tersedu, ia pun memilih untuk masuk ke kamarnya. Sudah terlalu sering Sulastri menyakiti hatinya. Biasanya Ceppy selalu membelanya jika Sulastri memaki. Tapi, kini sang ayah sudah tiada. Tak ada lagi tempatnya untuk mengadu dan berkeluh kesah. Ceppy memang pengangguran, suka mabuk- mabukan. Tapi, dia adalah seorang ayah yang cukup baik bagi Kartika meskipun jauh dari kata sempurna.
"Kenapa Bapak cepat sekali pergi, lihat kan, pak. Ibu selalu begitu, di mata Ibu tidak ada yang benar dari Kartika. Apa yang Kartika lakukan selalu saja salah," gumam Kartika di sela isak tangisnya.Sementara itu, Sulastri masih terdengar mengomel di luar. Dan terdengar juga beberapa barang di banting. Selalu seperti itu jika Sulastri marah. Ia akan membanting apa saja sebagai sasaran emosinya.
Seharian itu, Sulastri pergi entah kemana. Sejak subuh ia sudah keluar rumah, karena khawatir Kartika pun akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah dulu. Ia membuatkan adiknya sarapan. Lalu membersihkan rumah dan mencuci serta menggosok pakaian. Tak lupa ia juga membereskan rumah yang berantakan karena ulah para preman penagih hutang kemarin. Sampai menjelang isya, Sulastri akhirnya pulang. Wajahnya tampak begitu lelah. Dan, saat ia menatap Kartika ia hanya mendelik dan langsung masuk ke kamarnya."Gung, kau ajak Ibu makan, kalau teteh yang ajak makan nanti Ibu marah," kata Kartika pada Agung adiknya. Namun, belum sempat Agung mengetuk pintu kamar, Sulastri sudah keluar dari kamarnya."Ganti pakaian dan bereskan baju-bajumu, lalu ikut Ibu!" perintah Sulastri pada Kartika."Kita mau kemana, bu?" tanya Kartika takut- takut."Nggak usah banyak tanya, cepat!" bentak Sulastri.
Teti membawa Kartika ke sebuah hotel berbintang bersama dengan dua orang bodyguard Mami Sania. Donny dan Wahyu bertubuh tinggi besar dengan wajah yang garang. Wajah Wahyu memiliki bekas sayatan dari pelipis hingga ke pipi sebelah kanan, sehingga keliatan tambah seram. Kartika hanya mampu terisak sedih, hatinya benar-benar sakit. Hanya demi hutang, Ibu kandungnya dengan tega menjualnya."Nggak usah nangis, kamu mau disiksa sama Mami Sania?!" hardik Wahyu sambil menyetir mobil. Teti langsung menyambar tissue dan merapikan make up Kartika yang tampak belepotan karena air mata."Mending diem deh, eike nggak tanggung jawab ya, kalau sampai tamu nggak puas trus ngadu sama Mami," kata Teti."Tolong lepasin saya, saya nggak tau kalau Ibu saya udah jual saya. Saya masih mau sekolah.""Kamu pikir, Mami Sania mau lepasin kamu begitu aja? Kalau kamu mau bebas, kembaliin dulu uang yang sudah diberikan Mami Sania sebesar 50 juta plus dana untuk baju dan s
Sesampai di rumah Mami Sania, Kartika di bawa ke sebuah kamar yang berada di lantai atas. Ternyata, di dalam kamar itu ada dua orang gadis lain yang sebaya dengannya. Mereka menatap Kartika penuh rasa ingin tau."Kau tidur bersama mereka, ingat jangan coba berbuat hal yang aneh-aneh," kata Teti sebelum meninggalkan kamar itu. Kartika melangkah perlahan, ia melihat tas yang ia bawa ketika datang ada di sudut ruangan. Kedua gadis itu bangkit dan menghampiri Kartika. Lalu mereka mengajak Kartika untuk duduk."Sakit ya?" tanya salah seorang gadis itu. Kartika mengangguk, ia memang merasakan sakit. Tidak hanya karena malam pertama yang terpaksa ia lakukan. Tapi, karena sakit yang ia rasakan di hatinya juga."Namaku Wendah dan ini Ayu. Namamu siapa?""Kartika, Teh.""Jangan panggil teteh, kita seumuran kayanya. Panggil saja aku Wendah, kenapa kau bisa sampai ke sini?"
Hampir 3 bulan Kartika berada di rumah Sania. Entah sudah berapa banyak pria yang Kartika layani di kamar hotel. Hampir setiap malam dia dipaksa untuk melayani tamu- tamu. Tamu- tamu yang ia layani adalah tamu- tamu pilihan. Bukan orang sembaranga. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu , nasib mereka setali tiga uang dengan Kartika. Ketiganya saat ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang mereka jalani saat ini. Kartika sudah tidak pernah menangis lagi sekarang. Ia hanya bisa pasrah dan menahan sakit hatinya. Dari uang tips yang ia kumpulkan, Kartika mulai belajar memakai make up dari Teti. Sania tidak pernah meminta uang tips yang diberikan oleh para tamu. Bagi Sania, ketiga gadis itu masih sangat menguntungkan. Hingga tiba di bulan ke 4 saat tamu mulai bosan dengan ketiga gadis itu. Sania pun memutuskan untuk memindahkan ketiga gadis itu ke Mess nya untuk bergabung bersama para gadis yang lain. Seumur h
Kartika tersentak saat mendengar bentakan dari seseorang. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu.Mereka langsung melepaskan pelukan dan menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamar mereka."Kalian ini nggak tau diri ya! Baru datang udah bikin keributan. Kalau siang begini, jam nya istirahat! Emang dulu di rumah Mami Sania kalian kerja kantoran! Sama aja, kerja kaya kami, jangan sok ya karena kemarin-kemarin kalian dapat tamu pejabat dan bos berduit kalian mau sombong!""Maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud untuk buat Mbak nggak nyaman. Maaf kalau suara kami ganggu Mbak," kata Ayu dengan sedikit gemetar ketakutan. Gadis itu mencebik dan menatap Ayu dengan tajam. "Bilang sama kedua temen kamu ya, terutama yang pakai baju biru," katanya sambil menuding ke arah Kartika. "Jangan sok cantik di sini!" Setelah puas meluapkan emosinya, gadis itu pun segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Ayu langsung bangkit lalu menutup pint
Air mata Kartika tak terbendung lagi, ia pun menangis di pelukan Sundari."Terimakasih, bu.""Ibu akan mengurus KTP mu ya nak. Oya, kau harus belajar untuk menabung, nak. Sedapat mungkin Ibu akan memberimu tamu yang baik dan tidak kasar juga royal dalam memberikan uang tips. Sehingga kau bisa cepat keluar dari sini. Ibu nggak mau kau bernasib sama seperti Ibu. Sampai tua di tempat seperti ini. Jangan berlama-lama di tempat ini, nak. Kau masih terlalu muda dan, kau masih berhak untuk merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Nah, sekarang kau bergabung dengan yang lain. Kalian akan segera diantar ke klub. Berdandanlah yang cantik. Biasanya tamu-tamu datang pukul 11 malam. Ibu akan memilih tamu yang baik untukmu ya, nak. Ada kok, tamu yang hanya booking untuk menemani karaoke. Tidak selalu harus menemani di atas ranjang.""Sekali lagi, terimakasih bu.""Sama-sama, nak." Kartika pun beranjak keluar ruangan d
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga