Share

BUKAN MAUKU

    Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang. 

"Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya."

"Iya, terserah akang aja." 

    Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. 

    Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika. 

"Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?" 

Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya. 

"Rengganis?"

"Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, nggak punya malu banget sih kamu!" 

    Kartika tak menjawab, ia hanya bisa meneteskan air mata saat melihat Rengganis berjalan menjauh sambil menatap penuh rasa jijik ke arahnya. 

"Itu siapa?" tanya Teddy. 

"Temen sekolah saya...tapi...kita bisa pulang sekarang aja, kang?"

"Iya udah, ayo." 

    Sepanjang perjalanan, Kartika hanya diam sambil sesekali terisak. 

"Sebenarnya, apa kamu benar-benar kabur dari rumah?" tanya Teddy. Kartika menggelengkan kepalanya, "Aku nggak pernah kabur dari rumah, kang. Ibu saya harus membayar hutang almarhum ayah. Dan, waktu itu Ibu meninggalkan aku begitu saja di rumah Mami Sania. Aku nggak tau, kalau pada akhirnya aku harus menjadi wanita penghibur, kupu-kupu malam. Aku sebenarnya masih mau sekolah, aku mau jadi anak pintar dan meraih cita-cita. Tapi, sekarang aku harus bisa menerima kalau pada akhirnya aku harus menjadi wanita penghibur seperti ini," tutur Kartika. 

    Teddy menghela napas panjang. Ia memang bukan pria baik-baik. Bukan suami yang setia untuk istrinya, tapi dia tidak mungkin bisa menjual darah dagingnya untuk menjadi wanita penghibur. Wanita macam apa yang begitu tega menjual darah dagingnya sendiri. Perasaan Teddy begitu terenyuh, beberapa kali ia menghabiskan malam bersama Kartika, tapi baru kali ini ia mengetahui cerita hidup Kartika. 

"Akang nggak tau, kalau kisahnya seperti itu. Jadi, sampai hari ini kau tidak pernah pulang ke rumah?" 

"Saya nggak berani, kang. Saya juga nggak tau bagaimana sikap Ibu jika bertemu saya. Selama ini, ketika dulu ayah masih ada, aku juga nggak pernah dekat sama Ibu. Ibu selalu marah-marah dan memang Ibu nggak pernah suka kalau meneruskan sekolahku. Ibu maunya aku cari uang, bantu Ibu. Ibu dan ayah juga nggak pernah akur. Bahkan di saat terakhirnya ayah meninggal setelah bertengkar dengan Ibu." 

    Teddy menepuk bahu Kartika, ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan uang sebanyak 500 ribu rupiah. 

"Ini untuk kamu, uang booking kamu sudah saya bayar pada Mami Sundari. Kamu simpan aja yang ini ya, ditabung. Suatu hari kamu nggak mungkin terus ada di sana. Akang harap kamu nanti bisa keluar." 

Kartika menganggukkan kepalanya. 

     Teddy mengantarkan Kartika sampai ke Mess. Sundari yang sedang duduk sambil menikmati segelas jeruk dingin langsung berdiri dan menyambut Teddy. 

"Saya kira mau sampai besok, baru mau saya minta tambahan ini," kata Sundari bergurau. Teddy hanya tertawa renyah. 

"Nanti minggu depan saya kemari lagi," jawab Teddy. Dan, ia pun segera pamit. Teddy adalah seorang pegawai swasta, yang memiliki jabatan yang lumayan. Ia memang hobby bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama wanita muda yang bisa ia bayar untuk memenuhi kebutuhannya sebagai seorang lelaki. Istrinya sudah lama tidak bisa melayaninya dengan baik. 

     Sundari menahan Kartika untuk duduk bersamanya sebentar. Mata Kartika yang memerah membuat Sundari sedikit merasakan kekhawatiran pada Kartika. 

"Dia memperlakukanmu dengan baik, kan? Apa kasar?" tanya Sundari. 

"Nggak, Mami. Kang Teddy nggak pernah kav bbsar atau jahat. Dia juga mengajakku makan dulu semalam. Bahkan, tadi sebelum pulang ia mengajakku makan, dan memberikan uang kepadaku." 

"Lalu, kenapa kau menangis? Matamu merah, Kartika."

    Kartika menundukkan kepalanya dalam-dalam. Perlahan dengan suara tersendat ia pun mulai menceritakan pertemuannya dengan Rengganis. 

"Rasanya sakit sekali, bu. Bisa-bisanya Ibuku berdusta dan mengatakan bahwa aku kabur dari rumah. Padahal kenyataannya aku... Kenyataan yang sebenarnya adalah, Ibu menjualku dan menjadikan aku seperti sekarang ini. Ibu mana yang begitu tega menjual anak kandungnya sendiri demi membayar hutang? Jika aku yang ada di posisinya, aku akan memilih kehilangan rumah, dari pada kehilangan anak kandung darah dagingku sendiri. Mungkin, benar apa yang orang-orang katakan. Aku ini bukan anak kandung Ibuku." 

    Untuk pertama kalinya Kartika menangis dalam pelukan seseorang. Ia menumpahkan apa yang ia pendam dan ia rasakan selama beberapa bulan ini. "Aku kecewa sekali,bu. Tidak mengapa jika Ibu memang tidak menginginkan aku. Tapi, kenapa harus memfitnah aku. Seolah aku ini anak yang tidak berguna, anak yang tidak berbakti dan ingin mencari kesenangan sendiri. Padahal pada kenyataannya, aku bekerja seperti ini. Aku jijik pada diriku sendiri, bu. Saat ini aku sudah begitu kotor. Setiap malam jatuh dan berpasrah dari pelukan satu pria ke pelukan pria lainnya. Hanya untuk menjadi pemuas, dan dia sama sekali tidak berpikir apakan aku akan sakit hati atau tidak. Ingin sekali aku bertanya kepadanya kenapa. Kenapa dia harus menyingkirkan aku seperti ini?" 

    Sundari menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil memeluk dan membelai rambut Kartika. 

"Ibu mengerti perasaanmu, nak. Jika kau mau, ibu akan mengantar kau ke rumah untuk bertemu dengan Ibumu. Kau mau?" tanya Sundari. 

"Aku tidak tau, apakah aku masih bisa menatapnya dan menganggapnya sebagai Ibuku setelah kejadian ini." 

"Baik atau buruk, dia tetap Ibu yang telah mengandung dan melahirkanmu. Dia juga sudah merawatmu. Seorang Ibu tetaplah Ibu, nak. Jadi, kau tidak boleh menyimpan dendam kepadanya. Ingat, Kartika masih ada Allah yang selalu bersama kita," ujar Sundari dengan suara bergetar menahan tangis. Ia merasa sangat terenyuh dengan apa yang dialami oleh Kartika. 

"Apakah Allah itu ada, bu?" 

"Sttt, tidak baik berkata seperti itu, Kartika." 

"Jika memang ada, mengapa aku dibiarkan mengalami nasib seperti ini, bu?" 

    Hati Sundari terasa ikut sakit. Ia hanya bisa membelai rambut Kartika dengan lembut. "Bersabarlah, anakku. Allah tidak akan pernah memberikan cobaan diluar kekuatan kita. Ia pasti akan memberikan jalan keluar yang terbaik, percayalah."

Kartika mengangkat wajahnya dan menghapus air matanya. 

"Terimakasih banyak, bu. Maaf, Ibu jadi mendengar curahan hatiku." 

"Tidak apa-apa. Oya, besok siang kau ikut dengan Ibu. Kita akan membuat pas foto. Ibu sudah menyuruh orang untuk membuatkan KTP. Jadi, kau tidak perlu khawatir jika suatu hari ada razia atau juga pergi seperti kemarin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status