Aku tidak lagi mengayunkan kaki ketika berhasil mencapai Union Street. Hanya untuk melihat pemandangan yang sama, aku sampai turun di pemberhentian pertama dan berlari lagi untuk menempuh jalan yang sama sekali tidak ingin aku lewatkan.
Savana adalah alasan mengapa aku melakukan hal konyol itu. Wanita yang selalu membuat jantungku berdetak kencang. Terlebih saat melihat keelokan hatinya pada wanita tua yang ingin menyeberangi jalan.
Di tengah kota yang penuh akan kesibukan, jarang sekali ada orang meluangkan waktu untuk sekadar membantu menyeberangkan wanita tua yang begitu pelan jalannya. Namun, tidak pernah aku kira jika akan menemukan satu dari sekian persen kemustahilan.
Senyumku berhenti mengembang saat Savana melewatiku begitu cepat seperti kibasan angin. Aku hampir lupa kalau kami tidak saling mengenal. Aku hanyalah seorang pengagum rahasia, sedangkan Savana adalah wanita yang selalu tampak sibuk. Aku sampai kepayahan mengikuti gerak kaki cepatnya.
Padahal Savana tidak sedang senggang, akan tetapi menyempatkan diri untuk membantu. Terlebih tidak menunjukkan kesibukan pada orang yang dibantu. Selalu memperlihatkan sikap ramah yang dibaluti dengan senyuman. Bagaimana aku tidak terkagum akan kebaikannya?
Kami tiba di sebuah kafe minuman kecil bernama Sunrise. Tempat di mana anak remaja paling banyak menikmati waktu santai mereka. Cocok pula bagi pekerja yang ingin mencari sebuah ide atau sekadar menghabiskan minuman perlahan.
Sunrise bukan hanya menyediakan minuman sebagai menu. Ada juga sajian pencuci mulut yang dapat dijadikan sebagai teman minum.
Bagaimana aku bisa tahu begitu detail? Karena salah satu waiters di sana adalah aku, Hunter.
Kabar baiknya dari fakta lain mengenai Savana, dia adalah pelanggan tetap di tempat aku bekerja. Hal itu semakin membuatku tidak bisa menghentikan kegembiraan.
"Satu espresso."
Aku bergegas meletakkan tas dan mengenakan apron khusus pegawai. Meskipun begitu, aku masih bisa mendengar apa yang dipesan oleh Savana. Menu minuman itu -espresso- tidak pernah absen setiap kali Savana datang.
Di balik punggung yang hendak mencari tempat duduk, aku tidak bisa menyembunyikan senyuman. Aku sudah mematri jelas di kursi mana Savana akan duduk, bagaimana wanita itu memosisikan diri, benda apa saja yang dibawa. Mungkin jika ada yang mengetahuinya, aku akan dianggap sebagai CCTV berjalan.
Hari ini seperti biasa, Savana duduk bersama laptop. Mengetuk jemari di atas papan keyboard. Tidak tahu apa yang ditulis, akan tetapi aku bisa menyimpulkan kalau Savana adalah wanita pekerja keras. Anggapan itu tidak jauh-jauh dari setelan formal yang dikenakan.
Suara bel meja membuat lamunanku buyar. Seorang waiters hendak mengantarkan menu yang dipesan. Melihat satu gelas espresso di atas nampan, aku langsung mengambil alih. Berharap dapat kesempatan untuk berbicara dengan Savana dari mengantarkan pesanan.
Tidak langsung mengantarkannya, karena terlebih dahulu aku menata penampilan sejenak di depan kaca. Hanya sedikit bayangan diri yang aku dapatkan.
Hari ini aku akan menunjukkan siapa Hunter sebenarnya. Pria yang selalu membuat wanita terpesona dengan ketampanannya.
Penuh keyakinan di dalam diri, aku mengantarkan pesanan minuman. Satu gelas espresso diletakkan di atas meja. Aku menurunkan nampan ke sisi samping tubuh.
Ini tidak seperti apa yang aku rencanakan. Saat kondisi penting seperti ini, kedua kakiku gemetar. Tidak berbeda dengan tangan yang aku pindahkan ke depan untuk saling memeluk. Entah reaksi kegembiraan atau kegugupan, aku sama sekali tidak bisa berpikir dengan baik.
Aku bisa merasa sedikit tenang waktu memfokuskan pandangan ke arah Savana. Bulu mata panjang tampak meneduhkan. Aku juga bisa melihat bibir yang proporsional dengan hidung mancung. Hanya melihat dari sisi samping saja, sudah membuatku kehilangan akal. Terlebih saat melihatnya jelas secara keseluruhan.
"Aku akan membayarnya nanti," ucapnya menghentikan lamunanku.
Aku langsung mengalihkan pandangan. "Baiklah."
Situasi ini begitu canggung bagiku.
"Se-selamat menikmati."
Aku berbalik pergi meninggalkan segala bentuk penyesalan. Tadi, aku berniat untuk mengajak Savana berkenalan. Pada kenyataannya, hanya menjadi sebuah harapan saja. Jangankan mengajak berkenalan, berkata-kata saja aku sudah kesulitan.
Betapa pecundangnya seorang Hunter, hanya bisa melihat pujaan hatinya dari jauh saja. Sangat menyedihkan. Dalam hal ini aku merasa sangat payah. Padahal, mengajak berkenalan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.
Aku berdiri di belakang meja bar yang mana tingginya mencapai pinggang. Baru saja bersiap di posisi, perhatianku teralihkan ketika Savana berjalan dengan tergesa menuju kasir bersama gurat kecemasan.
Savana membayar minuman yang dipesan sebelum akhirnya keluar dari Sunrise. Apa yang terjadi? Padahal, belum lama ini Savana duduk di kursi pelanggan, tetapi sudah memutuskan untuk pergi.
Dari gurat kecemasan yang aku lihat, tampaknya ada kejadian buruk. Sayang sekali, aku tidak bisa mendapatkan informasi apa pun karena kami yang tidak saling mengenal.
Tatapanku mengarah pada kursi yang diduduki Savana tadi. Sebuah ponsel tergeletak di atas meja. Sepertinya Savana tidak sengaja meninggalkan ponsel karena tergesa. Aku bergegas mengambil ponsel untuk kemudian dibawa berlari mengejar Savana.
"Savana!" teriakku memanggil namanya.
Takdir tidak memihak pada kami karena taksi yang dinaiki Savana sudah lebih dulu pergi. Sekarang bagaimana cara untuk mengembalikannya?
Ponsel ini dilindungi oleh kunci keamanan. Apa aku menunggunya saja sampai kami bertemu lagi di Sunrise? Mungkin itu adalah keputusan yang bijak untuk saat ini.
***
Aku menyipitkan mata, tidak lepas memandangi ponsel yang mati layarnya. Ini sudah terhitung empat hari sejak ponsel Savana ada bersamaku. Tidak ada tanda-tanda sang pemilik ponsel akan menghubungi.
Aku mengangkat kepala yang rebah di atas meja, lalu beranjak ke sisi dapur. Mengalihkan perhatian dari ponsel, aku menyeduh mi instan, kemudian berhati-hati membawanya duduk bersamaku di tempat semula.
Perhatianku tersita pada ponsel kembali. Entah mengapa hanya karena benda kecil itu, hidupku menjadi rumit. Aku bahkan tidak membiarkan pandanganku lepas dari ponsel ketika berada dalam jam pelajaran, tidak ingin kehilangan satu informasi pun kalau-kalau Savana menghubungi.
Namun, tampaknya pemilik ponsel sendiri tidak peduli. Seharusnya ponsel menjadi benda terpenting yang mana tidak bisa dibiarkan hilang begitu saja.
"Bagaimana bisa Savana meninggalkanmu?" ucapku dengan frustrasi yang tidak bisa ditahan lagi.
Aku mengambil mi instan yang tidak lagi panas. Langsung saja menghirup isinya sedikit demi sedikit. Walaupun sudah sibuk mengisi perut, aku tetap saja menatap ponsel yang masih dalam keadaan sama.
Tiba-tiba layar gelap itu berubah terang. Ditambah dering dan getar ponsel yang mengagetkanku. Aku tersedak akibat terkejut di saat yang tidak tepat.
Mi instan aku letakkan dengan cepat, lalu bergegas menyelamatkan diri dengan satu gelas minuman. Setelah sedikit tenang, aku langsung meraih ponsel dan menerima panggilan.
"Syukurlah ...." Suara itu terdengar seperti embusan napas seolah lega setelah mengetahui ada orang yang mengangkat telepon. "Ponselku sepertinya tertinggal di kafe. Bisakah aku mendapatkannya kembali?"
Ini adalah novel kedua Renko di sini. Semoga satu selera denganmu~
Bagaikan membuka gerbang kemenangan, celah pintu lemari semakin membentang lebar. Aku menghirup aroma yang menyejukkan ini. Rasanya membuatku tidak bisa menahan diri lagi. Suasana hatiku sangat bagus."Savana, aku tidak menyangka jika kau akan mengajakku pergi berkencan," nada suaraku rendah berucap seperti seorang pria yang berkarisma.Sehelai kemeja menemani langkahku berhadapan dengan cermin, "Baiklah. Aku akan menyetujuinya. Tapi jangan salahkan aku jika kau terpesona padaku," ucapku sedikit tersipu malu, kemudian menyapu rambutku seraya berkata, "Karena aku adalah Hunter, seorang lelaki tampan."Suasana hening sebentar sebelum aku tertawa geli. Aku sulit menahan bagaimana senangnya hatiku. Tidak ada yang tahu betapa aku sangat menantikan hari ini. Berjumpa dengan Savana!Aku mengenakan kemeja, lalu memadukannya dengan sweter berwarna abu-abu. Rambutku sudah tertata rapi. Bahkan khusus untuk hari ini aku sampai
Aku tidak beranjak dari posisiku. Lebih memilih untuk menyerahkan kantong kertas mini cantik pada Savana di depan pintu rumah saja.Melangkah jauh sampai ke dalam, bukan tindakan yang baik ketika kami baru saja mengenal, bukan? Meskipun bagiku kami tidak hanya satu kali bertemu, akan tetapi bagi Savana mungkin sebaliknya.Savana meraih kantong yang disodorkan, kemudian mengeluarkan benda yang terdapat di dalamnya. Ada gurat kelegaan yang tampak di wajah itu."Maafkan aku harus membuatmu datang sendiri untuk mengantarkan ponselku. Seharusnya aku yang menjemput, tapi suatu kejadian membuatku tidak bisa datang. Ayo, masuklah ke dalam dan biarkan aku menuangkan teh hangat untukmu.""Tidak perlu. Aku akan langsung perg
Aku mendapatkan sif siang hari ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat bekerja, pikiranku tidak berhenti mencemaskan kejadian kemarin. Savana enggan menjawab pertanyaanku yang menginginkan agar kami semakin dekat.Padahal pertemuan pertama kami seharusnya berjalan baik, akan tetapi keinginanku telah membuat semuanya menjadi kacau. Apa yang dipikirkan Savana tentangku setelah kemarin? Mungkinkah aku dicap sebagai lelaki aneh yang ingin mendekati seorang gadis?Aku meremas rambutku dengan frustrasi, "Kau sangat bodoh, Hunter."Gerakan tanganku berhenti ketika melihat pemandangan baru di depan mata. Seorang anak kecil tengah menatapku dengan ekspresi datar. Terlebih dari pemandangan itu, aku juga melihat Savana. Mereka berdua saling bergandengan tangan.
Aku memperhatikan Sunny yang masih tidur pulas meski sudah berpindah tangan. Anak perempuan ini sangat lucu dan juga cantik seperti ibunya. Hanya melihat seperti ini saja sudah membuatku merasa senang."Sunny terlihat begitu nyenyak.""Tadi dia bermain banyak. Mungkin terlalu lelah dan butuh mengisi dayanya kembali."Aku menganggukkan kepala tanpa melepaskan pandangan dari Sunny. Sebelumnya aku sering menjaga keponakanku. Jadi, aku tahu persis bagaimana anak seusia Sunny ketika bermain.Lama kami berteduh hingga sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan kafe. Dari sana muncul satu sosok pria yang pernah aku temui. Pria itu datang menghampiri kami menggunakan payung berwarna hitam.
Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di
Savana tampak sangat terkejut mendengar pernyataanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak ingin menebaknya karena hanya akan menggoyahkan kepercayaan diriku."Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria? Atau adakah pria yang menempati hatimu saat ini?"Savana masih terdiam saat menghadapi keberanianku. Tidak dapat berkata-kata. Meskipun begitu aku tidak mundur lagi untuk mengatakan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."Tidak. Untuk apa kau bertanya?" tanyanya seolah masih tidak percaya.Aku berpikir sesaat sebelum keyakinan semakin tumbuh di hatiku, "Selama jawaban itu masih sama, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Entah kau suka atau tidak, aku ingin kau mempertimbangkan kesungguhanku."Tiba-tiba Savana bangkit dari duduknya dan membuatku terbengong, "Maaf, Hunter. A-aku harus pergi bekerja sekarang."
Dari kaca jendela yang menampakkan pelanggan kafe, aku melihat Savana tengah duduk dengan ekspresi muram. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu. Sepertinya akibat pernyataan yang aku ungkapkan kemarin. Apakah Savana begitu tidak ingin jika aku memiliki perasaan padanya?Aku bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri Savana. Di saat itu pula tatapan mata kami bertemu. Perasaanku saat ini sulit dijelaskan. Tumpang tindih antara ingin melanjutkan perjuangan dan tidak ingin melanjutkan perjuangan. Alasannya adalah karena aku tidak ingin melihat pemandangan semacam ini."Lupakan saja.""Apa yang harus aku lupakan?" tanyanya bingung."Kau tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana perasaanku padamu. Lupakan saja jika hal itu membuatmu tidak nyaman."Satu hal lagi yang paling penting, aku tidak ingin membuat hubungan kami menjadi jauh. Sangat sulit bagiku jika Savana tidak lagi memunculkan diri. Aku t
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi