Embusan angin mengayunkan rambut sebahu seorang wanita di Union Street. Waktu seakan-akan terjeda, mempersilakan Hunter untuk menikmati parfum beraroma manisnya karamel dan hangatnya sebuah pertemuan.
Inilah yang dilakukan Savana di tengah kota yang penuh dengan kesibukan, menuntun seorang wanita renta hingga mencapai seberang jalan. Dari pemandangan itu awal permulaan Hunter terpesona dengan sosok Savana.
"Terima kasih banyak," ucap sang nenek.
"Bukan apa-apa. Sampai jumpa lagi besok," ucap Savana, menundukkan kepala seraya tersenyum sebelum beranjak pergi.
Jantung Hunter masih berdegup kencang, semakin menggila ketika melihat bagaimana cara Savana tersenyum. Memang wanita idaman dan tipenya; cantik, tulus, dan pekerja keras.
Kenapa dia bisa tahu kalau Savana pekerja keras? Karena wanita itu adalah salah satu pelanggan tetap di tempat dia bekerja paruh waktu. Ada saatnya Savana merasa kacau di depan laptop, ada pula saatnya melangkah terburu-buru seolah tidak ada jeda di dalam hidup untuk beristirahat.
Mirisnya dari semua itu, Hunter hanya mengamati dan menilai dari sudut pandangnya. Dia tidak pernah mencoba melakukan pendekatan atau semacamnya, karena dia cukup pengecut sebagai seorang pria yang ingin mengetahui lebih banyak tentang sang pujaan hati.
"Hunter, cepat ganti seragammu. Kafe kedatangan tamu istimewa hari ini dan membuat pelanggan melonjak naik," ucap salah seorang rekan kerjanya.
Hunter terpaksa mengalihkan tatapannya dari Savana. Batinnya berkonflik. Dia tidak boleh lupa kalau kini membutuhkan pekerjaan paruh waktunya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Apa yang kau lakukan, Hunter? Jangan bermenung saja." Teman kerjanya berkata kembali.
Kali ini Hunter tidak berdiam diri, lantas bergegas mengganti seragam dan mengantarkan pesanan. Bukan berada di dapur atau di meja kasir, tugasnya adalah memastikan kalau para pelanggan tidak kekurangan suatu apa pun di mejanya.
"Saya memesan red velvet, bukan black forest!"
Hunter menatap sekeliling, orang-orang hanya memandanginya, tidak terkecuali Savana. Dalam kondisi salah mengantarkan pesanan, dia cukup malu di depan orang banyak.
"Apa kafe ini tidak punya manajer?! Kenapa masih belum muncul di saat pekerjanya melayani dengan tidak becus begini?!"
Hunter menundukkan kepala sebagai bentuk penyesalan, lalu mengambil pesanan yang salah itu kembali.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan segera mengantarkan menu yang benar."
"Sial, kalian membuang-buang waktu berhargaku!"
"Kau pikir dirimu siapa, hah?!"
Belum cukup satu masalah, sekarang tiba masalah baru. Rose, pelayan wanita di kafe itu terpicu emosinya. Hunter segera membuat batas di antara mereka dan berusaha melerai.
"Rose, tidak apa-apa. Kita hanya perlu mengantarkan pesanan yang benar."
Rose dengan cepat mendorong Hunter untuk tidak menghalangi, lalu berhadapan dengan pria bergaya nyentrik yang mengenakan kacamata hitam besar.
"Kau seharusnya tidak bertanya siapa aku agar dirimu tidak menyesal."
Pria nyentrik itu tertawa remeh.
"Aku adalah aktor besar yang telah membuat kafe ini dipenuhi oleh banyak pelanggan. Kedatanganku adalah berkat bagi kalian. Tapi melihat sikap para pelayan di sini tidak ramah bintang satu, maka aku tidak akan kembali lagi ke kafe jelek ini!"
"Kau tidak berkaca di depan cermin sebelum keluar rumah, ya? Mana mungkin masyarakat memilih primata sebagai idola mereka."
"Apa kau bilang?!"
"PRI-MA-TA."
Hunter bisa melihat asap keluar dari telinga pria bergaya nyentrik itu, pasti sangat marah dengan sikap Rose yang terlalu blak-blakan.
AHAHAHAHA ....
Perhatian semua orang kini tertuju pada wanita yang duduk di tepi jendela paling sudut. Baru kali ini Hunter melihat Savana terbahak-bahak sampai menangis. Apa alasannya karena perkataan Rose barusan?
"Maaf, maaf, kalian bisa melanjutkannya."
Meskipun begitu, Savana masih berusaha untuk menahan diri agar tidak tertawa. Sementara dua orang yang berdebat masih memasang tampang tidak suka satu sama lain.
"Aku akan menuntut kafe ini dan kalian semua akan dipecat!"
Setelah melontarkan kata-kata ancaman, pria itu pun pergi dari kafe. Pemicu kafe menjadi ramai memang berasal dari pria itu, tetapi bukan berarti semua pelanggan adalah penggemarnya.
"Jika diperhatikan lagi, bukankah memang mirip primata?"
"Hush, kau ini! Kita kan penggemarnya. Ayo, kita ikuti dia!"
Rose melihat dua orang remaja wanita yang sempat berbincang sedikit di dekatnya keluar dari kafe. Dia beralih menatap Hunter, masih memegang nampan yang di atasnya terletak kue black forest.
Hunter sendiri menatap ke arah Savana yang sibuk dengan aktivitasnya kembali. Dia pikir dari kejadian ini Savana akan menyadari keberadaannya, tetapi dia telah salah. Entah kenapa, dia jadi merasa kecewa.
Rose membuat lamunan seketika buyar. Wanita itu mengambil alih nampan, lalu membawanya pergi ke meja pesanan untuk melihat kesalahan berasal dari mana. Ternyata dari awal sudah salah sehingga beruntun sampai Hunter terkena dampaknya.
"Siapa yang menuliskan menu ini?" tanya Rose.
"S—saya."
Mereka memutuskan untuk bicara di belakang layar. Rose, Hunter, orang yang bersalah, dan diperhatikan oleh beberapa pegawai di kafe itu.
"Masalah ini akan sampai ke telinga manajer cepat atau lambat, lalu pemilik kafe ini dan juga nenek lampir itu. Kau baru bekerja beberapa minggu di sini, tapi sudah melakukan kesalahan. Sekarang ingin bagaimana?" tanya Rose.
Hunter menyentuh bahu Rose, kemudian memajukan langkah. Dia melihat pegawai yang salah menulis pesanan ini ketakutan, bahkan sejak kejadian memalukan hanya menyudutkan diri.
"Hal wajar membuat kesalahan ketika baru bekerja, tapi bukan itu intinya. Kita harus menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berkembang menjadi masalah yang lebih besar."
"Maaf, Hunter, karena kelalaianku, kau jadi dipermalukan. Aku akan meminta maaf padanya."
"Melihat kejadian tadi, apa kau kira dengan minta maaf akan cukup?" Rose berkata.
"Itu semua terjadi karena dirimu." Hunter tampak frustrasi ketika berkata.
"Hah? Karena diriku katamu?"
"Kau yang membuat masalahnya menjadi rumit, padahal aku sudah melarangmu untuk bersikap temperamental."
"Temperamental? Kau menyalahkanku setelah membelamu di hadapan pelanggan yang mempermalukanmu?"
Hunter memijat kepalanya, semakin frustrasi lantaran Rose hanya mengandalkan kemampuan menakuti ketimbang bersikap tenang di situasi genting seperti ini.
"Permisi?"
Tatapan mereka beralih pada seorang wanita yang masuk ke dapur kafe. Hunter terkejut mendapati Savana adalah orangnya. Apa yang dilakukan sang pujaan hatinya di sini?
"Maaf, saya datang ke mari begitu saja, tapi ... bolehkah saya memberi saran?"
Savana sejak tadi sudah menunggu di mejanya. Dia hendak memberikan saran setelah para pegawai selesai merapatkan tentang masalah yang terjadi di kafe. Hanya saja, dia tidak memiliki banyak waktu sehingga harus mendatangi mereka sendiri.
"Anda siapa, ya? Orang sembarangan tidak boleh masuk ke dapur kami," ucap Rose.
"Ah, perkenalkan, saya Savana, pelanggan tetap di kafe ini."
Hunter mengepalkan tangan, mulutnya ingin bicara, tetapi kenapa tidak membuka juga?
"Sa—saran a—apa?"
Rose dan pegawai yang bersalah menatap Hunter dengan kebingungan. Tadi berbicara lancar, lalu sekarang seperti orang yang habis bertemu hantu. Dibandingkan seperti habis bertemu hantu, Hunter lebih seperti kepiting rebus!
"Hunter, kau sakit? Mukamu sangat merah!" Rose tampak panik.
"Ti—tidak u—usah pe—pedulikan."
Ini adalah novel kedua Renko di sini. Semoga satu selera denganmu~
Bagaikan membuka gerbang kemenangan, celah pintu lemari semakin membentang lebar. Aku menghirup aroma yang menyejukkan ini. Rasanya membuatku tidak bisa menahan diri lagi. Suasana hatiku sangat bagus."Savana, aku tidak menyangka jika kau akan mengajakku pergi berkencan," nada suaraku rendah berucap seperti seorang pria yang berkarisma.Sehelai kemeja menemani langkahku berhadapan dengan cermin, "Baiklah. Aku akan menyetujuinya. Tapi jangan salahkan aku jika kau terpesona padaku," ucapku sedikit tersipu malu, kemudian menyapu rambutku seraya berkata, "Karena aku adalah Hunter, seorang lelaki tampan."Suasana hening sebentar sebelum aku tertawa geli. Aku sulit menahan bagaimana senangnya hatiku. Tidak ada yang tahu betapa aku sangat menantikan hari ini. Berjumpa dengan Savana!Aku mengenakan kemeja, lalu memadukannya dengan sweter berwarna abu-abu. Rambutku sudah tertata rapi. Bahkan khusus untuk hari ini aku sampai
Aku tidak beranjak dari posisiku. Lebih memilih untuk menyerahkan kantong kertas mini cantik pada Savana di depan pintu rumah saja.Melangkah jauh sampai ke dalam, bukan tindakan yang baik ketika kami baru saja mengenal, bukan? Meskipun bagiku kami tidak hanya satu kali bertemu, akan tetapi bagi Savana mungkin sebaliknya.Savana meraih kantong yang disodorkan, kemudian mengeluarkan benda yang terdapat di dalamnya. Ada gurat kelegaan yang tampak di wajah itu."Maafkan aku harus membuatmu datang sendiri untuk mengantarkan ponselku. Seharusnya aku yang menjemput, tapi suatu kejadian membuatku tidak bisa datang. Ayo, masuklah ke dalam dan biarkan aku menuangkan teh hangat untukmu.""Tidak perlu. Aku akan langsung perg
Aku mendapatkan sif siang hari ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat bekerja, pikiranku tidak berhenti mencemaskan kejadian kemarin. Savana enggan menjawab pertanyaanku yang menginginkan agar kami semakin dekat.Padahal pertemuan pertama kami seharusnya berjalan baik, akan tetapi keinginanku telah membuat semuanya menjadi kacau. Apa yang dipikirkan Savana tentangku setelah kemarin? Mungkinkah aku dicap sebagai lelaki aneh yang ingin mendekati seorang gadis?Aku meremas rambutku dengan frustrasi, "Kau sangat bodoh, Hunter."Gerakan tanganku berhenti ketika melihat pemandangan baru di depan mata. Seorang anak kecil tengah menatapku dengan ekspresi datar. Terlebih dari pemandangan itu, aku juga melihat Savana. Mereka berdua saling bergandengan tangan.
Aku memperhatikan Sunny yang masih tidur pulas meski sudah berpindah tangan. Anak perempuan ini sangat lucu dan juga cantik seperti ibunya. Hanya melihat seperti ini saja sudah membuatku merasa senang."Sunny terlihat begitu nyenyak.""Tadi dia bermain banyak. Mungkin terlalu lelah dan butuh mengisi dayanya kembali."Aku menganggukkan kepala tanpa melepaskan pandangan dari Sunny. Sebelumnya aku sering menjaga keponakanku. Jadi, aku tahu persis bagaimana anak seusia Sunny ketika bermain.Lama kami berteduh hingga sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan kafe. Dari sana muncul satu sosok pria yang pernah aku temui. Pria itu datang menghampiri kami menggunakan payung berwarna hitam.
Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di
Savana tampak sangat terkejut mendengar pernyataanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak ingin menebaknya karena hanya akan menggoyahkan kepercayaan diriku."Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria? Atau adakah pria yang menempati hatimu saat ini?"Savana masih terdiam saat menghadapi keberanianku. Tidak dapat berkata-kata. Meskipun begitu aku tidak mundur lagi untuk mengatakan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."Tidak. Untuk apa kau bertanya?" tanyanya seolah masih tidak percaya.Aku berpikir sesaat sebelum keyakinan semakin tumbuh di hatiku, "Selama jawaban itu masih sama, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Entah kau suka atau tidak, aku ingin kau mempertimbangkan kesungguhanku."Tiba-tiba Savana bangkit dari duduknya dan membuatku terbengong, "Maaf, Hunter. A-aku harus pergi bekerja sekarang."
Dari kaca jendela yang menampakkan pelanggan kafe, aku melihat Savana tengah duduk dengan ekspresi muram. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu. Sepertinya akibat pernyataan yang aku ungkapkan kemarin. Apakah Savana begitu tidak ingin jika aku memiliki perasaan padanya?Aku bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri Savana. Di saat itu pula tatapan mata kami bertemu. Perasaanku saat ini sulit dijelaskan. Tumpang tindih antara ingin melanjutkan perjuangan dan tidak ingin melanjutkan perjuangan. Alasannya adalah karena aku tidak ingin melihat pemandangan semacam ini."Lupakan saja.""Apa yang harus aku lupakan?" tanyanya bingung."Kau tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana perasaanku padamu. Lupakan saja jika hal itu membuatmu tidak nyaman."Satu hal lagi yang paling penting, aku tidak ingin membuat hubungan kami menjadi jauh. Sangat sulit bagiku jika Savana tidak lagi memunculkan diri. Aku t
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi