Share

Bab 3: Pendengar Savana

Aku tidak beranjak dari posisiku. Lebih memilih untuk menyerahkan kantong kertas mini cantik pada Savana di depan pintu rumah saja.

Melangkah jauh sampai ke dalam, bukan tindakan yang baik ketika kami baru saja mengenal, bukan? Meskipun bagiku kami tidak hanya satu kali bertemu, akan tetapi bagi Savana mungkin sebaliknya.

Savana meraih kantong yang disodorkan, kemudian mengeluarkan benda yang terdapat di dalamnya. Ada gurat kelegaan yang tampak di wajah itu.

"Maafkan aku harus membuatmu datang sendiri untuk mengantarkan ponselku. Seharusnya aku yang menjemput, tapi suatu kejadian membuatku tidak bisa datang. Ayo, masuklah ke dalam dan biarkan aku menuangkan teh hangat untukmu."

"Tidak perlu. Aku akan langsung pergi," tolakku sopan.

Lalu, menghilangkan kesempatan besar yang ada di depan mata? Kenapa aku bodoh sekali? Kalau aku pergi begitu saja, bukankah hubungan kami akan cukup sampai di sini? Berbeda kalau aku menerima tawaran yang mana memungkinkan aku mendapatkan cara untuk menghubungi Savana selanjutnya.

"Sayang sekali. Padahal sudah jauh-jauh datang untuk mengantarkan ponsel."

"M-maksudku ... di luar sangat dingin. Lebih baik aku menghangatkan diri sebentar."

Pada akhirnya aku masuk ke dalam rumah Savana. Sambil terus melangkah, aku memperhatikan sekeliling yang mana rumah itu tampak sangat rapi dan juga bersih. Sudah pasti begitu karena wanita yang aku sukai adalah sosok sempurna baik luar maupun dalam.

Asyik memandangi sekeliling, senyuman mengendur ketika kami hampir saja tiba di ruang duduk. Selain aku, ternyata ada seorang pria lagi di dalam rumah ini. Aku menelan ludahku sendiri memandangi Savana yang hanya tampak punggungnya.

Siapa pria itu? Apakah seorang kerabat?

"Duduklah. Aku akan membuatkan minuman untukmu," ucap Savana membuyarkan lamunan.

Aku duduk di sofa sambil mengurai senyuman, akan tetapi kerabat Savana tampak tidak ramah. Hanya memandangiku dengan tatapan tidak suka. Maka dari itu aku berinisiatif untuk bicara lebih dulu agar suasana tidak tegang lagi.

"Aku Hunter."

"Siapa?"

Aku mengerutkan dahi. Rasanya suaraku tidak pelan saat berbicara tadi, "Hunter," ucapku kembali.

"Kau siapa bagi Savana?"

"Ah ...." Aku membuka mulutku sebentar sebelum berkata, "Entahlah. Kami baru saja bertemu." Aku tertawa dengan canggung.

Pria itu menyeringai dan tidak berkata apa-apa lagi. Pada saat yang bersamaan, Savana datang membawa satu cangkir minuman yang sudah bisa dipastikan kalau itu untukku. Sesudahnya Savana duduk pula bersama kami.

Aku masih berpikir keras mencari tahu siapa pria yang terlihat tidak menyukaiku ini sebenarnya? Apakah benar-benar seorang kerabat atau memiliki hubungan khusus dengan Savana sampai dibawa masuk ke dalam rumah?

"Titip salam untuk Sunny. Aku harus segera kembali ke kantor," ucap pria itu kemudian bangkit dari duduk.

"Oh, aku akan mengantarmu sampai ke pintu depan."

Savana melirikku sambil mengurai sebuah senyuman. Seolah menyiratkan kata 'aku akan pergi sebentar' padaku. Lantas, aku menganggukkan kepala membiarkan dia pergi.

Aku menunggu seorang diri di ruang duduk. Dari sini aku hanya mendengar samar-samar suara Savana dan kerabatnya sedang berbicara. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Beberapa saat kemudian, Savana datang menghampiri sofa yang ada di seberangku. Lagi-lagi dia menebar senyuman yang membuat jantungku tidak berhenti berdetak kencang.

"Aku Savana."

Suara itu terdengar lembut dan menenangkan. Tangan putih bersih juga mengulur padaku. Tentu saja aku langsung menyambutnya dengan senang hati.

"Hunter."

Tangan yang aku genggam sangat lembut dan juga hangat. Membuatku enggan untuk melepaskan. Selain itu, aku melihat ada tahi lalat di pergelangan tangan. Kontras warnanya dengan kulit.

"Bukankah," Savana memiringkan kepala seolah sedang mengingat sesuatu, "kau waiters yang selalu mengantarkan minuman padaku?"

Aku melepaskan jabatan tangan, lalu tertunduk malu. Savana telah menyadari kalau aku adalah waiters yang selalu mengantarkan minuman padanya. Hal itu sengaja aku lakukan demi bisa melihat Savana dari dekat.

"Y-ya ...."

Di balik itu semua, aku sebenarnya sangat senang karena Savana memperhatikan siapa yang selalu mengantarkan minuman padanya. Walaupun sering kali aku tidak digubris karena tatapan Savana yang tidak lepas dari layar laptop.

Selama pertemuan itu kami membahas banyak hal. Salah satunya mengenai kehidupan yang sedang kami jalani. Jarak yang aku pikir akan membentang luas, perlahan lenyap seiring perkenalan terjadi.

Banyak yang mengira kalau aku berasal dari kalangan atas, akan tetapi semua anggapan itu salah. Aku adalah anak dari seorang petani di sebuah desa. Kedatanganku di kota ini untuk mengejar pendidikan. Di sini aku bekerja untuk mencukupi kebutuhan selama tidak tinggal bersama kedua orang tua.

Sementara Savana juga membahas mengenai pekerjaannya. Sekarang aku tahu kenapa jemari-jemari itu tidak lepas dari papan keyboard. Alasan kenapa Savana terkadang menjadi berantakan dan memesan espresso lebih dari satu. Ternyata Savana merupakan seorang jurnalis yang sangat sibuk memenuhi jadwal pekerjaan.

Tidak disangka jika perbincangan mengenai pekerjaan bisa membuat kami menjadi akrab. Sepertinya bukan hanya aku saja yang antusias menjadi seorang pendengar, begitu pula dengan Savana. Tidak berhenti menanyakan banyak hal padaku.

Perhatianku teralihkan pada jam dinding, "Sebaiknya aku pulang sekarang sebelum benar-benar gelap."

Savana juga melihat ke arah yang sama, "Ah, kau benar. Kita terlalu asyik berbincang sampai melupakan waktu." Dia bangkit untuk mengantarkan aku ke depan pintu.

"S-savana." Akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara setelah menimbang-nimbang terlalu lama.

Savana menolehkan kepala sebelum berhasil mencapai pintu. Dia tampak kebingungan, kenapa aku memanggilnya?

Aku telah mengembalikan ponsel yang menjadi jalan untuk kami bisa berinteraksi. Setelah ini apakah kami akan menjadi orang asing? Aku sama sekali tidak ingin hal itu terjadi. Aku ingin lebih dekat dengannya lebih dari pada ini.

"Apa ada kemungkinan untuk kita bertemu lagi?"

Savana diam sejenak sebelum tertawa, "Aku selalu mendatangi Sunrise dan tentu saja ada kemungkinan untuk kita bertemu."

Bukan pertemuan seperti itu yang aku inginkan. Aku ingin kami berbincang seperti hari ini. Saling berbicara. Saling mengenal satu sama lain. Aku ingin menjadi pendengar Savana.

"Aku berpikir kalau kita bisa berbagi cerita dan mungkin saja kau membutuhkan teman duduk?"

Aku hampir melupakan statusku sebagai waiters. Tidak bisa menemani pelanggan karena tugasku adalah mengantarkan pesanan. Menemani pelanggan hanya akan membuat nilaiku di mata pemilik kafe menjadi turun.

Meskipun aku akan melakukan apa saja untuk Savana, akan tetapi aku tidak bisa berhenti dari pekerjaan. Hal itu akan lebih membebani kedua orang tua. Namun, aku juga tidak bisa menyerah untuk mendapatkan Savana.

"A-aku bisa menemanimu setelah jadwal kerjaku selesai."

Savana menundukkan pandangan dan membuatku bertanya, apa yang salah dari ucapanku? Apakah aku membuatnya tidak nyaman karena secara terang-terangan ingin lebih dekat?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status