Share

Bab 4: Berteduh dari Hujan

Aku mendapatkan sif siang hari ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat bekerja, pikiranku tidak berhenti mencemaskan kejadian kemarin. Savana enggan menjawab pertanyaanku yang menginginkan agar kami semakin dekat.

Padahal pertemuan pertama kami seharusnya berjalan baik, akan tetapi keinginanku telah membuat semuanya menjadi kacau. Apa yang dipikirkan Savana tentangku setelah kemarin? Mungkinkah aku dicap sebagai lelaki aneh yang ingin mendekati seorang gadis?

Aku meremas rambutku dengan frustrasi, "Kau sangat bodoh, Hunter."

Gerakan tanganku berhenti ketika melihat pemandangan baru di depan mata. Seorang anak kecil tengah menatapku dengan ekspresi datar. Terlebih dari pemandangan itu, aku juga melihat Savana. Mereka berdua saling bergandengan tangan.

"Savana, kau memiliki adik?"

Savana menoleh ke mana aku melihat. Dia berjongkok di samping anak kecil itu, lalu berkata, "Beri salam pada Hunter."

"Hai, Paman. Salam kenal. Namaku Sunny," ucapnya dengan tampang datar dan suara yang belum jelas betul pelafalannya.

Savana bangkit dan tersenyum, "Sunny adalah putriku. Dia adalah alasan kenapa aku sampai meninggalkan ponsel. Suhu tubuhnya panas saat itu dan aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Aku juga tidak bisa menemuimu di restoran karena Sunny masih tidak bisa ditinggalkan."

Baru kemarin aku begitu gembira bisa mengenal Savana. Sekarang semua kegembiraan harus luntur begitu saja. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Jadi, selama ini aku menyukai seorang wanita yang sudah menikah dan memiliki seorang anak?

"Hunter?"

Aku langsung menarik diri dari lamunan. Melihat tangan yang mengibas-ngibas di depan wajahku membuat kesadaran semakin muncul. Meskipun begitu aku masih tercengang tidak percaya.

Lebih dari pada itu, cinta pertamaku harus kandas sebelum dimulai. Begitu cepat. Sekejap mata. Hati mana yang sanggup ketika mengalaminya?

"Hari ini Sunny pulang lebih awal. Jadi, aku berpikir untuk membawanya bersamaku."

"Itu sangat bagus. Kau akan memiliki teman duduk," ucapku dengan tawa yang canggung.

Saat ibu dan anak itu memasuki kafe, aku tidak bisa menolak segala perasaan yang ada. Hati dan pikiranku campur aduk semua. Kenapa harus ada seorang anak di antara hubungan kami yang masih belum terjalin? Kenapa Savana sudah menikah? Pertanyaan yang paling penting adalah kenapa aku baru mengetahui hal itu sekarang?

Setelah mendengar kenyataan yang pahit, sebenarnya aku enggan untuk mengantarkan pesanan Savana. Namun, seperti apa yang aku lihat, akhir pekan lebih banyak pelanggan yang datang. Semua pegawai sudah memiliki kesibukan masing-masing dan hanya aku yang tidak.

Pada akhirnya mau tidak mau, aku harus membawakan pesanan Savana. Jika biasanya hanya ada satu menu, kini di meja itu akan ada menu lain. Satu gelas susu hangat dan juga cheese cake.

"Terima kasih, Hunter."

Aku tersenyum membalas rasa terima kasih itu. Bersama kenyataan pahit, aku membawa tatapan mengarah pada Sunny. Anak kecil yang duduk tanpa menunjukkan perasaan bersalah itu hanya memandangiku dengan tatapan datar. Tidak berubah sama sekali.

Padahal telah membuat hubunganku dengan Savana menjadi rumit. Meskipun begitu semuanya bukan kesalahan Sunny. Takdir hidupku yang seperti ini. Menyukai wanita yang sudah menikah dan memiliki anak.

Tiba-tiba Sunny yang menatapku tadinya beranjak mengalihkan pandangan, lalu berkata, "Sunny ingin bertemu papa."

Aku tercengang tidak percaya dan tidak berdaya mendengar kata rindu itu. Kenyataan pahit apa lagi yang harus aku dengar ini? Belum cukupkah Savana yang telah menikah dan juga memiliki anak? Sekarang harus ditambah lagi dengan menyinggung pria lain di saat aku masih berduka akibat kabar mengejutkan itu.

Savana menghentikan pekerjaan sejenak, lalu tersenyum senang, "Nanti kita akan menemui papa."

Keluarga bahagia apa yang sedang aku lihat sekarang? Cinta pertamaku telah gugur dibawa harapan tinggi yang mendadak jatuh. Savana hanya mimpi yang tidak akan bisa aku dapatkan karena telah menjadi milik orang lain.

Tiba-tiba aku teringat saat berada di rumah Savana. Waktu itu seorang pria juga ada di sana. Kalau tidak salah berkata untuk menitipkan salam pada Sunny. Apakah pria itu sesungguhnya bukan kerabat, melainkan ayahnya Sunny?

Aku benar-benar sudah kalah. Mengingat bagaimana cerminan seorang pria kaya tampil pada saat itu. Jam tangan yang melingkar di tangan juga tampak mewah dan berkilau. Pakaian yang dikenakan sudah bisa dilihat bagaimana kualitasnya.

Sementara aku hanya berasal dari desa dengan mengandalkan biaya kuliah dari orang tua. Jam tangan yang aku punya juga biasa saja. Pakaian yang aku kenakan tidak berbeda kondisinya.

"Kenapa Paman masih ada di sini?"

Aku seketika mengendurkan kerut di dahi. Terlalu melamun membuatku sampai tidak sadar akan tugas mengantarkan pesanan yang sudah selesai dikerjakan ternyata.

Tiba-tiba seorang waitress menarikku. Aku tidak bisa menolak karena memang sudah seharusnya pergi dari hadapan pelanggan. Alhasil aku hanya bisa menuruti keinginan Rose.

"Apa kau ingin dipecat?" tanya Rose setengah berbisik.

"Maafkan aku," ucapku seraya menundukkan kepala dalam-dalam. Bukan menyesal karena terancam dipecat, tetapi menyesal karena berita mengejutkan yang aku dengar hari ini.

***

Aku mengunci loker setelah selesai mengganti pakaian dan memikul ransel sebelum beranjak keluar. Sayangnya langkah kaki harus berhenti lantaran Rose menghalangi jalanku.

"Kau menyukai wanita itu?"

"Aku menyukainya atau tidak, bukanlah urusanmu," ucapku ketus, lalu menyingkirkan Rose yang menghalangi jalan.

Langkah kaki melambat saat aku hampir berhasil mencapai pintu. Aku melirik jam dinding yang mana sekarang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seharusnya Savana sudah tidak lagi berada di kafe, tetapi sekarang wanita itu masih tampak batang hidungnya.

Semua pertanyaan langsung luntur ketika aku mengetahui kalau alasan di balik itu semua adalah karena turun hujan. Sangat lebat. Savana terjebak hujan, begitu pula denganku.

Tatapan kami langsung bertemu ketika lonceng yang menggantung di pintu berdentang. Savana yang tadinya berjongkok di tepian langsung bangkit bersama Sunny yang sudah tertidur pulas dalam pelukan.

"Kenapa tidak menunggu di dalam saja?"

"Sepertinya kafe akan tutup. Jadi, aku memilih untuk menunggu di sini saja."

Aku mengintip langit yang seolah tidak berniat menghentikan guyuran hujan. Sepertinya akan lama jika Savana menunggu seorang diri di sini. Aku bisa saja pulang dengan berlari sampai halte seperti biasa ketika hujan datang. Namun, hatiku tidak bisa membiarkan Savana tinggal seorang diri.

Perhatianku teralihkan pada celana yang terkena cipratan air bercampur tanah. Sepertinya Savana tidak sadar akan hal itu. Lantas aku menawarkan agar kami bertukar tempat. Savana tidak mempermasalahkan dan langsung menyetujui.

Aku juga memberikan jaketku untuk dikenakan Savana karena mantel yang seharusnya melekat di bahu itu sudah beralih untuk menyelimuti Sunny. Awalnya aku ragu karena biar bagaimana pun, Savana sudah menikah dan kehadiran jaketku hanya akan membawa petaka dalam hubungan rumah tangga Savana dan suami nantinya. Tetapi aku berpikir tidak masalah karena setelah hujan reda, aku bisa mengambilnya kembali.

"Ah, terima kasih banyak."

Aku memalingkan wajah saat Savana mengurai sebuah senyuman. Tidak ingin jatuh dalam pesonanya lagi. Bisa-bisa aku tidak tahan untuk mengungkapkan isi hatiku. Tentu saja hal yang seperti itu tidak boleh. Hubungan pertemanan kami akan rusak nantinya.

Lama kami menunggu, hujan masih saja deras. Aku memperhatikan Savana yang selalu bergerak seolah tidak nyaman. Sepertinya keberatan lantaran terlalu lama menggendong Sunny.

"Kau ingin bergantian menggendong Sunny denganku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status