Share

Bab 6: Ketahuan Menyukai

Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.

[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]

Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?

Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.

Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.

[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di sini.]

Aku bisa bernapas lega setelah membaca pesan terakhir. Tidak seperti apa yang dibayangkan, ternyata Jacob adalah suami yang pengertian. Tidak memarahi Savana karena mengenakan jaket pria lain.

Aku telah salah menilai pria yang mulanya aku anggap sebagai kerabat dan berubah menjadi saingan. Savana telah bertemu pria sejati yang akan membahagiakannya. Aku ternyata datang terlambat.

***

Aku duduk sambil menopang dagu di meja pelanggan seorang diri. Pikiranku masih tidak jauh-jauh dari Savana. Melihat jadwal kedatangan biasanya, Savana tidak akan datang hari ini.

Tidak tahu aktivitas yang sedang Savana lakukan sekarang, tetapi aku berpikiran buruk mengenai hal itu. Pasti Savana sedang menghabiskan waktu bersama keluarga kecil yang penuh kebahagiaan.

Wanita cantik dan pria rupawan memang pantas bersama. Sementara aku hanya butiran debu yang terbang tertiup angin.

"Kau tidak ingin bekerja?"

Rose berdiri di sampingku sambil melipatkan tangan di dada. Aku paling malas jika harus berhadapan dengan Rose. Selain perasaannya padaku, dia juga sangat usil. Aku tidak menyukai hal itu.

Aku bangkit tanpa melepaskan tangan dari meja. Kain lap diputar menyapu setiap sisi, mengilapkan meja sebelum digunakan nantinya. Kemudian aku berpindah ke meja lain untuk melakukan hal yang sama.

"Patah hati memang sangat menyakitkan." Rose yang berbicara seperti sedang meledekku.

Pada akhirnya mau tidak mau, aku harus mengangkat suara, "Kau membuat suasana hatiku semakin buruk."

"Wah, tadi kau baru saja mengakui kalau kau menyukai pelanggan tetap kita."

"Aku memang menyukainya," ucapku lantang. "Dan sebaiknya kau membersihkan meja ketimbang mengurus urusan orang lain." Aku memberikan kain lap yang aku gunakan ke tangan Rose, lalu berlalu menuju meja bar.

Tidak disangka jika Rose akan tetap mengikutiku, "Aku benar, bukan? Kau selalu menatap wanita itu dengan mata yang berbinar-binar. Aku sudah memperhatikannya sejak lama. Tadi malam kau juga memberikan jaketmu padanya dan pulang kehujanan. Kasihan sekali harus menjaga pasangan orang lain di saat kau sendiri sebenarnya menyukai orang itu," ledeknya tertawa lebar.

"Aku memang menyukai Savana dan hal itu tidak ada hubungannya denganmu!" hardikku begitu marah karena Rose selalu saja mengganggu.

Suara gemerincing membuat kami harus menyudahi pembicaraan. Kami berpaling untuk menyambut pelanggan, akan tetapi hal tidak terduga terjadi.

"Savana," ucapku tidak tahu bagaimana untuk bersikap.

Sudah berapa lama Savana berada di sana? Melihat ekspresi terkejut itu sepertinya Savana telah mendengar semua.

"Aku ... datang untuk mengembalikan jaketmu."

***

Aku tidak berani menatap langsung ke arah Savana. Sejak tadi hanya menundukkan kepala dan berharap kalau hal buruk tidak terjadi. Aku sangat khawatir mengenai apa yang dipikirkan Savana. Tidak sanggup pula untuk sekadar menebak-nebak. Kenyataan akan begitu pahit untuk didengar.

Percakapan kami dimulai dari Savana yang menyodorkan kantong kertas. Aku mengambilnya, lalu mengintip isi di dalam kantong. Jaket berwarna coklat tua yang aku berikan pada Savana tadi malam.

"Terima kasih sudah meminjamkannya padaku." Savana tersenyum. Aku bisa melihat kalau dia menunduk setelah itu.

Aku ingin menjelaskan kejadian tadi, tetapi sepertinya lebih baik tidak perlu disinggung. Suasana hati Savana hanya akan terganggu nanti. Sekarang saja sudah terlihat buruk.

"Hunter, maafkan aku. Kau menungguku sampai harus pulang kehujanan. Padahal kau juga kedinginan, tapi aku yang memakai jaketmu."

Apa itu yang menjadi beban pikiran bagi Savana? Bukan mengenai bagaimana perasaan yang aku miliki?

Aku berusaha bersikap tenang, lalu berkata, "Menunggumu atau tidak, kemarin hujan sangatlah lebat. Aku tetap akan pulang dalam keadaan basah. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."

Savana terlihat berkurang bebannya. Dia tersenyum ringan padaku sebelum berkata, "Pria yang kau lihat kemarin namanya Jacob, ayahnya Sunny."

Aku sudah menduga hal itu, "Kau pasti mencintainya."

"Ya ... dulu."

Aku yang tadinya mengepalkan tangan akibat menahan rasa sakit di hati seketika terdiam. Apa maksudnya dengan 'dulu'? Maksudnya sekarang Savana tidak mencintai Jacob lagi?

"Apa maksudmu?" tanyaku mulai tidak sabaran.

"Aku mencintainya dulu sebelum kami memutuskan untuk berpisah."

Aku menghela napas panjang dan menundukkan kepala. Mendengar kalau rumah tangga Savana hancur membuatku sedih. Namun, di sisi lain aku sangat gembira mengetahui ada kesempatan untukku.

"Maafkan aku harus membuatmu mengatakannya."

"Tidak apa-apa. Aku sudah tidak berada dalam fase menyedihkan itu lagi," ucap Savana ringan seolah benar-benar sudah lepas kesedihannya.

Aku juga tersenyum untuknya. Cukup lama kami berada dalam situasi yang hening. Tatapan mata bertemu beberapa kali, tetapi tidak ada yang mau bicara. Tidak tahu harus berkata apa. Entah mengapa kami menjadi semakin canggung tanpa alasan yang jelas.

"Espresso-mu akan segera dingin," ucapku mencoba untuk mencairkan suasana.

Savana tidak menolak untuk menyentuh gelas minuman. Dia mengambil beberapa teguk sebelum meletakkannya kembali. Melirikku sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi aku juga melihat keraguan di sana.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Semua berjalan lancar," ucapnya singkat.

Kami seperti pertama kali bertemu. Suasana sangat canggung sekali dengan sikap ragu-ragu Savana. Biasanya yang paling banyak berbicara dan bertanya adalah Savana, tetapi aku tidak melihat itu sekarang.

Savana meneguk minumannya kembali dan meninggalkan gelas kosong di atas meja. Aku segera bangkit dengan maksud mengisi gelas itu, akan tetapi Savana menolak dan berkata kalau tidak haus.

Aku yang melihat pemandangan sebaliknya hanya bisa menurut. Mungkin Savana sedang mengumpulkan keberanian untuk menanyakan suatu hal padaku. Oleh karena itu, dia menandaskan minuman dengan cepat untuk meredakan keraguan.

"Savana," ucapku kemudian membuat tatapan kami bertemu. "kau bisa menanyakan apa pun padaku tanpa ragu."

"Ah, apa aku membuatmu terlalu lama menunggu? Aku hanya takut jika apa yang aku dengar tidak benar."

Arah pembicaraan ini kemungkinan besar adalah Savana mendengar pembicaraanku dengan Rose. Mungkin keraguan itu tercipta dari pernyataan perasaanku secara tidak langsung. Savana pasti serba salah saat ini.

Aku tidak bisa menghindar lagi karena semuanya sudah terungkap. Lagi pula bukankah Savana dan Jacob sudah berpisah? Ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan Savana.

"Savana ...." Aku menatap matanya dalam-dalam. "Aku menyukaimu. Sejak pertama kali kita bertemu," ucapku sungguh-sungguh.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Widya Alice
Lanjut thor... Smangat
goodnovel comment avatar
intan
ada lampu hijau kah😃
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status