Share

03. Grumpy Girl

***

Tok! Tok! Pintu kamar Isa diketuk pelan.

"Isa?" Tesh memanggilnya dari balik pintu.

"Madre."

"Kau sudah bangun?"

Isa mengangguk. "Ya."

Mata Isa tertuju pada perempuan pertengahan empat puluhan yang dia panggil Madre. Ibu. Panggilan hormatnya untuk Teresa Rivera. Pemimpin kartel narkoba terbesar di sepanjang pantai Amerika bagian selatan.

Tesh bergerak mendekati Isa yang berusaha duduk dan mengerjapkan matanya.

Untuk memberi efek drama, Isa memainkan peran tuan putri yang kelelahan untuk menarik simpati tantenya. Teresa meraih Isa dalam dekapan dan mencium puncak kepala keponakan tunggalnya dengan sayang.

"Aku tidak akan mengulang percakapan kita di telepon." Tesh sudah membuka kalimat pertama di antara mereka.

"Tapi, aku ..." Isa sudah ingin membantah. Teresa menggelengkan kepala.

Habis sudah dirinya tidak bisa menawar dan memainkan kartu manjanya, batin Isa.

"Tidak, Isa. Dengarkan aku. Situasi yang kita alami cukup gawat. Ini jarang terjadi, tapi aku sampai harus menyewa pihak lain untuk melindungimu. Ini aku lakukan untuk meminimalisir kemungkinan mata-mata yang mungkin saja sudah menyamar di kelompok kita."

Isa memperhatikan penjelasan Tesh dengan penuh perhatian.

"Lagipula, kau adalah alasanku untuk tetap hidup, Isa sayang. Tolong pahami, keputusanku. Aku melakukannya untuk melindungi satu-satunya orang paling penting dalam hidupku." Tesh yang memainkan kartu ibu padanya.

Sialan tantenya memang piawai memainkan perasaan!

"Bukankah kau biasanya sudah menyiapkan pasukan pengawal dan aku bebas melakukan apa saja yang aku mau? Lalu, apa yang berbeda kali ini? Kenapa harus ada pengawal lain untuk mengurusi hidupku?" Isa bertanya kembali pada Tesh.

Teresa memang selalu menyiapkan dua tiga pengawal yang mengikutinya kemana pun.

Mereka akan mengawasinya dari jauh dan tidak menampakkan diri. Bekerja seperti bayangan dan mengawasinya dua puluh empat jam.

Lalu, mengapa Tesh masih harus merekrut Marco dan anak buahnya? Kedua alis Isa berkerut meminta jawaban Tesh atas pertanyaan telepatinya.

"Salah satu pengawal yang biasanya bertugas untukmu, ditemukan meninggal. Ketiganya terlibat baku hantam. Serangan itu terjadi dua malam sebelum rencana keberangkatan liburanmu ke San Lucas."

Arghh, satu keping misteri terpecahkan!

"Lalu, saat itu pula, kau mengirim Marco si Manusia Gua untuk memaksaku pulang." Isa menggunakan intonasi bicara yang agak tegas meski ia tahu Tesh paling tidak suka disudutkan.

"Jaga bicaramu padaku, gadis manis!"

"Maaf, Tesh. Aku masih marah."

"Apa yang dilakukan Marco kemarin?"

"Jett dan dua anak buah lain masih bersikap sopan. Sedangkan, lelaki itu? Kau tahu apa yang dilakukannya?" Isa bergidik sebal.

Tesh menggeleng dan memberinya kesempatan untuk mengeluarkan kekesalannya.

"Lelaki bernama Marco itu, ia memang berbicara baik-baik awalnya. Ketika aku bersikeras menolak ikut dengannya, ia lalu menggendongku di pundaknya seperti karung beras. Marco membuat drama yang aku rasa tidak perlu di bandara! Aku malu, Tesh!"

Kalimat terakhir seolah menjadi curahan hati terdalam Isa.

***

Isa paham sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa dari seorang Teresa Rivera. Hidupnya memang selalu diujung bahaya. Ia menyadari hal itu sejak kecil. Sejak orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil, Teresa mengambil alih hak asuh dan merawatnya seperti orangtua tunggal. Melihat Tesh yang masih betah melajang membuat Isa bertanya-tanya alasan hidup selibatnya apa karena dirinya.

Ayah Isa merupakan kakak satu-satunya Teresa. Sebelum meninggal, ayahnya adalah penerus tahta kartel Rivera. Warisan yang diturunkan dari kakeknya. Setelah meninggal, Teresa yang kemudian maju untuk menggantikan posisi ayahnya.

Usianya belum genap sepuluh tahun ketika kehilangan kedua orangtuanya. Sejak itu, Isa menggunakan nama belakang ibunya. Isa Reyes.

Isa dilarang menggunakan nama belakang Rivera untuk melindungi dirinya dari musuh-musuh ayah dan kakeknya, serta musuh Teresa. Saat ini tentu semakin banyak pihak yang memburunya. Semua kelompok atau keluarga yang memiliki dendam terhadap keluarganya, akan langsung menghabisinya begitu mereka memiliki kesempatan.

Isa tidak menginginkan semua ini. Kebebasan dan ketenangan dalam hidup. Itu adalah keinginannya. Sepanjang, nama belakangnya masih RIVERA, maka kedua poin tentang hidup diatas akan sulit dipenuhi.

***

"Oke, Tesh. Aku tidak akan banyak bertanya tentang urusanmu. Silahkan lakukan yang menurutmu perlu dilakukan! Tapi, tolong pecat Marco! Aku tidak mau melihat tampangnya lagi! Rekrut pengawal baru, aku tidak peduli asal bukan Marco."

Karena rasanya aku tidak akan tahan berlama-lama di dekatnya. Kalimat terakhir ini hanya menggantung dalam kepala Isa. Tentu saja ia tidak akan mengakui ketampanan Marco didepan Tesh.

Hei, bukankah sebagai Tuan Putri dan satu-satunya pewaris tahta dia bebas berbuat sesukanya termasuk memecat pengawal sialan itu, begitu batinnya.

"Satu lagi. Aku mau pulang ke Houston. Aku tidak mau tinggal disini sendiri. Ada apartemen dan setumpuk pekerjaan yang menungguku." Isa mengajukan permintaannya dengan sedikit merajuk.

Isa melanjutkan ucapannya, "Lagipula, rumah ini terlalu besar dan selalu membuatku sedih. Setiap sudutnya mengingatkanku pada ayah dan ibu. Lagipula kau kan tidak tinggal bersamaku disini. Untuk apa aku dipingit disini sendirian dan ditemani sekumpulan pengawal, please?"

Teresa belum merespon semua permintaannya. Pilihannya ada dua, antara semua dikabulkan atau justru ditolak mentah-mentah. Sulit membaca isi kepala Tesh.

"Baiklah, Isa. Ini yang akan aku tawarkan. Pertama, soal apartment kau boleh pindah kembali ke apartemen milikmu minimal bulan depan. Kita tunggu situasi stabil dan aman." Tesh menggeleng ketika Isa sudah akan membuka mulut untuk protes.

Tesh merapikan rambutnya yang masih acak-acakan lalu melanjutkan, "Kedua, soal Marco. Permintaan ini tidak bisa ditawar. Justru karena aku yang memintanya langsung untuk melindungimu. Hanya dia yang kupercaya, selain Pino dan Alvarez, orang kepercayaanku. Tidak ada orang lain yang aku andalkan untuk melindungi keselamatanmu, sayangku."

"T-tapi, ... " Isa setengah berteriak. Tesh meresponnya dengan mengangkat telunjuk yang diiringi gelengan kepala. Isa tahu respon final Tesh tidak mungkin dibantah atau disanggah.

"Aku bisa jaga diri. Lagipula, sejak kapan aku membutuhkan pengawalan seketat ini sampai harus mengungsi segala?" tegas Isa. Ia mencoba cara lain agar Tesh setidaknya mengganti si Marco Sialan. Isa sudah kepalang muak bahkan wajah tampan lelaki itu tidak meringankan kekesalannya.

Isa menguasai beberapa teknik beladiri, termasuk mengangkat senjata api. Jadi, ia tidak melihat signifikansi Marco dalam kesehariannya nanti.

Teresa tetap menggeleng. "Tentu aku tahu kemampuanmu, Isa. Aku sendiri yang turun tangan mengajarimu. Perlu kau ketahui, musuhku kali ini tidak bisa ditebak dan sangat licin. Hingga aku harus meminta bantuan orang lain, termasuk Marco. Sebetulnya aku tidak ingin mengakui ini, tapi Marco adalah yang terbaik dari semua pilihan."

Isa tidak berminat mengajukan sanggahan kembali.

"Keputusanku sudah bulat. Marco sendiri yang akan langsung mengurus keamanan. Marco akan mengikuti kemana kau pergi. Tentu setelah melakukan koordinasi denganku lebih dulu."

Sebetulnya Isa ingin sekali berteriak dan menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka, tapi yang dilakukannya hanya diam.

Percuma melawan tantenya saat ini. Ia akan menunggu beberapa waktu untuk bernegosiasi kembali di lain hari.

"Aku paham kau ingin meledak. Tapi, bayangkan posisiku juga, Isa. Aku tidak akan sanggup kehilanganmu. Kalau perlu akan kusediakan seratus pengawal untuk melindungimu. Kau sangat berharga bagiku, Isa." Teresa kembali membujuknya.

Isa mengalah dan memeluknya kembali. Isa juga tidak punya siapa-siapa selain tantenya sendiri.

Saat Isa sedang menyiapkan argumennya yang terakhir, pintu kamarnya diketuk dua kali.

"Ya." Teresa menjawab ketukan pintu.

Pintu kamar Isa dibuka dari luar dan Marco mendongakkan kepalanya. Matanya menyapu ruangan dan tertuju langsung pada wanita di sampingnya.

"Teresa, sudah waktunya. Kami sudah siap di ruangan. Menunggumu."

Teresa mengangguk pada Marco.

Marco lalu memandang matanya. Keduanya saling mengirimkan kilat mata. Rasa-rasanya Isa ingin melempar sesuatu yang tajam tepat di kepala Marco.

Sayang sekali, Marco sudah menutup pintu tepat sebelum Isa mengenggam pegangan lampu tidur.

"Ingat ya, jaga dirimu. Setelah pertemuan ini, aku akan langsung berangkat ke Houston. Mungkin dua tiga hari aku akan mengunjungimu kembali kesini. Jangan pulang ke Houston tanpa izinku. Aku sayang kau, Isa."

"Aku juga, Tesh." Isa memeluknya erat.

Isa sudah melepaskan pelukan dan Teresa mencium keningnya.

"Pesanku, jangan galak begitu! Berusahalah bekerja sama dengan Marco! Ini tidak akan berlangsung lama."

Teresa bangkit dan menuju pintu untuk membukanya. "Jaga dirimu, Sayang!"

Ia lalu menutup pintu. Suara heels miliknya bergema di lorong lantai kamarnya.

"Arghhh! Bangs*t!" Isa berteriak di balik bantal yang menutup setengah wajahnya.***

 

Add this book to your library! Love and Vote!

IG: Tabicarra10

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status