Di dalam Istana...
Seisi Aula Utama terdiam dalam kesenyapan yang mengerikan tatkala si utusan selesai membacakan petisinya. Mereka semua pun ganti memandangi Kaisar Liang Wang Di, yang kini menatap utusan tersebut dengan sorot mata tajam menusuk.
"Jadi intinya, bangsa Khanate ingin memerdekakan diri?" Sang Kaisar bertanya perlahan.
Si utusan menelan ludah. "Anu... Yang Mulia... mereka sudah memerdekakan diri..."
Sunyi. Kemudian Kaisar Liang memukul meja di sebelahnya keras-keras. Kemarahan membuat wajahnya memerah. Ia segera bangkit berdiri.
"Benar-benar keparat! Segera kirim pasukan ke Khanate dan seret para pemberontak itu ke sini!"
Seorang menteri veteran keluar dari barisan para pejabat. "Baginda, mohon Anda pertimbangkan masak-masak perintah Anda tersebut. Kita telah mengirim puluhan, bahkan mungkin ratusan ribu pasukan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah lepas dari kita, tetapi apakah mereka berhasil? Malah hanya semakin banyak menambah korban saja. Pula, masih banyak masalah dalam negeri yang belum teratasi. Pemberontakan Cheng Xi Bo saja masih belum dapat diredam. Bagaimanapun, lepasnya Khanate ini memang telah kita prediksikan dari dulu. Karenanya, alangkah baiknya bila Yang Mulia tetap memusatkan perhatian pada masalah dalam negeri terlebih dahulu. Setelah kita kuat, barulah kita memfokuskan diri pada masalah luar negeri."
Kaisar Liang mendelik ke arah sang menteri. Di pihak lain menteri veteran lain juga ikut membuka suara, "Saya setuju dengan Menteri Zhang. Mohon Yang Mulia terlebih dahulu memfokuskan perhatian pada masalah Cheng Xi Bo."
Dua orang menteri sudah memberikan pendapat mereka, menteri-menteri yang lain pun lantas dengan lantang berujar, "Mohon Yang Mulia terlebih dahulu mengurusi masalah Cheng Xi Bo!"
Kaisar yang sudah berusia setengah abad itupun hanya bisa kembali terduduk sembari menarik nafas panjang penuh kekalahan. "Kau boleh pergi!" ia mengusir si utusan.
Sebuah seruan melengking mendadak bergema, semakin lama semakin keras. "Ayahanda Kaisar!"
Para pejabat mengeluh dalam hati. Tanpa perlu melihat pun mereka sudah tahu siapa yang barusan berseru tadi. Yang tak lain merupakan putri bungsu sang kaisar, Putri Xiu Lan yang baru berusia tiga belas tahun. Mereka semua merutukkan kalimat yang sama, Bagaimana mungkin sang kaisar membiarkan puterinya bertindak tidak tahu aturan dengan mengganggu sidang sepenting ini berulang-ulang kali...
Betapapun, tidak ada seorangpun yang berani berkomentar ketika Puteri Xiu Lan menghambur ke ayahnya yang segera memeluknya, "Ya... ya... Ada apa puteriku... sampai-sampai kau mengganggu Ayahku bekerta sekarang?"
Tidak ada nada marah dalam suara sang kaisar, Putri Xiu Lan pun tak sungkan-sungkan mengungkapkan seruannya, "Ayahanda... Saya tak mau menghadiri Pesta Bangsawan nanti malam!"
"Putri... Anda jangan mengganggu Baginda... Beliau sedang sibuk sekarang..." Para dayang sang putri muncul menyusulnya, nafas mereka semua terengah-engah.
Putri Xiu Lan berkacak pinggang. "Pokoknya aku tak mau datang ke pesta! Kak Ying Lan dan Kak Feng Lan punya baju pesta baru, hanya aku sendiri yang tidak punya!"
Kaisar menggeleng-gelengkan kepalanya dengan resah. Ia baru akan menegur putrinya, namun saat sang putri balas menatapnya memelas, ia lantas mengurungkan niatnya. "Baiklah," ujarnya kembut. "Ayah akan memberikanmu gaun yang terindah. Sekarang, kembalilah ke kamarmu, ya."
Dari kejauhan, Tuan Li mengamati jalan seluruh perkara yang barusan terjadi, berpikir geram, Kaisar yang amat mengerikan. Dia begitu menyayangi putri bungsunya sampai-sampai membiarkan putrinya itu datang mengacaukan ritual sidang negara. Jangankan untuk mengembalikan kejayaan Han masa lampau, dia mampu mempertahankan diri agar jangan sampai dikudeta pun sudah merupakan keberhasilan yang bagus. Harus ada yang mengkudeta dan menggulingkannya... Pangeran Yu Shi harus berhasil menggulingkan dan menggantikannya.
Namun ia tahu, dibutuhkan waktu lama sampai murid bimbingannya Yu Shi mampu mencapai tahap itu.
Bagaimanapun juga, Tuan Li bertekad untuk membuat Yu Shi mencapai keberhasilan secepat mungkin. Ia menyusun jadwal sangat ketat di mana Yu Shi boleh dibilang nyaris tidak memiliki waktu istirahat kecuali saat makan, mandi dan tidur - tidur pun hanya kurang lebih lima jam sehari. Tuan Li menginginkan Yu Shi mempelajari sebanyak mungkin pengetahuan, mulai dari ilmu politik dan ketatanegaraan, manajemen dan administrasi pemerintahan, strategi perang, bahkan juga mencakup seni, kesusasteraan serta budaya. Yu Shi sendiri tidak mengeluh. Ia telah terbiasa hidup dalam kesengsaraan perbudakan, jadi jadwal ketat ini bukan apa-apa baginya. Bahkan Yu Shi meminta Tuan Li mengajarinya ilmu beladiri. "Saya ingin menjadi sempurna, Guru. Karena saya berasal dari kasta rendah, dan orang tidak akan memandang kasta rendah kecuali mereka memiliki sesuatu yang lebih dan bernilai." Tuan Li memandang paras Yu Shi yang pucat dan tubuhnya yang ku
"Waktunya telah tiba." Tuan Li menyerahkan secarik kertas besar pada Yu Shi yang langsung membacanya. "Ujian seleksi pemilihan pejabat negara..." Ia mendongak, kembali memandang Tuan Li dengan bola mata melebar. "Pada minggu ini, Guru?" "Kenapa? Kau tak siap?" "Tidak! Tentu saja saya siap!..." Yu Shi buru-buru menukas. "Saya hanya merasa sedikit gugup..." "Oh, baguslah kalau hanya begitu. Aku nyaris khawatir kau tidak siap." Tuan Li tersenyum lebar. Sambil menepuk pundak muridnya, ia kembali meneruskan, "Kita telah berlatih sangat keras, Nak, dan kau telah memperlihatkan kemampuanmu yang sangat baik itu. Kau pasti akan lulus, Nak. Lebih dari itu, kau pasti akan menjadi zhuangyuan." Nampak jelas Tuan Li sangat yakin dengan kata-katanya, Yu Shi pun ikut tersenyum lebar. "Terima kasih, Guru. Murid tidak akan mengecewakan Guru." Keesokan harinya, Yu
Tuan Li kurang lebih telah dapat menebak hasil seperti apa yang didapatkan Yu Shi, karena mimik depresi yang ditampakkan pemuda itu sangat jelas. "Kau tidak berhasil?" "Lebih parah lagi, Guru. Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun." Selanjutnya Yu Shi menceritakan apa persisnya yang telah dialaminya. Tuan Li segera bangkit berdiri, berseru marah. "Mereka jelas telah melanggar ketentuan! Bahkan negara dengan pemerintahan terbodoh sekalipun tidak akan mengeluarkan jenis soal seperti itu!" "Percuma saja Guru. Rasa-rasanya memang seperti itulah jenis soal yang mereka ujikan setiap tahunnya," Yu Shi menggumam letih. "Kalau begini caranya, kita harus menempuh cara lain..." Tuan Li menarik nafas, kemudian menepuk bahu Yu Shi. "Ya, pasti ada cara lain."*** Dua tahun kembali berlalu, namun Yu Shi masih belum mendapatkan jalan masuk ke istana. Tuan Li telah mencoba
"Berangkat!" Yu Shi duduk di atas kuda putihnya, menyerukan aba-aba pada pasukannya yang langsung berderap maju. Saat itu masih pagi buta dan para prajurit belum terjaga sepenuhnya, bagaimanapun instruksi yang datang dari atas mengharuskan mereka bergerak di saat musuh masih terlelap. Yu Shi mengamati pasukannya tidak dengan sepenuh hati mengikuti aba-abanya. Mereka berjalan dengan langkah berat dan gontai. Yu Shi mendesah. Timnya terdiri dari pasukan yang seluruhnya berasal dari kaum awam dan tidak memiliki pengalaman perang sama sekali, tentu saja mereka tidak bisa diharapkan memiliki mental selayaknya seorang prajurit. Memang Panglima Liu selaku panglima tertinggi dapat memaklumi keadaan mereka sehingga mengizinkan mereka berada di barisan belakang, tetapi bagaimanapun ini adalah perang. Segalanya menjadi tidak pasti. Bisa saja mereka tahu-tahu diinstruksikan maju ke barisan paling depan. Betapapun, Yu Shi masih bisa sed
Jenderal salah besar. Dia sendiri tidak pernah mengamati langsung para prajuritnya, karena itu dia tidak tahu seberapa besar rasa takut para prajurit terhadap An Dao Dui, dan strateginya yang memutar jalan berbelit-belit itu tidak melenyapkan ketakutan mereka, yang ada hanya memperpanjang perang dan semakin lama mengekang mereka dalam rasa takut. Kalau saja ada cara yang lebih baik... Secara kebetulan ia melihat salah seorang prajurit yang merupakan anak buahnya melintas. Yu Shi bergegas menghentikan si anak buah. "Kau tahu, seperti apa persisnya An Dao Dui?" "Maafkan saya, Tuan. Saya sendiri juga kurang mengerti karena belum pernah melihat mereka secara langsung. Hanya menurut kabar burung saja, kalau mereka..." "Ada di antara kalian yang pernah melihat An Dao Dui dengan mata kepala sendiri?" Si prajurit berpikir sejenak. "Katanya A Lan pernah bertatap muka langsung dengan mereka." "
"Akhirnya kau sendiripun ikut ketakutan terhadap An Dao Dui?" tanya Cao Xun. Yu Shi menggeleng. Cao Xun kebingungan. "Tapi kau sendiri yang memerintahkan kami semua untuk mundur?..." "Percuma saja melawan mereka. Mental pasukan kita sudah kalah sebelum bertempur. Pula musuh sangat pintar menciptakan efek dramatis dengan muncul dari daerah berkabut tebal serta memakai pakaian dan cadar serba hitam." Yu Shi meletakkan siku tangannya ke atas kakinya yang duduk bersila. "Dan aku juga tidak takut terhadap Song Qiu. Hanya saja kata-katanya barusan memberikanku letikan ide." Cao Xun langsung tertarik. "Ide?" "Ya," Yu Shi lantas bangkit berdiri. "Aku ingin pergi ke suatu tempat. Sementara itu, tolong bantu aku mengawasi prajurit dan keadaan. Bila terjadi sesuatu, segera kirimkan si Perak kepadaku." Si Perak adalah burung merpati peliharaan Yu Shi. "Tapi kau mau pergi ke ma
Enam jam telah berlalu. Matahari pagi telah merekah menyinari ufuk timur, tapi si orang bercadar masih belum kembali juga. Yu Shi mendesah panjang. Bukan hanya tidak mendapatkan pawang, sekarang ia juga kehilangan kuda putih kesayangannya. Berkali-kali ia merutuki kebodohannya karena terlalu mudah mempercayai seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Bagaimana kalau orang itu benar mata-mata? Bagaimana kalau ini semua ternyata adalah permainan Cheng Xi Bo untuk menjebaknya? Ia merosot jatuh, bersimpuh pasrah di atas tikar kemahnya, lantas menggelengkan kepala kuat-kuat. Gagallah sudah rencana terakhirnya, akhirnya ia hanya bisa membiarkan nyawanya berakhir di sini. sekarang. Dan setelah di akhirat nanti, ia masih harus menghadap arwah keluarga dan leluhurnya yang pastinya meminta pertanggung jawabannya, mengapa ia gagal mewujudkan misi suci ini. Seorang prajurit menerobos masuk ke dalam kemah dengan terburu-buru, "Tuan! Pasuk
Dengan berhasil dikalahkannya An Dao Dui, maka kekuatan Cheng Xi Bo secara drastis berkurang jauh. Hanya dibutuhkan beberapa hari untuk menumpas habis pemberontakan itu. Cheng Xi Bo sendiri terlalu malu untuk mengakui kekalahannya bunuh diri dengan menebas lehernya sendiri, dan mayatnya ditemukan tak jauh di tepi sungai Jiang Chang. Panglima Liu menepuk pundak Yu Shi dengan bangga. "Kaulah penentu kemenangan ini, Li Run Fang! Bila kau tidak mendapatkan ide tersebut, malah mungkin kita yang akan dibunuh oleh Cheng Xi Bo!" Yu Shi menundukkan kepalanya, menjawab dengan nada penuh kerendah hatian. "Jenderal terlalu memuji Ide itu pula bisa saya laksanakan berkat bantuan seseorang" Namun ia tak berhasil menemukan penolong misteriusnya. Para pawang menolak untuk memberitahukan identitas si cadar, dan kudanya tiba-tiba saja telah terikat di samping kemahnya. "Kita akan sege