"Guru! Ini bukan soal dendam pribadi! Mereka adalah tawanan negara!" Rong Xun memotong.
"Aku tidak sedang bicara padamu!" Rong Xun tergugu. "Tetapi kepadamu, Yu Shi. Walaupun kau kaisar, namun kau tetaplah muridku. Karenanya aku harus membimbingmu."
Yu Shi hanya diam membisu.
"Kakekmu adalah seorang yang terus menyimpan amarah masa lalu dan penderitaan yang tak bisa ia ungkapkan. Karenanyalah, ia bertindak sadis dan semena-mena terhadap orang lain. Karena ia tidak bisa memaafkan dunia dan masa lalunya. Tapi, walaupun ia telah meraih banyak kesuksesan, apakah ia bahagia? Tidak, ia selalu menderita. Makanya ia sangat menyesali mengapa tak daridulu ia membuang semua dendam dan amarahnya, dan saat ia ingin melakukannya, kematian telah menunggunya. Yu Shi, tahukah kau? Kau yang sekarang sama dengan kakekmu! Kau dikuasai amarah dan dendam! Padahal kakekmu mengharapkan keturunannya menjadi
Yu Shi menoleh ke arah Rong Xun. Sahabatnya mengangguk kecil. Walaupun tidak terucapkan kata-kata, namun pandangannya telah mengucapkan ribuan kata yang tak terungkap dengan teramat jelas. Yu Shi menengadahkan wajahnya, menegakkan tubuhnya, dan keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan tepat menuju Tuan Li dan Feng Lan yang tak ayal sangat terkejut melihat kedatangannya. Feng Lan sampai terbelalak lebar. Sementara Tuan Li berdehem, dan pelan-pelan meninggalkan tempat mereka tanpa suara. Keadaan menjadi sangat hening. Mereka berdua hanya saling berhadapan tanpa berucap sepatah katapun. Sinar bulan berkedip, cahayanya menjadi lebih terang semenjak awan bergeser menjauhinya. Yu Shi mendehem. "Putri Feng Lan... aku telah mendengar seluruh percakapanmu dengan Guru Li..." Muncul semburat merah menghiasi pipi Feng Lan. "Ak
Pria tua itu menghela nafas penuh kekecewaan. "Kekaisaran Han akan jatuh…" Ia menggelengkan kepalanya, wajahnya menyiratkan kesedihan yang amat sangat. "Kakek, ada hal yang kau cemaskan?" Seorang remaja pria berusia pertengahan belasan tahun bertanya. Sang pria tua memandanginya. "Kau adalah cucu tunggalku, satu-satunya kini yang paling bisa kupercaya. Aku ingin memberimu suatu tugas. Bisakah kau melakukannya?" Remaja itu mengangguk cepat. "Tentu saja kakek!" "Pergilah ke Istana. Temui kaisar dan katakan pesanku padanya untuk berhati-hati. Tetaplah mawas diri dan sesulit apapun keadaan yang tengah ia jalani, ia tetap harus sabar dan jangan melarikan diri ke dalam kefanaan yang bukan hanya akan menjerumuskannya ke dalam kematian, namun juga seluruh keluarganya." "Saya menjalankan pesan kakek. Saya akan pergi sekarang juga." Tanpa membuang w
Han Yu Shi mengusap bulir-bulir peluh yang membasahi wajahnya. Sinar matahari siang ini lebih terik dari biasanya, atau mungkin hanya karena ia bekerja jauh lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Raja Tukhestan, Yerzhan, baru saja menikahkan puterinya. Sang Raja ingin membangun istana baru yang dipenuhi limpahan emas dan permata, dan karenanya para penambang harus mampu mengumpulkan bebatuan berharga tersebut dengan cepat pula dalam jumlah besar. Para penjaga membentak-bentak kasar dan akan memukulkan cambuk berduri jika mereka melihat pekerja berhenti bekerja bahkan hanya untuk sebentar saja. Yu Shi sudah dua tiga kali terkena cambukan mereka. Pemuda itu memandangi telapak tangannya yang kini terbalut keringat bercampur darah. Kepalanya sakit, serta pening luar biasa, pening yang ditimbulkan dari rasa haus yang amat sangat. Ia bergegas menghampiri sumur pengambilan air. Ia harus buru-buru, para penjaga tidak mengizinkan penambang beristirahat lama
Cuaca di keesokan harinya masih sama panasnya dengan kemarin. Yu Shi sama sekali tak menyukai hawa panas di Tukhestan yang derajat panasnya berkali-kali lipat dibanding hawa panas di An Chang, masih ditambah hembusan angin kering padang pasir. Memang kota barat seperti Yitmaiszk ini paling cocok menjadi tempat hukuman bagi orang-orang Han seperti dirinya dan Cao Xun. Namun di hari itu Raja Tukhestan Yerzhan, tiba-tiba saja muncul di penambangan disertai iring-iringannya yang megah. Hal ini cukup mengherankan Yu Shi, mengingat sang Raja biasanya hanya muncul saat musim yang sejuk dan menyegarkan, dan bukan di saat yang panas dan menyiksa seperti sekarang ini. Mandor Karkysbai datang terbungkuk-bungkuk ke hadapan sang Raja yang bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian lama sekali mengumpulkan permata yang diminta?" "Ampun Baginda, akhir-akhir ini para budak tidak mampu bekerja sesuai harapan," Ka
Kira-kira pukul sebelas malam, Yu Shi disertai Cao Xun mengendap-endap menuju tembok tempat Yu Shi melihat "sang bola mata" siang tadi. Sebetulnya ia tidak ingin membawa Cao Xun turut serta, bagaimanapun ini adalah urusannya. Bila mereka sampai tertangkap prajurit, maka Cao Xun akan dihukum karena kesalahan yang tidak diperbuatnya. "Tapi sekarang ini hanya kita berdualah yang merupakan orang Han. Kita senasib sepenanggungan satu sama lain. Kita harus saling membantu satu sama lain," ujar Cao Xun sungguh-sungguh. Melihat kesungguhan dan solidaritas Cao Xun yang begitu tulus, Yu Shi pun mengizinkannya menyertainya. Mereka harus berjalan dengan mengendap-endap seperti maling untuk bisa menghindari penjagaan prajurit, karenanya setelah lama kemudian mereka baru dapat tiba di tempat tujuan. Suasana saat itu sunyi senyap, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia sama sekali. Yu Shi melongok ke balik tembok. Tidak ada siapa-siapa.
Di dalam Istana... Seisi Aula Utama terdiam dalam kesenyapan yang mengerikan tatkala si utusan selesai membacakan petisinya. Mereka semua pun ganti memandangi Kaisar Liang Wang Di, yang kini menatap utusan tersebut dengan sorot mata tajam menusuk. "Jadi intinya, bangsa Khanate ingin memerdekakan diri?" Sang Kaisar bertanya perlahan. Si utusan menelan ludah. "Anu... Yang Mulia... mereka sudah memerdekakan diri..." Sunyi. Kemudian Kaisar Liang memukul meja di sebelahnya keras-keras. Kemarahan membuat wajahnya memerah. Ia segera bangkit berdiri. "Benar-benar keparat! Segera kirim pasukan ke Khanate dan seret para pemberontak itu ke sini!" Seorang menteri veteran keluar dari barisan para pejabat. "Baginda, mohon Anda pertimbangkan masak-masak perintah Anda tersebut. Kita telah mengirim puluhan, bahkan mungkin ratusan
Bagaimanapun juga, Tuan Li bertekad untuk membuat Yu Shi mencapai keberhasilan secepat mungkin. Ia menyusun jadwal sangat ketat di mana Yu Shi boleh dibilang nyaris tidak memiliki waktu istirahat kecuali saat makan, mandi dan tidur - tidur pun hanya kurang lebih lima jam sehari. Tuan Li menginginkan Yu Shi mempelajari sebanyak mungkin pengetahuan, mulai dari ilmu politik dan ketatanegaraan, manajemen dan administrasi pemerintahan, strategi perang, bahkan juga mencakup seni, kesusasteraan serta budaya. Yu Shi sendiri tidak mengeluh. Ia telah terbiasa hidup dalam kesengsaraan perbudakan, jadi jadwal ketat ini bukan apa-apa baginya. Bahkan Yu Shi meminta Tuan Li mengajarinya ilmu beladiri. "Saya ingin menjadi sempurna, Guru. Karena saya berasal dari kasta rendah, dan orang tidak akan memandang kasta rendah kecuali mereka memiliki sesuatu yang lebih dan bernilai." Tuan Li memandang paras Yu Shi yang pucat dan tubuhnya yang ku
"Waktunya telah tiba." Tuan Li menyerahkan secarik kertas besar pada Yu Shi yang langsung membacanya. "Ujian seleksi pemilihan pejabat negara..." Ia mendongak, kembali memandang Tuan Li dengan bola mata melebar. "Pada minggu ini, Guru?" "Kenapa? Kau tak siap?" "Tidak! Tentu saja saya siap!..." Yu Shi buru-buru menukas. "Saya hanya merasa sedikit gugup..." "Oh, baguslah kalau hanya begitu. Aku nyaris khawatir kau tidak siap." Tuan Li tersenyum lebar. Sambil menepuk pundak muridnya, ia kembali meneruskan, "Kita telah berlatih sangat keras, Nak, dan kau telah memperlihatkan kemampuanmu yang sangat baik itu. Kau pasti akan lulus, Nak. Lebih dari itu, kau pasti akan menjadi zhuangyuan." Nampak jelas Tuan Li sangat yakin dengan kata-katanya, Yu Shi pun ikut tersenyum lebar. "Terima kasih, Guru. Murid tidak akan mengecewakan Guru." Keesokan harinya, Yu