Langkah kaki terdengar angkuh dengan ketukan yang bernada. Tatapan dingin dari sorot mata tajam mampu membuat siapa pun yang melihatnya hanya bisa meneguk ludah dan memilih untuk menundukkan kepala hormat.
"Selamat pagi tuan, hari ini tuan ada jadwal rapat bisnis di kantor," ucap seorang pria berambut hitam pekat dengan jas hitam, di depannya yang tidak dilirik sama sekali oleh tuannya itu.
"Baik, katakan pada Nara untuk menjaga rumah lewat cctv dan katakan juga kepada Mark untuk mengurus cabang bar di Kanada dengan baik, sepertinya kita akan di sibukkan dengan banyak kerjaan beberapa hari bahkan minggu kedepan," titahnya sambil menyeruput teh yang masih panas tersebut.
Prince Leon Aldrich, siapa yang tidak mengenali namanya. Si tampan dengan wajah seperti kartun anime itu dengan sifat dinginya dan memiliki tatapan tajam seperti elang. Dia adalah pengusaha dan seorang mafia. Mafia ilegal yang suka menyeludup barang terlarang seperti narkoba dan senjata.
Leon menghela napasnya sambil memejamkan matanya saat berusaha mengistirahatkan tubuhnya ditempat duduk. Matanya terasa begitu lelah begitupun dengan badannya yang sakit, akibat tak bisa tidur tadi malam. Dia terus memandang macbooknya sepanjang malam, yang dia gunakan untuk mengatur pekerjaannya yang tak bisa dia jangkau.
"Maaf tuan, apa anda butuh sesuatu?" tanya Luke body guard yang paling dekat dengannya dan yang menyapanya tadi pagi.
Leon menggelengkan kepalanya, "Aku baik-baik saja."
Luke yang melirik dari kaca dapat melihat dengan jelas kalau bossnya tersebut tidak sedang baik-baik saja. Leon, bossnya selalu menutupi rasa lelahnya. Luke jelas tau kalau tadi malam Leon begadang mengatur Bar yang berada di Kadana dan di America.
Sampai di kantor Leon berjalan dengan gagah masuk, yang diikuti dengan 2 body guardnya Luke dan Ray. Banyak pegawai yang berhenti berjalan hanya untuk memberi salam kepada Leon, Leon yang dingin tersebut tidak melirik sedikit pun ke arah pegawainya. Dia terus berjalan menuju ruang rapat.
CEKLEK
"Silahkan masuk," Luke baru saja membukakan pintu untuk Leon.
"Selamat pagi pak," ucap seluruh orang yang berada di ruang rapat tersebut.
"Segera mulai rapatnya." Leon duduk di tengah sambil membuka buku yang berada di depanya.
Salah satu pria berjas Cream yang ingin bekerja sama dengan Leon berdiri di depan Leon dengan ragu. Leon menatap pria itu dengan tajam, "Apa yang kau tunggu, mulai."
Pria itu mengangguk, memulai rapat.
Hampir 1 jam lebih Leon rapat dengan klayennya. Sekarang dia telah duduk di ruangannya, sambil mengecek data-data yang menumpuk di meja. Leon yang merasa matanya mulai kabur mengambil kaca mata dan menekan remot kecil yang dapat menghubungkannya dengan Ray dan Luke yang berada di depan pintunya.
Titttt
"Tolong bawakan kopi dan cemilan untuk ku, setelah itu kalian pergilah makan siang," ucap Leon berbicara lewat remot kecil itu sambil menekannya.
Luke dan Ray yang berada di luar merasa terkejut dengan ucapan Leon yang tiba-tiba di saat mereka sedang melamun.
"Baik tuan, sebentar lagi kopi dan cemilan mu akan datang. Apakah kau tidak makan siang?" tanya Luke masuk kedalam kantor Leon.
"Tidak, aku tidak lapar. Kalian saja yang pergi makan," jawab Leon tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas yang menumpuk di mejanya.
"Kau selalu begitu Leon," ucap Luke dalam hati menatap Leon.
"Jangan khawatir Luke, aku sungguh tidak lapar. Jangan berbicara dalam hati, aku dapat mendengarnya," sahut Leon menatap tajam Luke sambil sedikit menarik senyum menyeringgai.
Luke menatap Leon mati kutu di tempat. Dia lupa jika Leon memiliki kekutaan, dia bisa mendengar isi hati seseorang. Luke senyum kearah Leon lalu membungkuk setelah itu keluar dari kantor. Luke dan Leon sangat dekat, mereka berteman sudah lama, bisa di bilang hanya Luke yang Leon punya di saat orang tuanya sibuk bekerja.
Malam pun tiba, Leon baru siap menyelesaikan semua pekerjaannya. Dia merasa sangat lapar, namun badannya menyuruhnya untuk segera berbaring. Leon mengambil tasnya lalu keluar dari ruangannya. Terlihat Luke dan Ray sedang bermain ludo, saat melihat Leon ponsel Ray hampir terlempar.
"Maaf tuan, apa tuan ingin pulang?" tanya Ray menunduk, karena Leon menatapnya tajam.
"Tidak aku ingin berenang."
"Malam begini tuan?"
"Tentu saja aku ingin pulang, kau bertanya lagi!" Leon berjalan lebih dulu meninggalkan Luke dan Ray di belakang.
"Lo sih... ngajak gue main Ludo," bisik Luke menyenggol Ray. Ray hanya menyengir kuda dan segera mengikuti Leon.
Sekarang mereka telah berada di mobil. Luke menyetir dengan kecepatan sedang, dia melirik kaca untuk melihat Leon yang berada di belakang, sedang memejamkan matanya.
"Jangan melirikku Luke, aku tau kau sedari tadi melirikku," ucap Leon dengan nada dingin.
"Maaf tuan, apakah tuan sudah makan?"
"Aku ingin makan kalguksu di rumah, bisakah kau membuatkannya untuk ku Luke, Ray?"
"Tentu saja," ucap mereka serentak.
Luke sedikit menaikkan gasnya, menuju rumah, namun tiba-tiba...
SRETTT!!!
Ada gadis tiba-tiba datang dari sebelah kiri, untungnya Luke cepat memijak rem. Leon langsung membuka matanya, menatap Luke dengan kesal. Namun saat melihat gadis yang berada di depannya itu terlihat berantakan, dan seperti sedang ketakutan Leon langsung segera turun dari mobilnya.
"Kau hampir saja menabrak gadis ini Luke!"
"Maaf tu--"
"T-tolong aku!! Kumohon tolong aku, aku tidak ingin di bawa oleh mereka... Aku akan melakukan semua hal untuk membalas budiku setelah kau menolongku... "
Suara gadis itu terdengar melemah di akhir kalimatnya. Dia memegang erat tangan Leon, seperti nyawanya tergatung oleh dirinya.
"Heh! Lep--"
"Bisa diam?"
Leon memerintahkan Luke dan Ray untuk diam. Keduannya langsung bungkap, menatap Leon.
Leon menggenggam tangan gadis itu, terasa begitu dingin dan telihat banyak luka goresan. Sejenak Leon merasa kasihan dengan gadis ini. Siapa yang melakukan ini semua kepada gadis mungil ini?
"ITU DIA, SI JALANG!!"
Leon mengeryitkan matanya mendengar suara yang mengganggu indra pendengarannya, dia sangat tidak suka dengan teriakan. Gadis yang memegang tangan Leon tersebut, mengeratkan pegangannya dan seketika badannya bergetar.
"M-Mereka datang... M-Mereka..."
Leon melihat raut wajah gadis itu sangat ketakutan. Leon merasa hatinya begitu sakit, dia pernah berada si saat seperti ini dulu. Dia mengingat kejadian di masa lalu membuat Leon menggenggap tangan gadis itu erat dan menyembunyikan gadis itu di belakang badannya.
"Luke, bunuh. Mereka sangat berisik."
Satu perintah keluar dari mulut Leon langsung di angguki oleh Luke. Dia berjalan ke arah dua orang yang berlari ke arahnya sambil mengeluarkan pistol dari balik jasnya.
DOR! DOR!
Dua tembakan berhasil membuat dua orang itu ambruk dan sepertinya nyawa mereka juga sudah di ambil oleh malaikat. Luke menelfon Nara untuk mengirimkan orang yang berada di rumahnya ke lokasi dirinya sekarang, untuk mengurus dua pria yang baru saja mati tersebut. Sedangkan Ray, Luke menyuruhnya untuk mengantarkan Leon pulang kerumah.
Gadis itu memejamkan matanya, lututnya melemas menandakan dia kehabisan tenaga. Leon yang belum masuk kedalam mobil tersebut, dengan sigap menggendong gadis itu masuk kedalam mobil.
****
"Sshh--"
Perlahan gadis itu membuka matanya, menatap sekeliling sambil menyesuaikan cahaya yang masuk. Dia mengendus mencium bau maskulin bercampur rokok dan alkohol masuk kedalam hidungnya.
Dia mengganti posisinya menjadi duduk di ujung ranjang, Mengumpulkan tenaga dan mengingat apa yang terjadi sebelum dia pingsan.
Apa yang terjadi?
Dimana ini?
Bagaimana dia bisa di kamar yang bagus seperti ini?
"Apa kau sudah bagun?
Gadis itu terlonjak, menatap ke arah suara berat yang berada di sebelah kirinya. Di kamar luas ini, seorang pria berdiri di depan sebuah meja bar, sambil menuangkan cairan yang dia yakini adalah alkohol. Rokoknya dimatikan dan diletakkan di asbak.
Leon menatap gadis yang sedang menatapnya juga. Gadis itu menatap Leon dari atas sampai bawah, Leon yang saat itu hanya memakai kaos putih tipis dan celana panjang yang dapat melihatkan bentuk badannya yang sangat bagus.
"Apa kau bos dari mereka? T-tolong jangan sakiti keluargaku, kau boleh menyakitiku sampai bercucuran darah pun tak apa, asalkan jangan sakiti keluargaku ku mohon. Keluargaku sudah tidak punya apapun sekarang."
"Aku bukan seperti mereka." Leon berjalan mendekat gadis itu, dan memberikan gadis itu air putih.
Gadis itu menyipitkan matanya, "Ahh... Kau yang menolongku bukan?"
Leon mengangguk, "Segera ambil air ini, tanganku pegal!"
Gadis itu mengambil air putih yang Leon berikan, Leon langsung duduk cukup jauh dari gadis tersebut.
"Terimakasih telah menolongku, aku harus pergi menemui keluargaku sekarang." gadis itu menyibakkan selimutnya dan berjalan ke arah pintu kamar.
"Kau tidak akan bisa pulang, rumahku di tengah hutan. Jika kau tidak percaya kau bisa melihat jendela itu disana." Leon menujuk jendela yang tak jauh dari gadis itu berdiri.
Gadis itu berjalan ke arah jendela dan melewati kaca yang besar, namun membuatnya aneh. Gadis itu tersadar kalau yang dia kenakan bukan pakaiannya.
"Hei! Kemana pakaian ku! Aku tidak pernah pakai celana sependek ini!"
"Aku membuangnya."
"K-kau mengganti pakainku?" tanya gadis itu menarik selimut untuk menutupi pahanya yang terekpost mulus.
Leon mengangguk, "Aku hanya mengobati luka-luka di tubuhmu dan..."
"Apa yang kau lakukan!"
"Tidak ada, aku tidak serendah itu. Jika aku mau, aku akan lakukan ketika kau sadar bukan di dalam keadaan tidak sadar."
Brengsek, itu kata yang tepat saat wanita itu melihat pria yang berada di depannya tersebut.
Leon menyesap minumannya, dia telihat menikmati minumannya padahal dia belum mengisi perutnya dengan makanan.
"Aku akan tetap pergi, terimakasih sekali lagi." gadis itu berjalan menuju pintu.
"Nararya Letha Prischilla, 20 tahun, lulusan internasional school. Sekarang kuliah di universitas terkenal, ibu dan ayahmu memiliki perusahaan yang terkenal dulu dan sekarang bangkrut, kakakmu yang pertama sudah meninggal 6 bulan yang lalu pas kejadian ayahmu bangkurut dan sekarang ayahmu kelilit banyak utang dan di kejar oleh mafia," ucap Leon dengan nada dingin.
"Kau anak jurusan kedokteran yang ingin menjadi dokter bedah. Kau memiliki adik yang masih sekolah namun sekarang harus berhenti karena tidak memiliki biaya. Kau juga tidak memiliki kekasih karena kau belum bisa move on dengan kekasih lama mu yang telah pindah negara. Dan satu hal lagi, kau pernah di bully di sekolah dasar hingga di lempar dengan kursi dan meja dan mendapatkan luka dalam di daerah bahu kanan, yang membuatmu tidak bisa membawa hal yang berat menggunakan tangan kanan. Sekarang kau di kejar para mafia untuk di jual atau di jadikan budak nafsu mereka."
Leon menyeruput minumannya setelah menceritakan riwayat hidup gadis yang berdiri mematung di dekat pintu.
"H-hahh? Bagaimana kau tau tentang ku dan keluargaku, apa mau mu?"
Perlahan Leon bangkit dari tempat duduknya dan meletakkan gelas yang berisi wine tersebut di atas meja. Dia berjalan mendekati gadis tersebut dan membungkukkan badannya, menumpukkan sebelah tangannya di sebelah kepala gadis itu lalu menyeringgai dan menjajarkan wajahnya dengan wajah ketakutan gadis itu.
"Perkenalkan, aku Prince Leon Aldrich, 25 tahun. Pria kaya raya dan baik hati yang akan mengurus semua utang keluargamu dan akan menjaga keluargamu, asalkan kau mau tinggal di rumah ini, untuk menemaniku dan selalu berada di sisiku. Aku merasa kau adalah orang yang tepat untuk mendampingiku di saat aku kesepian."
"Perkenalkan, aku Prince Leon Aldrich, 25 tahun. Pria kaya raya dan baik hati yang akan mengurus semua utang keluargamu dan akan menjaga keluargamu, asalkan kau mau tinggal di rumah ini, untuk menemaniku dan selalu berada di sisiku. Aku merasa kau adalah orang yang tepat untuk mendampingiku di saat aku kesepian." Naya mengerutkan keningnya dan mencibir memandang Leon. Apa yang Leon katakan sangat membuatnya ingin ketawa, pria baik hati? Baik hati dari mana, dari tatapannya dan nada berbicaranya saja sudah sangat bertolak belakang dengan dirinya. Apalagi kelakukannya pasti lebih mengerikan. Leon yang tau kalau Naya sedang menyeringgai sambil menghakiminya pun membuat Leon menyeringgai lebar. Gadis yang di depannya sangat tidak ada takut-takutnya? Kalau Naya tau tentang Leon dalam dunia gelap mungkin dia akan mati ketakutan. "Naya, kau sangat cantik," Leon mengangk
Pagi yang cerah matahari bersinar sangat indah. Naya merasa ada cahaya yang mengganggu penglihatannya, perlahan dia membuka mata. "Hengg..." Naya mengulet ingin merentangkan tangan namun badannya terkunci oleh tangan Leon yang masih berada di pinggangnya. Dia menatap Leon yang masih memejamkan matanya, Leon terlihat begitu tampan dengan rahang yang mengeras dan wajah yang begitu keren, setiap pahatan muka Leon sangat indah. Naya teringat dengan kejadian tadi malam saat Leon menenangkan dirinya. Dia merasa salah menilai Leon, Leon yang dia anggap dingin ternyata tidak, dia sangat hangat. Sepanjang malam Naya benar-benar merasakan kehangatan dari tubuh Leon. "Kau sudah bangun?" tanya Leon yang masih memejamkan matanya. "Sudah, baru saja." "Bagaimana? Apa tadi malam kau mimpi buruk?"
"Luke!!" teriak Leon memanggil Luke. Luke yang merasa di panggil langsung masuk kedalam ruangan Leon dengan cepat bersama Ray.
"Om Gunawan?" "Pria penjual organ dan wanita." Semua mata tertuju kepada Leon. Steffen mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Ini otakku yang ke kecilan atau gimana ya?" tanya Steffen dengan raut wajah binggung. "Sejak kapan kamu punya otak?" celetuk Nara yang berada di samping Haechan. "Punya lah, emang kayak kamu otak di gadain ke shopee." "Enak aja..." "Gue engga paham dengan hubungan om Gunawan, ayahmu dan keluarga Naya," ucap Dery menyengir. "Terimakasih Dery kau sudah mewakiliku," sahut Steffen ikut menyengir. "Jadi gini, ayah Leon itu tau kalau anaknya menyimpan gadis cantik di rumahnya, dan ayah Leon bilang kalau gadis itu adalah anak dari wanita yang pernah menj
Naya tidur dengan nyenyak di pelukan Leon, pelukannya sekarang bagaikan penangkal bagi Naya, seakan mimpi-mimpi buruk tidak berani masuk saat Leon sudah memeluk Naya. Dia sangat nyaman di pelukan Leon. Hingga matahari sudah naik, keduanya masih tetap tertidur dengan pulas. Leon sama sekali tidak melepas pelukannya dari Naya, membuat Naya tak bisa bergerak. Semakin lama matahari semakin tinggi, hingga menembus jendela kamar, membuat Naya merasa terganggu. Dia membuka matanya perlahan dan langsung di sungguhkan dengan dada Leon secara langsung tanpa di halang oleh baju. Sepanjang malam Leon telanjang dada memeluk Naya membuat Naya menunduk melirik bajunya yang terlihat masih aman, sekilas dia telah berpikiran aneh. "Aku sudah katakan, aku tidak akan melakukan apapun," ucap Leon dengan suara khas baru bangun tidur. Naya mendongak, dia menatap wajah Leon, yang masih memejamkan matanya.  
Di rumah, Naya mondar mandir di depan lift menunggu Leon kembali. Sudah hampir 3 jam Leon tak kunjung pulang, apakah dia baik-baik saja? Bagaimana dengan keluarganya, terutama sang adik. Apakah mereka terluka? Sangat banyak pertanyaan yang muncul di kepala Naya, bisa-bisa dia gila jika pertanyaan itu terus menerus muncul di kepalanya. Naya mengambil ponselnya mencoba menghubungi Leon namun telfonya tidak aktif, ingin menghubungi keluarganya namun Leon menyuruh Naya untuk tidak menghubungi siapa pun. Ting... Lift terbuka memunculkan Luke dan Ray begitupun dengan 4 sahabat Leon dan ada Nara juga. Naya segera mendekati mereka. "Leon diman--" Ucapan Naya terhenti saat dia melihat Leon keluarganya saat Luke dan Ray keluar dari lift. "Ayah... Ibu..." pekik Naya memeluk ibu dan ayahnya b
"Di temukan 3 mayat lelaki tergeletak di perubahan kecil. Pihak keluarga sama sekali tidak tahu menahu tentang kejadian tersebut. Terkhir korban mengatakan bahwa dia akan pergi keluar kota untuk bekerja.3 pria itu berumur 28 tahun, ketiga-tiganya di temukan tewas karena bunuh diri, dengan bukti tembakan yang masih mereka pegang. Sejauh ini polisi masih menyelidiki kasusnya, dan belum mengetahui apa motif bunuh diri dari 3 pria tersebut.""Bunuh diri lagi? Baru beberapa jam lalu ada berita bunuh diri." "Wahh... Benarkah?""Iya, sekitar jam 5 tadi sore di temukan mayat di dusun sebelah.""Kita harus berhati-hati ya berati mulai sekarang."Seketika suasana menjadi ricuh, akibat ocehan-ocehan serta tanggapan beberapa orang setelah mendengar berita menegangkan di televisi. Budaya membicarakan orang lain apalagi orang yang telah meninggal sangat sulit di hilangkan.Gadis yang sedari ta
Hara melangkahkan kakinya menuju apartement barunya, dia baru saja pulang dari kantor Dery, setelah mengajak lelaki itu balikan. Sekarang status dirinya telah memiliki seorang pacar, sepanjang jalan Hara tersenyum menyeringai, dia merasa bangga pada dirinya karena hanya dengan waktu sekejap dia bisa menaklukan hati Dery, mantan kekasihnya tersebut yang sekarang telah menjadi kekasihnya kembali.Hara merenggangkan tubuhnya sebelum membuka knop pintu. Tubuhnya sangat lelah akibat tak tidur semalaman, dia sibuk menyusun barang-barang yang dia bawa dari rumah lama ke apartement barunya. Hara sekarang tinggal di apartment bersama Abil sang adik di suruh oleh nyonya Eliana. Dia telah bekerja di bawah naungan wanita tersebut mulai hari ini. Bagaikan memenangkan lontre yang bernilai besar, Hara bisa memiliki semuanya mulai sekarang."Aku pulang...," seru Hara melihat sekeliling yang terlihat kosong. Dia berjalan menuju kamar Abil."A