Share

Gara-Gara Mengcancel Pelanggan

“Kali ini, aku memaafkanmu, karena perintah suamiku. Jika lain kali kamu berulah. Habis kamu!” Eliana menggandeng tangan suaminya, kemudian menuju ke motor yang di parkir di depan.

“Beb, sebenarnya bu Eliana itu siapa? Terus, kalau yang dia cari ibu Eliana, jadi? Itu ibu Eliana, Beb.” Miranda menganalisa.

“Dia adalah direktur di sini. Apa? Itu ibu Eliana? Mati aku!” Stefan menepuk jidadnya sendiri. Jika wanita itu adalah ibu Eliana, akan sangat gawat untuk dirinya.

“ Lagian, aku juga tidak tahu kalau bu Eliana suka naik ojol. Baru kali ini dia naik ojol. Kalau kutahu itu ojolnya bu Eliana, aku tidak akan memebentaknya.” Stefan gedeg-gedeg. Dia tidak tahu yang akan dia hadapi selanjutnya. Dia sudah membentak seseorang, dan itu membuat Eliana tidak suka.

“Ya sudahlah ya? Dah terlanjur juga. Kita masuk, yuk? Dari pada pak Burhan ngomel-ngomel. Pengang lihat si tua bangka itu ngomel.” Miranda  menggandeng tangan Stefan. Lelaki itu sudah tidak memikirkan kejadian baru saja. Dia kembali fokus ke pekerjaannya. Mereka masuk ke kubikel masing-masing untuk bekerja. Meskipun kenyataannya, nanti akan ada adegan di mana mereka mengumbar kemesraan mereka pada acara makan siang.

Bayu dan Eliana menuju ke restoran Mbok Jum. Restoran yang sangat terkenal seantero Jakarta menyajikan masakan nusantara terutama Jawa. Eliana memeluk pinggang kekar milik suaminya. Bayu tersenyum melihat kelakuan istrinya itu yang seakan posesif.

“Kalau sama pelanggang, harus jaga jarak lho. Aku tidak mau kalau kamu di pegang-pegang sama dia. Apa lagi musim corona seperti ini. Kalau kena nanti bagaimana?” Eliana beralasan. Padahal, dia tidak mau suaminya di peluk oleh wanita lain.

“Ehem, karena corona apa karena cemburu?” Bayu menggoda istriny.

“Dua-duanya. Awas saja kalau sampai ada pelanggan yang baper!” Eliana memberikan peringatan keras pada suaminya.

“Hahahaha, ya enggaklah. Lagian tidak lama, kok. Setelah aku tahu kelemahan aplikasi yang kubuat, aku berhenti. Kamu tenang saja. Jangan baper gitu, cantiknya ilang lho?” Bayu terus saja menggoda istrinya, hingga wanita itu merasa kupu-kupu beterbangan hinggap di perutnya.

“Kita sudah sampai, silakan turun, Nona manis.” Wanita itu turun dari boncengan. Bayu menyetandarkan motornya, kemudian menggandeng sang istri masuk ke restoran tersebut. Sang pelayan mempersilakan mereka untuk duduk. Mereka duduk di meja nomor tujuh.

“Sayang, mau pesan apa?” tanya Bayu.

“Nasi liwet. ‘kan dari semalem nasi liwet, Honey?” kesal Eliana.

“Iya, jangan marah-marah. Entar tambah cantik aku habisin di sini bibirmu,” goda Bayu. Godaan dari Bayu memang mengandung penyakit. Ya, penyakit diabetes. Lama-lama Eliana bisa diabetes karena digoda oleh Bayu. Bayu mengedipkan matanya, kemudian memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya.

  “Iya, mau pesan apa, Bapak dan i ... eh, mas Bayu ya? Mas Bayu yang ojol itu? Kok tadi pagi di cancel sih?” tanya pelayan itu. Bayu salah mengajak Eliana ke restoran ini.

“Iya, Maaf. Ini, pemilik aplikasi meminta diantarkan. Jadi, maaf banget ya, Mbak.” Bayu beralibi. Padahal, memang Eliana adalah istrinya yang meminta untuk diantarkan sarapan makan nasi liwet di restoran itu.

“Ih, ula gitu atuh. Eh ibu, saya pelanggan ya? Saya pesan duluan. Jadi, ibu harusnya mengalah. Pelanggan adalah raja. Walaupun ibu yang punya, kalau tidak ada pelanggan seperti saya, mana laku aplikasi?” Pelayan itu nerocos saja.

“Mbak, saya ke sini mau makan. Lapar. Bukan untuk diceramahin. Sama, saya juga pelanggan. Kamu mau restoran ini saya tutup karena kecerewetan kamu? Saya punya kuasa. Saya punya kartu hitam yang bisa saya gunakan untuk menutup kedai ini,” gertak Eliana. Wanita itu memang sangat emosional, kecuali Bayu yang bisa meredamnya.

“Eh, ula gitu. Mentang-mentang punya uang. Sok-sokan mau nutup kedai ini. Kalau punya kuasa itu di gunain yang bener, ula seenak udelnya aja!” Eliana sudah mulai naik pitam. Dia berdiri dan menggebrak meja.

“Dengarkan saya! Saya ke sini mau makan. Bukan untuk kamu ceramahin.” Eliana melotot. Dia sangat marah sekarang. Rahanya mengeras dan giginya sudah saling mengerat.

“Sayang. Tolong duduk.” Bayu memegang pundak istrinya dan mendudukkannya.

Eliana menurut. Dia menggenggam erat jemarinya untuk meredam rasa marah. Nafasnya dihempaskan sangat kuat.

“Nah, bagus begitu. Mbak, saya minta maaf karena sudah mengcencel pesanan mbak. Cukup! Saya mau makan di sini, mau di layani atau tidak? Kalau tidak, maka kami akan pergi. Di Jakarta ini banyak nasi liwet, tidak hanya restoran ini. Jadi, kalau mbak masih mau jualan dan bekerja di sini, bawa pesanan saya.” Wanita pelayan itu terpana. Dia menganga pada apa yang di katakan oleh sang ojol. Lembut, namun menusuk. Dia pergi ke dapur untuk memberikan pesanan pada chef.

“Kamu kenapa baik-baikin dia, sih? Dia aja nyebelin gitu,” protes Eliana.

“Sayang, marah tidak harus ditunjukkan dengan teriak. Marah bisa ditunjukkan dengan lembut namun menusuk. Kau lihat tadi, saat kamu teriak, dia makin bawel. Tapi, saat aku yang bicara, dia langsung pergi. Kau tahu, salah satu trik berbicara sama pelanggan ya begitu.” Bayu tersenyum sambil memandang istrinya yang mulai menurun kemarahannya.

“Senyum, dong. Jangan cemberut. Nanti keriput tambah banyak.” Eliana menepuk pundak suaminya. Terkadang, lelaki itu selalu membuat dia sangat bahagia seperti sekarang ini dengan kelakarnya. Setelah beberapa menit, pesanan mereka datang. Nasi kendil dengan lauk-pauk yang sudah ada di dalam panci.

“Wuih, ini yang kamu mau, Sayang? Segitu banyaknya? Seharusnya papa dan mama di ajak.” Eliana tersenyum melihat pesanannya bahkan sampai di angkat dua orang. Mereka mengucapkan terima kasih, kemudian memakan nasi kendil itu.

“Bagaimana? Enak ‘kan?” ucap Eliana.

“Hooh. Tapi singkirin si petai. Aku tidak suka,” ujar Bayu. Lelaki itu menyingkirkan lalapan yang berbau itu. Dia sangat tidak suka dengan lalapan itu. Padahal istrinya sangat suka.

“Ini enak lho. Kamu nggak mau cobain?” ucap Eliana.

“Ck, nggak mau. Aku pergi nih?” Bayu sedikit marah. Dia paling tidak suka dengan petai. Meskipun dia juga tidak melarang jika istrinya makan petai. Hanya saja, harus tertib.

Mereka sarapan dengan lahap. Kini sudah setengah sepuluh siang. Setelah membayar, mereka lantas keluar dari restoran itu.

“Huffff, trima kasih, Cinta. Sudah menurutiku. Aku sudah gosok gigi kok. Mau cium nggak?” tukas Eliana.

“Ogah! Masih bau pasti.” Eliana tertawa ngakak mendengar kekesalan dari suaminya. Bayu mengambil motor di tempat parkiran. Setelah itu, melaju mendekati lobi dan berhenti di depan istrinya.

“Silakan, Nyonya. Mau diantar kemana?” Bayu berlagak bagai sopir ojol beneran yang sedang menyambangi penumpangnya. Eliana yang berdiri di lobi tersenyum geli melihat suaminya bertingkah aneh macam itu.

“Baiklah, Mas Ojol. Bawa saya memasuki gerbang cinta yang indah. Cus, kita berangkat ....” Eliana membonceng di belakang dengan memeluk erat tubuh suaminya tersebut. Mereka melaju ke kantor kembali, karena hari ini memang jatahnya wanita itu untuk menyelesaikan pekerjaan. Mereka melaju membelah jalanan ibu kota. Kota yang ramai karena hiruk-pikuk aktivitas membuta jalanan macet.

Bayu menerobos jalanan dengan sangat lincah. Dia penyetir yang handal. Maka dari itu, para pelanggannya selalu setia padanya. Cepat, tapi mengutamakan keselamatan pelanggan. Bayu sudah mengantarkan istrinya ke kantor. Setelah mengedrop istrinya, dia kembali pulang ke rumah menyusuri kerasnya jalanan ibu kota. Sesekali dia membuka kaca depannya, karena kurang jelas melihat kedepan akibat debu yang menempel di kaca helmnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yan Sudi Ana
sy suka ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status