Pambudi hanya bisa melongo saja. Dia baru saja kehilangan uang yang sangat banyak, karena gagal mendapatkan investor. Dia memukul pohon yang ada di sampingnya. Tangannya dikibas-kibaskan karena merasa sakit. Berganti dengan menendang ban mobil milik seseorang, hingga dia di tegur oleh orang yang punya mobil.
“Bangsat! Anak itu mmnag pembawa sial. Aku sekali lagi kehilangan milyaran karena dia.” Pambudi mengumpat sedalam-dalamnya.
“Heh, ada apa dengan mobilku? Kau tendang-tenang? Kurang kerjaan saja!” Dia berlalu saja tanpa peduli omelan ddari orang tersebut yang mobilnya dia tendang. Dia membuka pintu mobilnya, kemudian tancap gas. Dia menyetir dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga petugas lalu lintas mengejarnya. Setelah di kilo meter sepuluh, dia tertangkap oleh petugas patroli jalan raya.
“Selamat siang, Pak. Mohon buka kaca mobilnya.” Seorang polisi jalan raya mengetuk kaca mobilnya.
“Ada apa?” jawabnya ketus.
“Anda melewati batas kecepatan menyetir di jalan raya. Anda kami tilang!” Pambudi tidak terima. Dia turun kemudian memukul kepala polisi tersebut.
“Kau tahu siapa aku? Rasakan ini!” Bertubi-tubi Pambudi mengayunkan tinjunya, namun bisa di tangkap oleh polisi itu.
“Lepaskan tangaku!” Pambudi berusaha memberontak, sehingga polisi itu menyeretnya ke mobil patroli jalan raya. Sedangkan teman yang satunya lagi membawa mobil Pambudi. Ternyata, di dalam mobil patroli itu ada dua orang lagi polisi. Tangan Pambudi ditarik kebelakang, kemudian diborgol karena melawan.
Dia di bawa ke kantor polisi karena histeris dan mengumpat. Lelaki itu memang tidak memiliki akhlak. Dia akan mengumpat jika terjadi sesuatu pada dirinya. Lelaki itu menajamkan matanya ke arah petugas. Saat di kantor polisi pun dia merasa tidak bersalah. Dia tetap saja mengamuk. Rasanya sangat marah dan membara di dalam pikirannya.
“Sudah, sekarang boleh kamu membela diri di sini. Akan kami catat semua. Katakan, mengapa mengebut?” tanya seorang polisi.
Pambudi menajamkan matanya. Dia sangat marah sekarang. Rasanya ingin membalik meja yang ada di depannya. Akan tetapi, tangannya diborgol tidak bisa berkutik.
“Heh, jawab pertanyaan kami. Mengapa mengebut!” Seorang polisi terlihat tidak sabar. Dia mengepalkan tangannya, merasa ingin meninju lelaki itu.” Tapi, tangannya di pegang oleh temannya yang lain.
“Sepertinya, kita harus masukkan ke sel dulu, bersama tahanan kelas kakap agar di pukuli sama mereka baru dia dapat bicara, Komandan!” Pambudi bergidik ngeri mendengar hal itu. Akhirnya, dengan malas dia mau bicara.
“Iya, oke. Aku mengaku. Aku sedang kesal karena kehilangan investor milyaran. Puas kalian!” Polisi tersebut menulis satu demis satu kata yang terucap dari mulut seorang Pambudi. Untuk malam ini, lelaki itu akan menginap di kantor polisi. Dia boleh menghubungi keluarganya, untuk memberi tahu keadaannya.
“Halo, Miranda. Ini papa.” Sebuah suara menyambangi gawai Miranda. Ternyata itu adalah papanya.Miranda dengan malas menjawab.
“Ada apa,Pa. Aku sedang sibuk ini.” Miranda mengatakan pada papanya.
“Tolong papa, Miranda. Papa beraada di kantor polisi sekarang. Tolonglah!” Miranda memicingkan matanya.
“Kok bisa? Memangnya papa sedang apa? Bukannya papa sedang ketemu dengan investor? Bisa tiba-tiba di kantor polisi?” Miranda terus saja mencecar papanya.
“Papa ngebut, jadi kena tilang pas ada polisi sedang patroli.” Pambudi memberi tahu pada anaknya tentang kesalahannya. Miranda dengan sedikit jengkel memberi tahu kuasa hukum mereka untuk menyambangi kantor polisi dan menjamin ayahnya agar bisa pulang.
“Ada-ada saja. Papa ini bikin pusing saja. Aku akan hubungi om Harri untuk menjamin. Papa ini sudah tua, kenapa pakai ngebut segala, sih? Bikin keki saja.” Miranda menutup teleponnya tapa salam dan permisi.
“Kalian lihat saja, ada pengacaraku sebentar lagi datang. Aku tidak takut dengan kalian.” Pambudi menyombongkan diri, sehingga para polisi itu menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa sangat geregetan sama lelaki satu itu. Sudah bersalah, tapi malah tidak mengaku salah dan tetap angkuh. Para polisi meninggalkannya, akan tetapi dia di kunci dengan borgol di bangku duduk itu. Bangku itu sangat berat karena terbuat dari besi. Jadi sangat mungkin bahwa dirinya tidak akan kabur.
Tidak berapa lama. Miranda bersama kuasa hukumnya datang untuk membebaskannya. Dia sudahs edikit ciut karena merasa sangat takut berada sendirian di ruangan itu.
“Papa.” Miranda memeluk papanya. Akan tetapi, sebenarnya dia sangat kesal dengan papanya. Kenapa menyetir sendiri? Papanya tidak bisa menahan emosi. Jika disalip saja, dia kadang kesal kalau pas tidak berkenan.
“Kenapa papa menyetir sendiri? Sudah ada supir padahal.” Miranda melepaskan pelukannnya.
“Bukannya supir sama kamu? Makanya papa nyetir sendiri.” Miranda duduk di sebelah papanya, sedangkan kuasa hukumnya mengambil kursi yang ada di seberang. Polisi yang tadi ke dalam keluar begitu ada suara orang lain menyambangi kantor itu.
“Sialakan? Bagaimana?” tanya polisi tersebut.
“Ini, kami mau menjamin Pambudi agar dapat keluar.” Seorang kuaasa hukum menyampaikan niatnya.
“Sudah dipersiapkan semua?” tanya polisi tersebut.
“Sudah.” Serangkaian suarat-surat sudah di persiapkan oleh kuasa hukum itu. Tinggal tanda tangan saja. Sejumlah denda juga sudah diberikan. Maka kini Pambudi sudah siap pulang.
“Jangan mengebut lagi, patuhi rambu-rambu lalu lintas. Kalau anda mengebut lagi, akan bertemu dengan saya lagi.” Polisi itu mengulurkan tangannya, kemudian di sambut oleh kuasa hukum Pambudi. Akan tetapi tidak dengan Miranda dan papanya. Mereka sudah terlebih dulu keluar dari ruangan itu. Dengan sombongnya mereka mengibas-ngibaskan tangannya karena merasa kegerahan.
Kuasa hukum mereka menggeleng-gelengkan kepalanya, karena merasa heran dengan kesombongan mereka. Kuasa hukum itu kemudian menuju ke mobilnya. Mereka tidak satu mobil. Miranda menaiki mobil papanya yang ketilang, sedangkan kuasa hukum tersebut menaiki mobilnya sendiri.
Sementara itu, Bayu dan juga Agung sudah berada di rumah sejak pagi. Eliana yang ahri itu harus rapat dengan stafnya di restoran, kaget melihat motor Bayu sudah berada di rumah. Sebab, Miranda hanya sebentar ssaja tadi rapatnya. Seharusnya, dia dahulu yang sampai di rumah. Sebab kalau investasi butuh banyak waktu untuk mempelajari banyak perjanjian.
“Kalian sudah pulang?” tanya Eliana.
“Iya, karena tidak jadi.” Bayu menerima uluran tangan istrinya.
“Tidak jadi? Kenapa?” tanya Eliana kembali.
“Tanya papa saja.” Dilihat papanya sedang berkebun di belakang, kemudian membereskan kolam lele juga. Maka dari itu, Eliana berjalan ke belakang untuk melihat papanya itu. Dia penasaran alaasan mengapa papanya tersebut tidak jadi teken kontrak sama perusahaan tersebut. Sebab, Eliana juga akan mengincar sebuah perusahaan untuk dia berinvestasi nanti.
“Pa, rumput-rumput itu tidak usah di cabut. Rumput itu memang sengaja aku tanam. Itu rumput pakan klinci. Kalau ada banyak waktu, Bayu sering melepas klincinya di sana.” Eliana berjalan mengahmpiri papanya. Dia mengulurkan tangannya, tapi papanya melambaikan dan memperlihatkan tangannya yang kotor.
Papanya sudah selesai berkebun. Setelah itu, Agung sang papa Eliana berjalan mendekati Eliana yang kini duduk di kursi teras.
“Papa, mengapa tidak jadi investasi di restoran Nusa Indah?” tanya Eliana. Wanita itu meletakkan paper bag yang di bawanya, kemudian kembali memangku tangannya.
“Mengapa, ya? Mungkin karena tidak sepaham saja. Pemilik Nusa Indah terlalu sombong pada orang miskin. Papa tidak suka.” Eliana mengagguk. Papanya itu memang sangat tidak suka jika ada orang lain yang direndahkan. Dia selalu akan paasang badan jika ada seseorang dari kalangan ekonomi bawah yang dianiaya.
“Memang, papa lihat sendiri?” tanya Eliana. Dia tidak mau papanya hanya mendengar dari sebuah gosip saja.
“Ya, papa lihat sendiri.” Agung mengangkat cangkir kopinya kemudian menyeruputnya.
“Memang, siapa yang dihina?” Eliana penasaran, mengapasampai papanya semarah itu?
“Ya, papa lihat sendiri.” Agung mengangkat cangkir kopinya kemudian menyeruputnya.“Memang, siapa yang dihina?” Eliana penasaran, mengapa sampai papanya semarah itu?Papanya meletakkan kopinya di meja, kemudian menengok ke arah Eliana. Dia akan mengatakan sejujurnya. Papanya menepuk pundaknya, kemudian menangkupkan jari-jari ke sela jarinya yang lain.“Eliana, dia menghina suamimu, karena jadi tukang ojek. Papa kira, suamimu ada hubungan dengannya sebelumnya. Sebab, dia sangat kesal walau sudah papa tunjukkan kebenarannya. Dia tetap menganggap suamimu ini tidak berguna
“Beri aku lebih, Sayang.” Bayu menarik tangan istrinya, agar posisinya di bawah. Dia memberikan kenikmatan kepada istrinya dengan klimaks bersama setelah saling bersatu dalam lautan madu.Hari sudah mulai sore. Setelah melihat semua rating di aplikasinya, Bayu siap-siap akan berangkat. Dia menerima beberapa orderan. Seperti biasa, istrinya sudah menyiapkan jaketnya, dan semua peralatan keamanan berkendara untuk suaminya tersebut.“Aku pergi, Sayang. Hati-hati di rumah.” Bayu mengedipkan sebelah matanya setelah mencium kening istrinya. Lelaki itu kemudian menekan gasnya dan bergerak menuju jalanan. Kali ini, pelanggan yang dia jemput adalah ibu hamil yang akan periksa ke rumah sakit. Dia melajukan motornya menuju gang-gang sempit sesuai arah a
“Susumu, Sayang. Nggak nunggu aku untuk jamaah?” tanya Eliana melihat suaminya sudah siap dengan baju muslimnya.“Cepatlah! Aku mau sholat sunah dulu.” Eliana meletakkan susu di meja kemudian berlari ke kamar mandi.Setelah Eliana selesai mandi dan juga widhu, maka mereka melakukan sholat shubuh dengan berjamaah. Selesai sholat subuh, karena Bayu memang belum tidur, dia langsung tidur. Sedangkan Eliana keluar kamar untuk olah raga pagi.***Eliana sudah rapi mau berangkat kantor. Dia melihat suaminya tersebut sudah terlelap dan mendengkur halus. Setelah siap dengan jilbabnya yang menjuntai, di
“Kau akan menyesal, Nyonya Eliana karena sudah berurusan denganku!” Stefan melangkah pergi dikuti oleh Miranda di belakangnya. Eliana menggeleng-gelengkan kepalanya karena ulah dari Stefan tersebut. Eliana juga beranjak dan mengajak Zahra untuk keluar dari ruangan itu. Wanita itu menuju ke ruangannya. Mungkin untuk sementara, kopi susu sangat cocok untuk dirinya.Zahra membuat dua kopi susu untuk dirinya dan bosnya itu. Dia pergi ke dapur dan di sana sudah ada beberapa karyawan hotel yang lainnya juga membuat minuman.“Mbak Zahra, membuat dua dengan bos, ya?” tanya salah satu office boy.“Iya, kamu sudah selesai?” tanya Zahra pada Jamal sang office boy.
“Baiklah, terima kasih informasinya.” Wisnu permisi dari ruangan Eliana. Eliana menatap punggung Wisnu yang menghilang di telan pintu itu. Kemudian dia menghirup nafasnya dalam-dalam dan kembali mengangkat cangkir kopi susunya dan menyeruput untuk menetralkan pikirannya. Eliana mengetuk-ngetuk meja untuk mengalihkan pikirannya. Tapi tidak bisa. Dia harus menyelesaikan ini segera. Dia meraih jasnya kemudian menyambar kunci mobilnya. Sebelumnya dia berpesan pada Zahra asistennya jika Miranda atau Stefan memberikan berkas, maka di terima saja. salah atau benar, urusannya biarkan besok dia yang menentukan. Hari ini masalah tentang Stefan harus jelas dan terang.Zahra mengiyakan perintah bosnya terseb
“Iya, ini solal Stefan. Dia hari ini benar-benar menguji kesabaranku. Miranda juga. Bagai mana ceritanya, suamiku yang super tampan ini dulu suka sama wanita super duper oon dan nyebelin itu.” Eliana menjewr pipi Bayu yang sudah kosong karena baru saja menelan makanannya.“Khilaf, entahlah aku juga bingung.” Bayu nyengir.Mereka sudah selesai makan.setelah membayar dengan kartu debet, Bayu mengajak istrinya untuk pergi dari r
Keterangan Yudhistira sangat menentukan tindakannya. Dia akan memberinya waktu dan kesempatan sekali lagi, tapi jika Stefan dan Miranda mau memperbaiki diri. Jika masih sama, maka tinggal Tuhan yang dapat menolongnya.Mereka masuk ke kompleks itu. Setelah pasti itu rumahnya, Bayu menghentikan motornya dan Eliana menekan bel sebagai ganti permisi untuk bertamu ke rumah itu. Seorang wanita setengah baya keluar dengan mengenakan daster kembang-kembang. Dia menanyakan keperluan dari sang tamu.“Maaf, apakah benar ini kediaman tuan Yudhistira?” tanya Eliana.“Betul sekali. Maaf dengan siapa? Saya sampaikan kepada bapak.” Ibu itu meminta konfirmasi nama kepada Eliana dengan menunjuk menggunakan jempolnya. Mungkin bibi itu biasa andap asor karena Tuan Yudhistira adalah orang Yogyakarta.“Sampaikan kepada beliau, saya Eliana ingin berjumpa dengan beliau.” Ibu itu tersenyum kemudian menyuruhnya untuk menunggu. Tidak lupa Eliana
Akan tetapi ketukan pintu membuat aksi mereka terhenti. Miranda sudah setengah telanjang dan Stefan juga sudah tidak berbentuk lagi. Dasinya sudah tidak beraturan dan kancing kemejanya sudah lepas semua, kini terlihat dadanya yang sedikit berbulu. Stefan menyuruh orang tyersebut menunggu. Mereka berdua membetulkan pakaiannya, sedang Miranda ke kamar mandi untuk menyelesaikan yang tertunda.Stefan merasa sangat marah karena ketukan pintu tersebut. Terlihat seorang bell boy mengahmpirinya.“Ada apa?” Terdengar sebuah desahan dari dalam kamar mandi. Bell boy tersebut mengerutkan keningnya. Mengapa masih siang ada desahan manja di ruangan itu.“Ada apa? Cepat katakan dan kembalilah pergi! Aku sedang sibuk.” Stefan dalam hati mengumpat sendiri. Miranda pasti sudah menyelesaikan misinya.“Itu, anda dicari seorang tamu. Katanya ingin bertemu.” Bell boy tersebut permisi, karena sepertinya di dalam sana sedang ada yang bermain.