Share

2. Sandiwara Dimulai

"Selamat malam, Pak, Bu." Adriel menyapa Maria dan Damar, kedua orang tua Sandra.

"Malam," jawab mereka serentak. Mata mereka tertuju pada Sandra yang sudah berdiri di hadapan mereka.

"Perkenalkan, saya Adriel, pacarnya ...." Adriel baru sadar, dia belum mengetahui nama gadis yang akan dinikahinya itu. "Cinta," lanjutnya kemudian.

"Cinta?" tanya Maria heran.

"Maaf, itu panggilan sayang saya padanya." Adriel tersenyum dibuat-buat sambil melirik Sandra.

"Sandra, kamu kok gak pernah cerita pada kami?" Maria menatap putri sulungnya yang sudah salah tingkah.

"Sandra masih belum berani, Ma." Sandra juga memaksa senyumnya.

"Mungkin Sandra masih ragu pada keseriusan saya. Tapi, kali ini saya akan membuktikan kalau saya serius dan ingin menikahinya." Sandra langsung menahan napasnya, mendengar pernyataan Adriel pada orang tuanya.

"Oh, maaf atas kelancangan saya. Tidak sepantasnya saya melamar Sandra seperti ini. Sekali lagi maafkan saya, Pak, Bu." Adriel membungkukkan badannya sedikit.

"Kami paham anak muda seperti kalian kalau sedang kasmaran seperti ini. Tapi, tetap harus menjalankan prosedur." Damar mulai angkat bicara. Sebagai ayah, dia berusaha bijaksana di hadapan calon menantunya.

"Saya akan datang bersama keluarga saya untuk melamar Sandra," ucap Adriel mantap, seperti tiada kepura-puraan.

Setelah percakapan singkat antara mereka, Adriel pamit pulang. Sandra langsung pura-pura tidur untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan padanya.

Namun, meski matanya tertutup, hatinya terus menerawang. Tidak disangka, niatnya langsung terkabulkan meski lewat sebuah kepura-puraan. Sandra yang sempat sangsi bagaimana cara menemukan calon suami, sekarang sudah menemukannya. Terlepas bagaimana akhir pernikahan sandiwara itu nantinya, setidaknya, Sandra bisa menutup mulut keluarga mamanya.

Sandra kembali teringat peristiwa di rumah neneknya tadi. Harusnya Sandra senang karena kedatangan kedua orang tua dan adiknya. Ini adalah yang kedua kalinya mereka mengunjungi Sandra ke kota tempat ia bekerja. Sudah hampir empat tahun dia meninggalkan kampung halaman menuju ke kota kelahiran ibunya untuk bekerja.

Gadis 30 tahun yang bekerja sebagai staff administrasi di salah satu perusahaan swasta itu tinggal di sebuah rumah kos, meski nenek dan keluarga besar ibunya berada di kota yang sama. Terbiasa dengan kesederhanaan dan kemandirian, membuat dia tidak ingin merepotkan orang lain. Apalagi, dia tahu keluaga besar ibunya tidak terlalu meyukainya.

"Kamu sudah memesan taksinya, San?" tanya Maria pada putrinya yang masih sibuk memoles lipstik berwarna peach ke bibirnya.

"Sudah, Ma sebentar lagi sampai," jawab Sandra sambil memasukkan lipstik dan bedak ke dalam tas kecilnya.

Tidak lama, taksi yang mereka tunggu pun datang. Mereka segera berangkat menuju kediaman orang tua Maria. Di sana dia akan bertemu saudara-saudara ibunya dan tentunya sepupu-sepupunya. Dengan lanngkah gontai, Sandra memasuki taksi yang sudah menunggu di depan kosnya.

"Selamat malam, Ma," sapa Maria pada ibunya saat mereka datang.

"Akhirnya kalian datang juga, silakan masuk." Sartika menatap satu per satu tamunya yang baru datang, yang tidak lain adalah anak, menantu dan cucunya sendiri.

Keluarga Maria segera bergabung bersama saudara-saudara lainnya. Sartika sering mengundang putra-putrinya untuk berkumpul. Namun, kali ini dia ikut mengundang Maria, putri yang sempat dibuangnya karena menikah dengan laki-laki miskin.

"Bagaimana kabarmu, Sandra?" tanya salah seorang saudara ibunya.

"Baik, Tan." Sandra mengangguk pelan sambil tersenyum. Maria selalu mengajarkannya untuk bersikap sopan terhadap siapa saja, apalagi orang yang lebih tua.

"Kalian gak akan menikahkan putri kalian ini?" tanya Sartika tiba-tiba, membuat Maria hampir saja tersedak.

Maria berhenti sejenak, menyantap hidangan makan malamnya. "Belum, Ma." Dia melirik putri sulungnya itu.

Seperti ada yang menyekat di kerongkongan Sandra, membuat dia kesulitan menelan makanannya. Setiap kali dia bertemu dengan mereka, selalu itu yang menjadi pembahasan mereka tentang dirinya. Sandra bisa melihat lirikan-lirikan sinis dari sepupunya, termasuk Maya, sepupu yang satu kantor dengannya.

Maya terpaut lima tahun darinya, tapi dia sudah memiliki pacar yang selalu setia megantar dan menjemputnya. Kabarnya, mereka akan segera menikah, begitu rumor yang disebarkan Maya sendiri di kantor. Seperti biasa, dia menyindir Sandra yang sudah kepala tiga dan masih single.

"Kalian mau jadikan dia perawan tua? Atau nanti akhirnya akan menikah dengan laki-laki sembarangan?" Ucapan Sartika bagaikan petir yang menyambar Damar, ayah Sandra.

Dia selalu saja diremehkan oleh keluarga istrinya. Sebelumnya, dia bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa. Namun, perusahaan itu mengalami kebangkrutan dan terpaksa memberhentikan semua karyawannya tanpa pesangon. Itulah sebabnya dia memutuskan untuk pindah ke desanya untuk menggarap ladang peninggalan orang tuanya. Keputusan itu membuat Maria semakin tidak disukai karena dianggap menjatuhkan martabat keluarga besar.

"Kamu, sih gak dandan, makanya mata laki-laki gak melirikmu," ujar Dewi, ibunya Maya.

Sontak semua mata tertuju pada penampilan Sandra yang hanya mengenakan gaun merah sederhana dan sepatu flat. Tidak ada yang mahal dari yang dipakainya. Demikian juga dengan make up, hanya bedak, riasan tipis di bagian mata serta polesan bibir yang jauh dari bibir merah merona milik Maya.

Sandra hanya membalas semuanya dengan senyuman tawar.

"Sandra nunggu bos besar yang melamarnya, kali," ledek Maya. Semua ikut menahan tawa seperti Maya.

"Bagus dong kalau bagitu," sela Dewi pura-pura senang.

"Kalau ada yang mau, kalau gak ada?" seloroh sepupu yang lain. Semua tidak dapat menahan tawa mereka. Malam itu, Sandra menjadi bahan ledekan mereka.

"Aku akan menikah secepatnya, tenang saja." Ucapan Sandra membuat riuh tawa mereka lenyap, mereka saling berpandangan.

"Asal gak seperti ayahmu saja." Lagi-lagi ucapan Sartika menyakiti. Sandra melirik papanya yang tertunduk tak berdaya. Semua kembali dengan senyuman mengejeknya, membuat keluarga Sandra tak ada harganya di depan mereka.

"Cukup! Kalian sudah keterlaluan!" Sandra berteriak dan berdiri dari tempat duduknya.

Dengan tatapan, Maria berusaha melerai putrinya. Namun, sama sekali tak digubrisnya. Kekesalan Sandra sudah terlanjur sampai ke ubun-ubun. Dengan tajam, dia membalas pelototan neneknya.

"Apa hanya dengan uang dan jabatan, kalian bisa menghargai orang?" Sandra menyisir semua yang hadir dengan matanya, mereka hanya terdiam menyaksikan kemarahannya.

"Ini hasil didikanmu, Maria?" Sartika tidak mau kalah dengan suara Sandra. Tubuhnya yang sudah tidak belia lagi dipaksakannya untuk mengusung kemarahannya.

"Maafkan Sandra, Ma?" Suara Maria bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Kenapa harus minta maaf, Ma?" cegah Sandra.

"Sandra, sopan terhadap nenekmu!" Maria berusaha mengimbangi suara putrinya, tapi tetap terdengar lembut.

"Aku tidak sudi dihina terus!" Sandra langsung pergi meninggalkan kediaman neneknya, hingga ia bertemu dengan Adriel.

Tak disangka, kecelakaan kecil itu adalah jawaban dari harapan yang baru saja terucap dari bibirnya. Antara senang dan ragu, Sandra membayangkan bagaimana ekspresi keluarga ibunya nanti. Apalagi Maya, sepupunya yang paling suka meremehkannya. Dengan mata tertutup, senyuman licik melengkung di wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status