Share

6. Kejutan di Kantor

Sandra kembali ke kota bersama Adriel dan kedua kakek, neneknya. Sementara, Damar dan Maria masih tinggal di rumah sakit untuk menunggui ibu Ani. Sebenarnya, banyak pertanyaan di benak Sandra untuk calon suaminya itu. Salah satunya, bagaimana mereka bisa mengenal ibu Ani. Namun, semua itu diurungkannya, takut terlalu dalam masuk ke kehidupan pribadi mereka. Mengingat posisinya hanya sebagai istri pura-pura.

Perjalanan yang ditempuhnya terasa sangat panjang karena keheningan yang mengisi ruang mobil. Hanya Melati yang sekali-sekali bertanya, itu pun dijawabnya dengan singkat. Setiap kali hendak menjawab pertanyaan Melati, Adriel selalu mengontrolnya dari kaca spion. Sandra paham itu adalah sebuah pengendalian agar dia tetap pada rencana kepura-puraan mereka.

Tidak ada kata mesra dari Adriel saat mereka berpisah di kos Sandra, layaknya seorang kekasih. Dia sengaja mengantar Sandra ke depan pagar agar terlihat romantis oleh kakek dan neneknya. Padahal, hanya ada diam di antara mereka.

***

Sandra kembali ke rutinitasnya. Seperti kata Adriel, dia hanya menunggu instruksi kapan pesta pernikahan itu akan diselenggarakan. Sebenarnya, dia tidak ingin teman-teman di kantornya mengetahui tentang pernikahan itu. Tapi, tak bisa dielakkan, Maya sepupunya itu, satu kantor dengannya. Sudah menjadi tujuannya untuk mengumbar pernikahan itu pada keluarga besarnya, apalagi Maya. Sandra memijit pelipisnya untuk memikirkan ide lain.

"Hoi, melamun aja. Kerjaan udah selesai, belum?" Mimi menepuk meja kerja Sandra, membuat lamunannya buyar.

"Ngagetin aja! Udah, dong." Sandra langsung cemberut menatap sahabatnya itu.

Sejak pertama bekerja di perusahaan itu, Mimilah yang menjadi tempatnya bertanya dan berkeluh kesah. Padahal, ada Maya yang lebih dulu masuk daripada Sandra. Jangankan membantu, Maya akan selalu tersenyum puas saat Sandra terkena masalah atau dimarahi atasan.

Seperti pagi tadi, saat Sandra baru sampai di kantor. Dia langsung disuruh menghadap bos besar. Pak Arman memarahinya akibat pekerjaan yang terbengkalai saat dia libur beberapa hari yang lalu. Ada surat kontrak dengan relasi belum diselesaikannya, hingga mereka kehilangan kerja sama yang dinanti-nantikan.

"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Pak Arman sambil memukul meja. Sandra yang berdiri di hadapannya, sedikit terlonjak terkena sentakan semacam itu.

"Saya minta maaf, Pak. Tapi, saya sudah menyampaikan pesan pada Maya agar menyerahkan surat itu. Saya sudah menyelesaikannya sehari sebelum cuti." Sandra berusaha membela diri.

"Mana? Buktinya surat itu tidak ada dan kita kehilangan rekan kerja sama." Pak Arman mengibas-ngibaskan map yang ada di tangannya.

Sandra ingat betul, sehari sebelum pulang ke tempat orang tuanya, dia sudah menyerahkan surat itu pada Maya lengkap dengan pesan dan keterangannya. Maya dan dia memiliki posisi yang sama sebagai tenaga administrasi yang mengurus surat-surat seperti kontrak dengan klien dan perusahaan lain. Sandra benar-benar kesal atas apa yang sudah dilakukan Maya padanya, tapi apa daya dia tidak dapat membela diri. Maya paling bisa menjilat hingga dia terlihat benar.

***

Sejak keluar dari ruangan Pak Arman, Sandra hanya duduk termenung di hadapan komputernya. Dia teringat ucapan Pak Arman, bahwa perusahaan itu, terpaksa dijual agar tetap berdiri dan mempekerjakan karyawannya. Di balik rasa kesal, ada haru yang timbul karena perjuangan perusahaan untuk mereka.

"Ya, melamun lagi." Mimi kembali menyadarkan Sandra yang balik ke lamunannya.

"Eh, kamu tahu sesuatu tentang perusahaan ini, gak?" Biasanya, Mimi cukup update soal berita seputar perusahaan ataupun orang-orang di dalamnya.

"Memang kamu belum tahu?" Mimi mendekatkan kursinya agar berbicara lebih dekat dengan Sandra.

Sandra menggeleng. "Apa?" Bola matanya yang sipit membesar.

"Kita akan ganti bos." Mimi memelankan suaranya. Mata mereka memeriksa rekan lain yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Apa benar perusahaan kita dijual pada orang lain?" Sandra ikut memelankan suaranya agar tidak ketahuan mereka sedang bergosip.

Mimi mengangguk pelan. "Kamu tahu dari siapa?"

"Pak Arman, waktu aku dimarahi tadi di ruangannya." Sandra melengkungkan mulutnya ke bawah.

"Seperti apa bos kita yang baru itu, ya?" Mimi menopang dagunya dengan siku bertumpu di meja kerja Sandra. Sandra mengangkat kedua bahunya.

Mereka sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan itu, rasa nyaman sudah mengakar di hati mereka. Sandra ingat betul saat Maya membangga-banggakan dirinya dan perusahaan tempat mereka bekerja saat itu. Sandra yang masih keluar masuk perusahaan selalu diremehkan setiap kali berkunjung ke tempat neneknya. Itulah alasannya masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang distrubutor barang-barang retail itu. Rasa bangga menghunjani saat berhasil menyamai posisi Maya. Sejak saat itu, Maya sudah tidak penah lagi bercerita tentang pekerjaannya di hadapan semua keluarga besar.

"Hei, jangan gosip aja. Kerja, kerja!" Salah seorang rekan kerja menegur mereka yang asik berbisik-bisik di meja Sandra.

"Udah selesai, kok," timpal Mimi sambil memancungkan bibirnya.

"Duduk yang rapi, bos baru mau datang." Dia langsung  berlalu menuju ke mejanya.

Sandra dan Mimi saling berpandangan, padahal mereka baru saja membicarakannya. Pak Arman baru saja memberitahu, Sandra berpikir tidak mungkin akan secepat itu. Mereka masih sibuk saling pandang dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba pak Arman keluar dari ruangannya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang datang dan salah satu di antaranya adalah Adriel.

Hampir saja Sandra lupa untuk mengontrol dirinya. Dia segera menutup mulutnya yang menganga, melihat kedatangan Adriel. Mimi segera menggeser kursinya ke tempat semula. Suara kursi itu menarik perhatian tamu yang datang karena ruangan yang  mendadak hening. Sandra melirik Mimi dengan sudut matanya. Namun, Adriel sama sekali tidak melihat ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status