Share

7. Bos Baru Masalah Baru

"Perhatian semuanya!" Arman mulai bersuara, semua mata fokus pada laki-laki paruh baya itu.

"Mungkin sebagian dari kalian sudah mendengar kabar ini, tentang perusahaan kita yang berpindah kepemilikan. Seperti yang dapat dilihat di hadapan kita saat ini, telah hadir pemilik baru dari perusahaan, Bapak Adriel Jhonatan." Arman mengarahkan tangannya ke arah Adriel.

Semua mata serentak bergerak ke arahnya. Hampir wanita yang hadir berbinar memandangnya, tidak terkecuali Maya. Sepupu yang selalu menganggap remeh Sandra itu tanpa sadar menggigit bibirnya.

"Ganteng banget," bisik Mimi pada Sandra sambil menyenggol lengan sahabatnya itu.

"Kami seluruh karyawan PT. Domestik Distribution mengucapkan selamat datang kepada Bapak. Kami berharap, kiranya Bapak berkenan pada kami untuk mengabdi di perusahaan ini," sambut Arman pada Adriel. Adriel hanya mengangguk pelan dengan tatapan dinginnya, menyisir semua orang yang berdiri di hadapannya. Sudah dapat dipastikan, Sandra tidak terlewatkan.

"Terima kasih untuk sambutannya. Cukup sampai di sini saja, saya tidak suka sesuatu yang berlebihan apalagi terkesan dibuat-buat." Mendengar ucapan Adriel, Arman mengurungkan niatnya untuk memberikan kata-kata mutiara berikutnya.

"Jika kalian ingin mengabdi untuk perusahaan ini, maka tunjukkanlah kinerja terbaik kalian! Jika tidak, jangan tunggu saya yang mengeluarkan kalian!" Semua karyawan tertunduk mendengarkannya, kecuali Sandra yang memberanikan diri mengangkat kepala. Namun, ketika mata mereka beradu, Sandra memilih untuk mengalah.

"Perusahaan ini sudah mengalami penurunan drastis. Saya harap kalian bisa bekerja lebih keras dari sebelumnya untuk bisa mendongkraknya kembali. Siapa yang sanggup berjuang keras, silakan bertahan, jika tidak lebih baik kalian mundur dari sekarang. Saya beri waktu 60 detik untuk siapa yang ingin keluar." Adriel kembali berhenti bicara, tidak ada satu pun yang berani mengangkat kepala atau pun keluar dari barisan yang tanpa komando telah mereka bentuk dengan sendirinya.

"Waktu habis. Jadi, saya anggap kalian siap untuk berjuang di perusahaan ini. Selamat bekerja, lanjutkan pekerjaan kalian." Adriel mulai melangkahkan kakinya diikuti oleh Arman dan petinggi perusahaan lainnya.

"Satu lagi, untuk mendongkrak omset perusahaan ini kembali, saya akan berkantor di sini?" Ucapan Adriel membuat mata Sandra membelalak. Rencana Adriel ini di luar sepengetahuannya, entah apa maksudnya dengn semua ini.

Usai acara perkenalan itu, Adriel langsung menuju ruangannya yang telah disediakan. Sementara para karyawan kembali pada pekerjaan masing-masing, termasuk Sandra. Arman mengikuti Adriel dari belakang. Baru kali ini mereka melihat Arman sejinak itu, biasanya dia bagaikan singa jantan yang siap menerkam karyawan yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Kalian pasti punya pikiran yang sama denganku. Tapi, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil menaklukkannya." Maya mulai berkicau pada gadis-gadis yang ada di ruangan besar itu.

"Kamu, kan sudah punya pacar. Harusnya dia buat kami yang masih single ini," seloroh karyawan yang lain.

"Aku akan rela meninggalkan pacarku jika bisa mendapatkannya," ujar Maya mantap, seolah mimpinya itu akan segera menjadi kenyataan.

"Tapi, sepertinya dia pria dingin dan bos yang galak," timpal yang seorang lagi.

"Kucing mana, sih yang menolak kalau dikasih ikan?" Maya memainkan matanya.

Ada yang ikut tersenyum mendukungnya, ada juga yang meledeknya di balik senyuman yang dibuat-buat. Salah satunya adalah Sandra dan Mimi. Sandra tahu persis bagaimana berambisinya Maya untuk mendapatkan sesuatu. Apalagi, ada Sandra di kantor, dia akan selalu menunjukkan diri lebih hebat dalam segi apapun dari Sandra.

"Gayanya, macam yang paling cantik aja," bisik Mimi lagi pada Sandra.

"Kayak gak tahu dia aja," balas Sandra sambil kembali ke duduknya.

"Tapi, sumpah loh, dia ganteng banget. Wanita yang bisa mendapatkannya benar-benar beruntung. Dan yang pasti kecantikannya jauh di atas kita yang ada di ruangan ini." Mimi menertawakan diri sendiri.

"Mana tahu dia sudah punya calon istri atau bahkan istri dan anak di rumah. Apa kalian masih mengaguminya seperti ini juga?" tanya Sandra berusaha mematahkan semangat sahabatnya itu sebelum hatinya dipatahkan.

"Kalau untuk pria seganteng dan sekaya dia, jadi istri ke sekian pun aku rela." Mimi tersenyum sambil menerawang ke langit-langit.

"Ish! Kayak gak ada laki-laki aja."

"Laki-laki banyak, San. Tapi, yang seperti dia ini langka." Mimi menyolek pipi sahabatnya itu.

"Heran aku." Sandra bermaksud mengakhiri percakapannya, tapi Mimi masih saja mendekatinya.

"Aku yang heran sama kamu. Masa gak tertarik sedikit pun, pantas aja sampai saat ini kamu masih jomblo. Orang seganteng itu, loh Sandra sayang." Mimi tanpa sadar membesarkan suaranya, membuat Maya menoleh ke arah mereka.

"Kamu gak lihat wajahnya, matanya tubuhnya, apalagi bibirnya itu. Bermimpi bisa merasakannya saja, suda membuatku senang." Mimi semakin menggila dengan kekagumannya pada Adriel.

Sandra jadi teringat pada kejadian malam itu. Ketika wajah mereka tak berjarak dan Sandra bisa merasakan basah bibir laki-laki yang kini menjadi bosnya itu. Kejadian perdana yang dialami Sandra itu, masih sering terlintas di ingatannya.

"Sandra, kamu dipanggil Pak Arman." Tiba-tiba seorang teman mereka memberi tahu Sandra.

"Oh ya, terima kasih. Aku akan segera ke ruangannya." Sandra segera bangkit dari duduknya. Wajahnya berubah lemas, memikirkan kelanjutan kemarahan Pak Arman.

"Di ruangan Pak Adriel," beri tahunya lagi.

"Oo." Sandra menghentikan langkahnya, berusaha membangkitkan daya pikirnya untuk mengenali rencana Adriel.

"Permisi," ucap Sandra sembari mengetuk pintu ruangan Adriel.

"Masuk!" Sandra dapat mengenali itu suara Adriel.

Di dalam ruangan itu, ada Arman  dan Adriel. Mata keduanya tertuju pada Sandra yang baru saja muncul dari balik pintu. Perasaan Sandra mendadak tidak enak, teringat permasalahannya dengan Arman tadi pagi.

"Ini dia yang bernama Sandra, Pak. Dia salah seorang staf admin yang bertugas mengurus surat-surat kontrak dengan klien." Arman menjelaskan tanpa menyuruh Sandra duduk di sofa yang sedang mereka duduki.

"Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya, Sandra." Sandra membungkukkan badannya sedikit, bersikap profesional antara bawahan dan atasan dengan pura-pura tidak mengenal Adriel sebelumnya.

"Kamu yang menyebabkan kerja sama itu batal?" tembak Adriel langsung tanpa basa-basi.

"Maaf, Pak. Izinkan saya menjelaskannya." Sandra menoleh Arman yang tengah melirik padanya. Tatapannya seolah memperingati Sandra agar tidak menimbulkan masalah.

"Silakan," ujar Adriel, membuat Arman menarik napas panjang.

"Kebetulan saya libur pada hari penyerahan surat-surat itu. Namun, sehari sebelumnya saya sudah menyiapkan dan menyerahkannya pada rekan saya. Tiba-tiba saya dapat informasi bahwa surat-surat itu belum dibuat dan diserahkan." Arman kembali melirik Sandra. Biasanya, laki-laki itu selalu menganakemaskan Maya dibandingkan Sandra.

"Siapa rekanmu itu?" Sandra bingung bagaimana menjawab Adriel. Arman sudah memberi isyarat agar dia tidak mengatakannya.

"Saya rasa ini tidak perlu dipermasalahkan, Pak. Biar saya yang mengurus Sandra, saya yang akan memberi sangsi atas kelalaiannya," timpal Arman sebelum Sandra menutuskan untuk jujur.

"Kamu tidak berhak!" Adriel membentak Arman, membuat laki-laki itu terperanjat.

"Saya tidak suka ada karyawan yang tidak jujur. Saya ingin membuktikan kejujurannya. Kamu harus tanggung resikonya jika kamu ternyata berbohong." Adriel menatap lurus pada Sandra.

"Saya tidak akan tega mengorbankan orang lain hanya untuk menutupi kesalahan saya sendiri, Pak," tegas Sandra.

"Baik, sekarang katakan!" desak Adriel.

"Rekan yang seprofesi dengan saya, Pak." Arman menatap marah pada Sandra yang mengatakannya.

"Panggil dia," suruh Adriel.

Dengan ragu, Sandra keluar untuk memanggil Maya. Kalau bukan karena Adriel yang tampan, dia tidak akan mau menuruti Sandra. Maya dan Sandra masuk ke dalam ruangan Adriel bersamaan.

"Apa benar Sandra telah memberimu surat kontrak itu sehari sebelum dia cuti?" tanya Adriel tanpa basa-basi ataupun perkenalan dari Maya. Sebelumnya Sandra telah menceritakan perihal sepupunya itu karena termasuk dalam tujuan rencana mereka.

"Sa-saya tidak ...."

"Saya paling benci dengan pembohong, apalagi sampai mengorbankan orang lain. Ingat, saya bisa melakukan apapun untuk membuktikannya, sekarang yang saya minta hanya kejujuran." Adriel memotong Maya yang kesulitan berbicara.

"Saya lupa, Pak." Maya melirik Sandra dengan marah.

"Lupa apa?" Suara Adriel meninggi.

"Lupa kalau surat itu sudah diberikan pada saya."

"Pak Arman, silakan urus sangsi untuk dia. Sekarang kalian bisa keluar." Adriel mengakhiri sidang kecil itu. Sandra akhirnya bisa bernapas lega.

"Dan kamu, masih simpan file-nya?" Sandra mengangguk, menjawab pertanyaan itu.

"Print, ganti namanya dengan nama saya! Saya tunggu kamu di ruangan saya ini."

Usai mengatakanya, mereka bertiga segera keluar. Tampak jelas rona kemarahan terpancar dari wajah Maya. Kekagumannya pada Adriel berkurang, sementara kebenciannya pada Sandra semakin meningkat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status