Share

Chapter 4

     Tetapi ironisnya, rakyat Ming tidak menyadari negeri mereka telah berada di ambang kehancuran. Mereka masih tertawa bahagia, para anak muda bahkan menenggelamkan diri ke dalam pesta-pesta yang memabukkan. Di Paviliun Miao Yuan, pesta diadakan siang dan malam. Siang untuk anak-anak muda yang belum bekerja ataupun pengangguran, malam untuk para tua-tua keladi yang masih haus akan hiburan. 

     Salah satu pelanggan setia Paviliun Miao Yuan adalah seorang pemuda awal  dua puluhan bernama Sun He Xian. Ia datang boleh dibilang setiap hari. Sun He Xian adalah seorang pemuda yang periang, bebas dan selalu seenaknya sendiri. Ia pandai menikmati waktunya untuk bersenang-senang. Biasanya yang ia kerjakan di Miao Yuan adalah bernyanyi, menari, bersyair, pula membicarakan banyak tema yang suka diangkat orang dalam obrolan. Banyak orang salut akan wawasan dan cara berpikirnya yang dianggap dalam namun menginspirasi. Yang terakhir ini sangat aneh. Seharusnya orang-orang yang memiliki pola pikiran macam itu lebih suka mendedikasikan dirinya untuk bekerja dan merealisasikan kemampuannya, dan bukannya malah lebih banyak menghabiskan waktu dalam kesenangan duniawi semata. Itulah yang membuat ayah Sun He Xian   yang merupakan salah satu saudagar terkaya di ibukota Ming -  merasa kesal dengan anaknya. 

     "Anak itu sebetulnya sangat pintar, tapi malasnya minta ampun!" Sang ayah membentak marah saat menemukan anaknya lagi-lagi kabur ketika disuruh mengerjakan salah satu transaksi dagang.

     Ibu He Xian ikut menimpali, "Ia begitu karena selama ini terlalu dimanja dan tidak pernah memiliki tanggung jawab. Kalau kita memberinya sebuah tanggung jawab yang cukup besar, mungkin dia akan berubah."

     "Mau diberi tanggung jawab besar? Tanggung jawab kecil saja tidak mau ia kerjakan!"

     "Aku punya usul bagaimana kalau kita menjadikannya pejabat pemerintah?"

     "Dengan sifatnya yang seperti itu?!" Tuan Sun tampak ngeri. "Dia bisa membuat keributan di istana! Malah makin merepotkan kita!"

     "Aku telah membicarakan ini dengan kakak sepupuku." Kakak sepupu Nyonya Sun adalah salah satu pejabat teras di pemerintahan. "Dan kakak bilang, Perdana Menteri Zhan tertarik menjadikan He Xian sebagai muridnya sekaligus asisten pribadinya."

     Senyum merekah di bibir Tuan Sun. "Oh. Bagus sekali! Perdana Menteri Zhan kan terkenal sebagai Perdana Menteri paling bijak dalam seluruh generasi pemerintahan Ming. Ia mau mendidik He Xian merupakan suatu anugerah yang luar biasa. Siapa tahu ia mampu mengubah anak itu menjadi lebih baik."

     "Kakakku juga telah mengatur pertemuan mereka berdua. Perdana Menteri sepakat menemui He Xian pada pukul tujuh malam esok hari."

     "Mau jam berapa juga boleh. Toh anak itu tidak punya kerjaan, selain main-main di Miao Yuan."

     He Xian sendiri amat tidak senang dengan pengaturan itu.

     "Bekerja di pemerintahan? Yang benar saja! Aku tak mau bekerja untuk orang-orang munafik itu!" He Xian berkata seenaknya, lalu melemparkan diri ke sofa yang langsung melesak dalam.

     "Kau ini!... Mengurus dagangan tidak mau, menjadi pejabat juga tidak mau, masakan kau mau hidup hanya dengan bermalas-malasan saja?!?" Tuan Sun berteriak murka.

     "Bukan itu, Ayah. Orang-orang pemerintahan itu semuanya sama, rakus dan hanya mementingkan diri sendiri. Mereka itu cuma omong besar bilang demi negara padahal..." He Xian menjulurkan lidahnya. "Kalau aku kerja di sana, otomatis aku kerja jadi budak mereka. Mana aku rela! Mending juga bersenang-senang, ketahuan jelas itu demi diriku sendiri."

     Tuan Sun menghela nafas, sangat keras dan panjang. "Tapi setidaknya kau harus datang besok!... Ibumu sudah membuat perjanjian dengan Perdana Menteri, kalau kau membatalkannya apa kau tidak sayang dengan ibumu? Ibumu yang akan menanggung resikonya bahkan bisa saja ia kehilangan nyawanya!"

     Diancam seperti itu, mau tak mau He Xian datang menemui Perdana Menteri Zhan keesokan harinya.

***

     Tuan dan Nyonya Sun meninggalkan puteranya di kediaman Perdana Menteri pada pukul setengah tujuh malam. Sang Perdana Menteri masih belum pulang, jadi He Xian terpaksa harus menunggu di ruang tamu. Sampai pukul delapan malam, yang ditungg masih belum datang juga. He Xian sudah amat gelisah. Masalahnya, tidak ada yang menemaninya berbicara. Ia yang sudah biasa dalam hingar bingar pesta kini merasa amat kesepian dan tertekan. Ia mulai berjalan mondar-mandir, melemparkan pandangan tidak sabar ke segala arah serta melantunkan syair-syair panjang bertemakan kesepian dan penantian.

     "Sungguh syair yang indah sekali. Akan lebih baik lagi bila itu didentangkan di bawah bulan purnama, ditambah iringan kecapi melengkapi kesenduan."

     He Xian tertegun. Ia menoleh ke asal suara itu. Seorang pria sudah sangat tua mungkin ada tujuh puluhan  dengan rambut dan janggut panjang dan memutih seluruhnya. Saat memandang bola matanya, He Xian entah mengapa diselimuti perasaan damai dan menenteramkan. Pemuda itu segera tanggap, sang kakek tua pastilah Perdana Menteri Zhan.

    "Maafkan aku membuatmu menunggu lama, Nak. Negeri kita tengah dalam krisis yang amat membahayakan. Bila tidak segera diatasi, negeri kita akan hancur." Nada suara sang Perdana Menteri terdengar lambat-lambat, seakan mengisyaratkan keletihan yang amat sangat. Mendadak, He Xian merasa amat kasihan padanya.

     Sang Perdana Menteri melangkah menuju salah satu lemari besar dan membukanya, lalu mengambil sebuah kecapi. "Kau keberatan bila kau kembali mengulangi syair tadi? Sekarang, aku akan mengiringinya dengan kecapi."

     "Ehm.. yah, boleh-boleh saja..."

     Dengan acuh tak acuh, He Xian mengulangi sekali lagi syairnya. Betapa terkejutnya ia mendapati ketikan kecapi menambahkan nuansa yang amat jauh berbeda. Syairnya menjadi begitu indah, mempesona... dan hidup. Gila, kakek ini pasti bukan orang biasa! Dia bisa membuat syair asal-asalanku menjadi begitu menakjubkan!...

      "Kau salah Nak. Syairmu ini memang indah, aku hanya menambahkannya sedikit. Pula, pada dasarnya syair adalah pancaran hati. Apa yang terpatri dalam pikiran si penyair  itulah yang akan syairnya pancarkan." Perdana Menteri Zhan menatap lurus tepat ke bola mata He Xian. "Syairmu mengatakan, kau adalah seorang  yang amat kesepian. Kau memang hidup dalam kemewahan dan selalu bersenang-senang, namun hatimu hampa dan senantiasa merindukan kasih sayang tulus. Maafkan aku bila pertanyaanku kurang sopan, namun apakah orangtuamu tidak memberimu perhatian yang cukup?"

     He Xian membelalak, tak percaya pada apa yang barusan didengarnya. "Kakek... Eh maksudku, Tuan Perdana Menteri..."

     "Panggil saja aku kakek, aku lebih menyukai panggilan yang akrab."

     "Ya... Maksudku, bagaimana Anda bisa tahu?... Anda dulu pernah mempelajari teknik meramal?"

     "Tidak perlu menjadi peramal untuk bisa mengetahui apa yang seseorang rasakan. Yang diperlukan hanya kepedulian."

     He Xian menunduk. "Kakek benar... Walaupun aku kaya dan kehidupanku selalu berlebih, namun orangtuaku selalu sibuk menambah kekayaan dan mempertahankan nama besar. Mereka memandangku hanya sebagai penambah prestise mereka. Kalau aku berprestasi, mereka membanggakanku ke seluruh sanak saudara. Kalau aku sedikit saja jatuh, mereka mencecarkan serentetan makian dan pembandingan dengan saudaraku yang lain. Seakan aku hidup hanya untuk membuat mereka bangga, itu saja." Ia menggigit bibir, menimbang sebentar perlukah ia mengucap kata-kata berikutnya, namun pandangan Perdana Menteri Zhan yang menenangkan membuatnya meneruskan, "Pastilah kakek tahu dengan jelas mengapa mereka membawaku kemari. Mereka tidak suka melihatku merusak nama mereka setiap hari. Mereka ingin aku menjadi pejabat dan membuat mereka bangga."

     He Xian terdiam. Suasana menjadi sunyi senyap.

     "Nak, tanyakanlah pada dirimu sendiri; Apa sebenarnya hal yang paling ingin kaulakukan di dunia ini?"

     Karena tidak ada yang pernah menanyakan hal ini sebelumnya, He Xian membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berpikir.

     "Aku belum pernah mempertimbangkan hal ini sebelumnya, jadi aku tak mengetahui apa jawabannya." He Xian menjawab jujur. "Tetapi... Bila itu bisa membuatku mendapatkan kasih sayang tulus, aku rela melakukan apapun."

     "Hanya dari orangtuamu?"

     He Xian mengangkat bahu. "Yah..."

     "Bagaimana bila dari orang lain? Lebih banyak orang lain?"

     "Maksud kakek?"

     "Bila kau menjadi sepertiku, kau akan mendedikasikan hidupmu bagi orang banyak. Bila kau bisa mengerjakannya dengan baik, dan membuat negerimu jaya dan makmur, membuat rakyat berbahagia, pada nantinya mereka akan menyayangimu, secara tulus. Karena sekarang ini sudah sangat sedikit pejabat yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Kalau mereka benar pejabat sejati, mereka tidak akan hidup terlalu mewah karena hartanya mereka bagikan untuk yang membutuhkan."

     Kata-kata sang Perdana Menteri menjawab pertanyaan He Xian mengapa kediaman orangtua itu malah jauh lebih sederhana dari rumahnya padahal ia seorang Perdana Menteri. Pemuda itu merenung. Memang, bersenang-senang dan berpesta setiap hari tidak membuat kesepiannya hilang. Seperti orang meminum candu, kenikmatannya hanya sesaat, begitu candunya habis iapun kembali ke dunia nyata yang ingin dihindarinya.

     Ya, benar juga kata-kata orangtua ini. Toh ia tidak berniat sama dengan pejabat lainnya, ia bukan menjadi pejabat untuk menumpuk kekayaan. Ia akan melakukannya untuk mendedikasikan dirinya semata. Untuk kebahagiaan orang lain.

     Bila ia terlebih dahulu memberi kebahagiaan pada orang lain, maka mereka otomatis akan memberinya kebahagiaan.

     Mengapa tidak terpikirkan olehnya hal ini sejak dulu?

     "Kakek. He Xian berujar mantap. Aku rela bekerja di bawah bimbingan Anda. Aku bersedia mengabdikan diri demi negara."

     Perdana Menteri Zhan tersenyum, sangat lebar. "Kalau begitu, mulai besok ikutlah denganku ke istana. Aku akan memperkenalkanmu dengan Kaisar."

     Walaupun He Xian seorang yang bebas dan seenaknya, keder juga dia begitu mendengar akan dipertemukan dengan Kaisar. "A... a... aku akan bertemu dengan... Kaisar???"

     "Tak perlu gugup begitu. Sang Kaisar adalah seorang remaja yang baik juga sangat ramah. Ia bahkan lebih muda darimu." Perdana Menteri Zhan menaruh kembali kecapinya ke dalam lemarinya. "Hari sudah malam, sebaiknya kita beristirahat. Kau menginaplah di sini... Melihat raut wajah He Xian, ia menambahkan. Aku sudah meminta izin pada orangtuamu, jadi tenanglah. Pula kita harus berangkat pagi-pagi sekali besok. Mari, aku antar kau ke kamarmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status