Mereka telah sampai ke taman Istana Belakang yang sangat luas. Jenderal Wei membacakan titah Kaisar Han yang menentukan akan dibawa ke mana mereka, dan nasib apa yang akan menimpa mereka selanjutnya.
Begitu dekrit dibacakan sampai Puteri Yan Xu, Ibu Suri kontan menjerit.
"Puteri Ming Yan Xu, akan diangkat menjadi selir Perdana Menteri Kang."
"TIDAK!!!" Ibu Suri meraung histeris, ia kini sibuk menyembah-nyembah. "Ampunilah Puteriku, dia baru lima belas tahun! Kalian boleh membunuhku, tapi jangan ambil puteriku!..."
Jenderal Wei tidak mempedulikannya, "Mengenai Perdana Menteri Zhan..."
Ibu Suri kini merangkak sampai tepat di bawah lutut Jenderal Wei, "Tuan Kami mohon kemurahan hati kalian, kami mohon..."
"Diam kau, nenek tua! Bukan kau yang berkuasa lagi di sini!" Jenderal Wei menendang Ibu Suri, menyebabkan ia terjerembab ke lantai. "Jangan ganggu aku membacakan titah!"
Kaisar segera maju menolong ibunya. "Tuan... masih banyak gadis cantik yang bisa kami persembahkan bagi perdana menteri kalian, tapi tolong jangan ambil adik saya. Dia masih kelewat kecil..."
Puteri Yan Xu sendiri sibuk menahan ibu dan kakaknya, "Ibu... kakak... sudahlah... jangan hanya karena demi aku kalian menderita begini!"
"Ini titah Kaisar. Kalian tidak berhak mengubahnya." Jawaban dingin Jenderal Wei membuat jeritan dan isak tangis di sekitarnya makin menjadi-jadi.
He Xian tidak tahan lagi. Ia merampas pedang yang terselip di pinggang orang sebelahnya, lalu segera maju mengarahkan pedangnya ke hadapan Jenderal Wei. "Kalian manusia keparat! Baik tuan dan anjingnya semua sama saja, tidak berperikemanusiaan! Hari ini, aku Sun He Xian, bersumpah akan membuat perhitungan dengan kalian!"
Sekaranglah saatnya aku bisa mendedikasikan diriku untuk kebahagiaan orang lain.
"Sun He Xian! Kembali!" Perdana Menteri Zhan berusaha memanggil, bagaimanapun ia tahu seruannya sia-sia. He Xian terlanjur telah menyulut kemarahan pasukan Han. Kini seluruh pasukan mengepungnya dan tidak ada seorangpun yang bisa menolongnya.
Namun di luar dugaan sang Perdana Menteri, He Xian cukup tangguh melawan pasukan musuh yang jumlahnya ratusan itu. Sang perdana menteri pun berpikir bangga dalam hati, Ia memiliki kemampuan beladiri yang sangat bagus. Pantas saja keluarganya selalu mengatakannya sebagai anak jenius yang terlalu malas. Bagus sekali, He Xian. Sebagai gurumu, aku amat bangga padamu.
Melihat keberanian He Xian, nyali para bangsawan yang tadinya telah padam menyala kembali. Mereka segera mengangkat senjata dan ikut bertempur, walau mereka tahu kesempatan mereka menang amat tipis. Mereka rela berkorban demi negara.
Aksi pembesar Ming rupa-rupanya membuat pasukan Han kewalahan juga. Jenderal Wei sampai harus memerintahkan barisan panah turun tangan.
Anak-anak panah segera melesat memenuhi udara, mengenai siapa saja yang bernasib naas. He Xian tidak lantas menjadi gentar, ia malah semakin beringas menerjang.
Sampai ia mendengar jeritan seorang tua yang amat dikenalnya, tepat di belakangnya. Ia segera menoleh. Jantungnya berdegup keras tatkala menemukan Perdana Menteri Zhan telah tersungkur di tanah dengan panah menancap tepat di bagian jantung.
"Kakek!!!..." He Xian berteriak histeris. Sang Perdana Menteri, demi melindunginya dari anak panah yang menyerang dari belakang, menjadikan dirinya sebagai tameng. Benar-benar naas, panah itu tepat menancap di jantungnya.
"He Xian..." Setengah mati Perdana Menteri Zhan berjuang mengeluarkan suaranya. "Kau seorang anak yang amat baik. Aku amat bangga padamu..."
Air mata mulai mengaliri pipi He Xian. "Kakek... jangan paksa diri berbicara..."
"Nyawaku tinggal... sebentar lagi” Suara sang Perdana Menteri terdengar semakin lemah. Aku ingin kau berjanji satu hal padaku..."
He Xian menangguk-angguk panik. "Katakan, Kek. Aku akan mematuhinya!"
"Berjanjilah bahwa di manapun kau berada nantinya kau akan mendedikasikan dirimu untuk kebenaran dan kebaikan dan bukan untuk egomu sendiri...."
"Ya Kakek. Aku berjanji."
"Bagus sekali... sekarang aku bisa pergi dengan tenang..." Perdana Menteri Zhan menutup matanya, meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
"Kakek Zhan..." He Xian menatap lama jenasah kakek tua yang begitu ramah dan baik hati. Kakek yang begitu mengerti akan dirinya. Kakek yang telah memberinya prinsip penerang jalan hidupnya.
Pemuda itu berdiri, jenasah Perdana Menteri Zhan ada di gendongannya. Ia merasakan dirinya kosong. Ia bahkan tidak sadar ketika prajurit Han menyeretnya menaiki kereta perang. Semua suara terdengar sayup-sayup baginya. Ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk meladeni rasa ingin tahunya terhadap dunia.
"Apa katamu?! Bisa-bisanya kalian malah membunuhnya!" Ming Shi tampak amat murka, Jenderal Wei yang ketakutan cepat-cepat berlutut meminta pengampunan, "Beribu maaf saya haturkan atas kesalahan saya, Yang Mulia, namun ini bukanlah hal yang kami sengajai. Semua ini terjadi karena kekacauan yang ditimbulkan seorang pemuda..." "Lantas, apa hanya karena seorang pemuda kalian jadi boleh melanggar perintahku seenaknya?! Kau tahu, bagitu inginnya aku bertemu dengan Perdana Menteri Zhan. Ia adalah Perdana Menteri legendaris, dengan adanya dia di sini akan sangat membantu kemajuan negeri kita!" "Saya sangat menyesal..." "Menyesal saja tidak cukup untuk menebus kesalahanmu. Satu-satunya yang bisa menebusnya hanyalah dengan nyawamu!" "Saya..." Tapi belum sempat Jenderal Wei melanjutkan kalimatnya, Sekretaris Li tiba-tiba maju dan berlut
"Yang Mulia, kami telah membawa Sun He Xian kemari." He Xian kini telah sampai ke ruang pribadi di mana Kaisar Han berada. Dengan pandang penuh kebencian ia mengarahkan tatapannya ke sang Kaisar. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan sang Kaisar sangat bertolak belakang dengan bayangannya tentang kaisar kejam dan mengerikan yang sangar; pemuda ini sangat tampan rupawan, mimik wajahnya pula amat ramah, dan saat ia membuka mulut berbicara, suaranya terdengar sangat lembut. "Selamat datang di istana kami, Tuan Sun, dan mohon maafkan kami bila Anda diperlakukan sangat buruk. Terjadi kesalahpahaman karena Anda dulunya adalah pejabat negeri Ming. Namun Anda boleh yakin kami tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." He Xian menangkap sekilas kilatan aneh dalam bola mata sang Kaisar. "Kaisar Han, saya adalah pejabat musuh. Membiarkan saya hidup hanya akan me
Setelah berpikir semalaman, He Xian siap melaporkan keputusannya pada Ming Shi. “Saya berterima kasih atas penghargaan Yang Mulia terhadap saya. Saya bersedia menjabat Menteri Teras Kiri... ” Pemuda itu berhenti sejenak. “... namun dengan satu syarat.” Aula langsung gaduh. Beberapa pejabat memprotes keras He Xian yang mereka anggap sudah kelewatan. Ming Shi mengangkat tangan, membuat mereka terdiam. “Silakan Tuan Sun katakan apa syarat Anda. Aku akan mempertimbangkan.” “Saya minta Yang Mulia tidak menghukum mati mantan junjungan saya, Kaisar Ming, serta kolega-kolega pejabat Ming.” Aula kembali gaduh, lebih dari pada sebelumnya. Ming Shi terdiam sejenak. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Toh, pada dasarnya aku memang tidak berniat menghukum mati mereka. Sekarang juga aku akan menyuruh pengadilan
Yan Cheng dan He Xian datang tepat pada waktunya. “Apa yang kaulakukan, orang gila keparat?! Lepaskan adikku, atau kubunuh kau!” Yan Cheng berteriak marah. Perdana Menteri Kang tampak beringas, “Hah! Kaukira siapa kau berani memerintahku! Kau hanyalah kaisar yang telah kehilangan kekuasaan! Kalian orang-orang Ming hanyalah para pecundang yang sudah kalah, yang hidup matinya tergantung dari belas kasihanku, dan karenanya harus tunduk padaku!” “Perdana Menteri Kang, hentikan! Atau aku akan melaporkan pada Baginda!” He Xian ikut berseru. “Hah, silakan saja! Aku tak takut! Kaisarpun tidak berani seenaknya terhadapku!” “Betulkah demikian, Kang Qin Song?” Suara itu membuat jantung Perdana Menteri Kang berdegup kencang. Ia mengangkat kepalanya, dan tampaklah Ming Shi berdiri tepat di hadapannya.
Sementara para tentara bersantai dan mengistirahatkan tenaga mereka, He Xian membentangkan peta Chang, mempelajarinya. Ia tidak tahu banyak tentang Chang. Yang diketahuinya hanyalah, negara itu mempunyai budaya dan kesenian yang sangat indah. Seni tari dan seni musik mereka, terutama yang berhubungan erat dengan mistik dan religi, keindahannya tak dapat diungkap dengan kata-kata. Dan rakyat Chang telah berhasil mempertahankan budaya itu selama ribuan tahun. Keindahan seni budaya itulah yang banyak menarik turis dari negeri lain untuk datang ke Chang. He Xian sendiri bahkan berniat untuk menyaksikan tarian Chang yang termashyur itu, tentu saja ketika ia berhasil menyelesaikan tugas! Namun selain keindahan seni budayanya, He Xian tidak tahu apa-apa lagi tentang negara itu. Karena itulah sekarang ia tengah mencari daerah-daerah strategis di Chang yang bisa ia jadikan basis penyerangan. Dari peta, ia berhasil mendapatkan beberapa, namun me
Kemudian, ia tersenyum. “Karena kita punya nasib yang sama, sama-sama sebagai kaum terjajah, bagaimana jika kalian membantu kami?” tanyanya santai. “Tentu, jika Anda ingin turut bergabung melawan Han, kami akan dengan senang hati siap membantu Anda.” “Oh, bukan untuk itu. Aku tetap setia pada Han.” Seluruh pemberontak menggerung keras. He Xian tersenyum semakin lebar. “Jika kalian tidak bersedia, aku juga tidak akan memaksa. Karena itu, izinkan aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai wakil Han.” He Xian berpaling ke arah Sersan Zhen, “Kira-kira, apakah mereka sudah selesai?” “Kurang lebih, Tuan.” “Bagus,” Ia kembali menoleh ke arah Tuan Li dan lainnya. “Silakan kalian pergi keluar dan lihat, apa yang sedang terjadi.” Para pemberontak kelihat
Ming Shi menatap pemuda yang baru saja berdebat dengannya itu menghilang di balik pintu, wajahnya berkeriut tidak senang. Bahkan sekarang, anak ingusan itu, yang pula berstatus jauh lebih rendah darinya, pun berani memprotesnya? Padahal ia sudah muak melayani komentar-komentar sok itu. Ia bekerja keras memikirkan yang terbaik buat bangsanya, dan ia sebagai pemimpin tentu saja tahu apa yang terbaik bagi negeri yang dipimpinnya. Tapi, mengapa protes-protes itu tetap saja ada? Bahkan, bukan hanya Chang saja yang melancarkan aksi perlawanan. Banyak negeri-negeri vassal lainnya yang turut memberontak, walaupun masih tidak separah Chang. Mengapa sulit sekali untuk membimbing mereka - orang-orang rendahan itu - untuk bisa mengerti akan jalan yang benar? Iapun teringat akan kata-kata salah seorang leluhurnya, “Bila kau tidak bisa menuntut sesuatu dengan kebaikan, maka gunakanlah kek
Masih ada tiga negara yang belum berhasil dikuasai Han. Yeong-Shan, Khanate dan Qi. Ming Shi memastikan ambisinya harus dapat terwujud. Ia harus menguasai ketiga negara itu. Target pertamanya adalah Yeong-Shan. Ia membicarakannya dalam rapat kerajaan. “Sudah tiba waktunya kita mengerahkan pasukan menaklukkan Yeong-Shan. Ada yang mempunyai usul mengenai ini?” Jenderal Wei maju ke depan. “Lapor, Yang Mulia. Pasukan kita berada dalam stamina puncak. Bila kita menyerang Yeong-Shan, kemenangan sudah pasti berada di pihak kita.” Tidak ada tanggapan dari menteri lainnya. Menganggap kebisuan mereka sebagai tanda persetujuan, Ming Shi bangkit berdiri, mengeluarkan titahnya. “Kuperintahkan Menteri Sun memimpin 100.000 pasukan, untuk segera pergi menaklukkan Yeong-Shan!” *** Yeong-Shan terletak