Setelah berpikir semalaman, He Xian siap melaporkan keputusannya pada Ming Shi.
“Saya berterima kasih atas penghargaan Yang Mulia terhadap saya. Saya bersedia menjabat Menteri Teras Kiri... ” Pemuda itu berhenti sejenak. “... namun dengan satu syarat.”
Aula langsung gaduh. Beberapa pejabat memprotes keras He Xian yang mereka anggap sudah kelewatan. Ming Shi mengangkat tangan, membuat mereka terdiam.
“Silakan Tuan Sun katakan apa syarat Anda. Aku akan mempertimbangkan.”
“Saya minta Yang Mulia tidak menghukum mati mantan junjungan saya, Kaisar Ming, serta kolega-kolega pejabat Ming.”
Aula kembali gaduh, lebih dari pada sebelumnya. Ming Shi terdiam sejenak.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Toh, pada dasarnya aku memang tidak berniat menghukum mati mereka. Sekarang juga aku akan menyuruh pengadilan membebaskan mereka.”
He Xian membungkuk, menghaturkan penghormatan dan ucapan terima kasih.
***
“Anak itu terlalu seenaknya mengatur-ngatur, Yang Mulia. Bagaimana mungkin Anda menjadikan orang seperti itu pejabat, dengan tingkatannya sangat tinggi pula?” Perdana Menteri Kang mengajukan keberatannya.
Ming Shi menghela nafas. “Ini keputusanku. Jangan membantah lagi.”
“Tidak bisa! Ini berhubungan erat dengan kelangsungan negara kita! Aku tidak melihat satupun alasan kuat mengapa dia harus menjadi Menteri Teras Kiri! Kecuali...”
“Kecuali apa?”
Perdana Menteri Kang menelan ludah, lalu mengatakan sesuatu yang ia rasa memang terlalu berani, “Kecuali Anda tidak bisa menilai kemampuan seseorang dan hanya melihat permukaan luar saja!...”
Ming Shi membanting cangkir tehnya. “Secara tidak langsung kau mau mengatakan aku bodoh?!”
Perdana Menteri Kang tidak mengucapkan sepatah katapun.
“Selama ini aku tetap bersabar dan menghargai Anda karena Anda adalah satu-satunya pamanku dari pihak Ayahanda. Selama ini aku tetap diam, walaupun aku tahu dengan jelas Anda yang memberi saran pada Ayahanda untuk mengadakan pertandingan dengan tema yang membuatku kalah telak. Aku tetap bersabar memberikanmu banyak gundik-gundik muda walaupun akulah yang mereka kecam sebagai pemimpin tidak bermoral. Dan masih banyak lagi. Aku tetap bersabar, karena menghormati Anda adalah wewenang terakhir Ayahanda tepat saat ia meninggal. Tapi bagaimanapun juga, kesabaranku ada batasnya.” Pelan-pelan Ming Shi berdiri, berjalan ke arah pintu.
Sesuatu dalam kalimat Ming Shi membangkitkan emosi Perdana Menteri Kang. “Bicara tentang budi, seharusnya kaulah yang berutang budi padaku! Aku bisa saja mengadukan trik curang yang kaulakukan saat penentuan ahli waris itu pada ayahmu, tapi aku tak melakukannya, karena aku percaya dari segi kemampuan kau memang lebih pantas memenangkan pertandingan itu! Ternyata, aku...” Pria tua itu mendesah keras-keras, “... Salah duga!”
Ming Shi menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. Ia berpaling ke belakang.
“Kelihatannya Anda terlalu yakin aku tidak berani menyingkirkan Anda, Paman.” Ming Shi berkata lambat-lambat, sinar matanya memancarkan ancaman yang amat sangat. Iapun keluar dari ruangan.
***
Ming Shi tidak hanya mengampuni nyawa Kaisar Ming, Yan Cheng, dan bangsawan Ming lainnya, ia pun tidak menghapuskan gelar-gelar kebangsawanan mereka. Yan Cheng misalnya, ia tetap bertugas mengepalai Ming yang sekarang telah menjadi negara bagian Han.
Yan Cheng menghaturkan terima kasih yang amat sangat pada He Xian. “Kami semua berutang budi padamu.”
He Xian tersipu. “Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan. Saya juga turut senang Kaisar Han ternyata dengan mudah mengabulkan permintaan saya.”
“Ia nampaknya sangat menghargaimu, Kak. Tetapi penilaiannya sungguh sangat tepat. Kau seorang yang amat baik, Kak He Xian.”
“Saya hanya melaksanakan seperti pedoman Perdana Menteri Zhan. Ngomong-ngomong Yang Mulia, apa yang hendak Anda lakukan setelah ini?”
“Apa yang hendak aku lakukan? Tentunya menunggu perintah dari atas, berbeda dengan dulu aku bisa memutuskan sendiri. Bagaimanapun, Ming sebetulnya sudah cukup kuat dan aku tidak perlu bersusah payah...”
Tiba-tiba terdengar seruan tidak wajar dari semak belukar di belakang mereka. Yan Cheng cepat mengenali itu suara adiknya, Yan Xu.
“Yan Xu, ada apa?!?” Tanpa pikir panjang Yan Cheng segera menerobos semak belukar yang menghalangi jalannya. He Xian berlari mengikutinya.
***
Saat itu Yan Xu tengah mengambil barang-barangnya yang ketinggalan. Ia berjalan cepat setengah berlari, rambutnya yang panjang berkibar indah dimainkan angin.
Ming Yan Xu merupakan gadis yang amat cantik. Perihal mengenai kecantikannya telah menyebar ke seluruh penjuru. Berapa banyak bangsawan bahkan pangeran-pangeran dari negeri tetangga telah mengirimkan lamaran padanya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menarik hati Yan Xu. Saat orangtuanya menanyakan alasan mengapa ia selalu menolak lamaran-lamaran itu, Yan Xu menjawab seenaknya, “Aku hanya ingin menikah dengan orang yang memiliki kekuasaan sangat besar.”
Kening sang Ibu berkeriut tak mengerti, “Tapi banyak dari mereka adalah pangeran yang sangat berkuasa.”
“Bukan, bukan seperti mereka. Aku menginginkan seseorang dengan kekuasaan jauh... lebih besar. Penguasa dunia.”
Ia sengaja berkata begitu karena ia tahu takkan ada seorangpun yang mampu memenuhi kriterianya. Gadis itu masih ingin hidup bebas. Pula ia merasa usianya masih muda, ini adalah saat terindah menikmati hidup, dan bukannya terikat dalam perkawinan.
Karenanya, saat negeri penakluk Han memaksanya menjadi gundik Perdana Menteri Kang, Yan Xu merasa sangat frustrasi. Perdana menteri yang gila daun muda itu memang sudah lama mengidam-idamkannya, hanya saja ia masih tidak berani karena statusnya yang lebih rendah dari sang putri. Saat Han berhasil menaklukkan Ming, Perdana Menteri Kang bersorak gembira, dengan cepat ia mengeluarkan keputusan berat sebelah itu.
Tetapi karena dekrit Ming Shi selanjutnya adalah mengembalikan status kebangsawanan pembesar Ming, termasuk Yan Xu, maka Perdana Menteri Kang tidak berhak lagi memaksa Yan Xu menjadi gundiknya. Perdana Menteri Kang kesal luar biasa, pula perseteruannya dengan Ming Shi membuat amarahnya semakin menjadi-jadi.
Perdana Menteri Kang yang emosinya tengah memuncak itu secara tidak sengaja melihat Yan Xu tengah berlari. Gerak-geriknya yang bebas membuat pikirannya yang tengah kacau bertambah semrawut. Melihat tidak ada seorangpun berada di sana kecuali mereka berdua, Perdana Menteri Kang dengan ganas segera menerkam Yan Xu.
“Putri Yan Xu, bagaimanapun juga kau harus menjadi milikku!”
“Argh!!! Apa yang kaulakukan orangtua gila?!” Yan Xu meronta. “Tolong, ada orang gila mau mencelakaiku!”
Namun sekeras apapun Yan Xu meronta, ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman perdana menteri yang tengah dilalap nafsu itu. Ia semakin tenggelam... sebentar lagi keperawanannya terenggut, dan ia tidak mampu melawan sama sekali.
Yan Cheng dan He Xian datang tepat pada waktunya. “Apa yang kaulakukan, orang gila keparat?! Lepaskan adikku, atau kubunuh kau!” Yan Cheng berteriak marah. Perdana Menteri Kang tampak beringas, “Hah! Kaukira siapa kau berani memerintahku! Kau hanyalah kaisar yang telah kehilangan kekuasaan! Kalian orang-orang Ming hanyalah para pecundang yang sudah kalah, yang hidup matinya tergantung dari belas kasihanku, dan karenanya harus tunduk padaku!” “Perdana Menteri Kang, hentikan! Atau aku akan melaporkan pada Baginda!” He Xian ikut berseru. “Hah, silakan saja! Aku tak takut! Kaisarpun tidak berani seenaknya terhadapku!” “Betulkah demikian, Kang Qin Song?” Suara itu membuat jantung Perdana Menteri Kang berdegup kencang. Ia mengangkat kepalanya, dan tampaklah Ming Shi berdiri tepat di hadapannya.
Sementara para tentara bersantai dan mengistirahatkan tenaga mereka, He Xian membentangkan peta Chang, mempelajarinya. Ia tidak tahu banyak tentang Chang. Yang diketahuinya hanyalah, negara itu mempunyai budaya dan kesenian yang sangat indah. Seni tari dan seni musik mereka, terutama yang berhubungan erat dengan mistik dan religi, keindahannya tak dapat diungkap dengan kata-kata. Dan rakyat Chang telah berhasil mempertahankan budaya itu selama ribuan tahun. Keindahan seni budaya itulah yang banyak menarik turis dari negeri lain untuk datang ke Chang. He Xian sendiri bahkan berniat untuk menyaksikan tarian Chang yang termashyur itu, tentu saja ketika ia berhasil menyelesaikan tugas! Namun selain keindahan seni budayanya, He Xian tidak tahu apa-apa lagi tentang negara itu. Karena itulah sekarang ia tengah mencari daerah-daerah strategis di Chang yang bisa ia jadikan basis penyerangan. Dari peta, ia berhasil mendapatkan beberapa, namun me
Kemudian, ia tersenyum. “Karena kita punya nasib yang sama, sama-sama sebagai kaum terjajah, bagaimana jika kalian membantu kami?” tanyanya santai. “Tentu, jika Anda ingin turut bergabung melawan Han, kami akan dengan senang hati siap membantu Anda.” “Oh, bukan untuk itu. Aku tetap setia pada Han.” Seluruh pemberontak menggerung keras. He Xian tersenyum semakin lebar. “Jika kalian tidak bersedia, aku juga tidak akan memaksa. Karena itu, izinkan aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai wakil Han.” He Xian berpaling ke arah Sersan Zhen, “Kira-kira, apakah mereka sudah selesai?” “Kurang lebih, Tuan.” “Bagus,” Ia kembali menoleh ke arah Tuan Li dan lainnya. “Silakan kalian pergi keluar dan lihat, apa yang sedang terjadi.” Para pemberontak kelihat
Ming Shi menatap pemuda yang baru saja berdebat dengannya itu menghilang di balik pintu, wajahnya berkeriut tidak senang. Bahkan sekarang, anak ingusan itu, yang pula berstatus jauh lebih rendah darinya, pun berani memprotesnya? Padahal ia sudah muak melayani komentar-komentar sok itu. Ia bekerja keras memikirkan yang terbaik buat bangsanya, dan ia sebagai pemimpin tentu saja tahu apa yang terbaik bagi negeri yang dipimpinnya. Tapi, mengapa protes-protes itu tetap saja ada? Bahkan, bukan hanya Chang saja yang melancarkan aksi perlawanan. Banyak negeri-negeri vassal lainnya yang turut memberontak, walaupun masih tidak separah Chang. Mengapa sulit sekali untuk membimbing mereka - orang-orang rendahan itu - untuk bisa mengerti akan jalan yang benar? Iapun teringat akan kata-kata salah seorang leluhurnya, “Bila kau tidak bisa menuntut sesuatu dengan kebaikan, maka gunakanlah kek
Masih ada tiga negara yang belum berhasil dikuasai Han. Yeong-Shan, Khanate dan Qi. Ming Shi memastikan ambisinya harus dapat terwujud. Ia harus menguasai ketiga negara itu. Target pertamanya adalah Yeong-Shan. Ia membicarakannya dalam rapat kerajaan. “Sudah tiba waktunya kita mengerahkan pasukan menaklukkan Yeong-Shan. Ada yang mempunyai usul mengenai ini?” Jenderal Wei maju ke depan. “Lapor, Yang Mulia. Pasukan kita berada dalam stamina puncak. Bila kita menyerang Yeong-Shan, kemenangan sudah pasti berada di pihak kita.” Tidak ada tanggapan dari menteri lainnya. Menganggap kebisuan mereka sebagai tanda persetujuan, Ming Shi bangkit berdiri, mengeluarkan titahnya. “Kuperintahkan Menteri Sun memimpin 100.000 pasukan, untuk segera pergi menaklukkan Yeong-Shan!” *** Yeong-Shan terletak
Bahkan perjalanannya saja sudah membuat pasukan Han teramat lelah. Apalagi anggota pasukan seperti He Xian beserta Letnan Xiang dan Sersan Zhen yang berangkat dari Han. Perjalanan dari Han ke Tukhestan saja sudah memakan waktu seminggu. Ditambah perjalanan dari Tukhestan ke Yeong-Shan yang memakan waktu kurang lebih tiga hari. Manalagi mereka tidak bisa beristirahat barang sejenak pun setelah sampai, karena Teluk Dong-Nal yang menjadi pelabuhan teraman bagi kapal-kapal dari Tukhestan telah dipenuhi armada laut Yeong-Shan. Takjub juga He Xian melihat kemegahan armada laut Yeong-Shan yang tidak diduganya. Di pihak lain, pasukan Yeong-Shan juga sangat terkejut mendapati armada laut mereka kalah jumlah sangat jauh dari Han. Ditambah lagi reputasi Han menguasai tiga perempat dunia telah sebelumnya menjatuhkan semangat tempur pasukan Yeong-Shan. Betapapun, Jenderal Min-Hwa tidak lantas putus asa. Ia berdiri di dok terdepan kapal, berseru pen
Pagi-pagi sekali, peperangan telah dimulai. Matahari masih belum sepenuhnya bangkit di ufuk timur. Namun kedua pihak, Han dan Yeong-Shan, telah menyiapkan angkatan militer yang serba canggih dan kini siap berhadapan satu sama lain. Ratusan ribu prajurit berjejer menunggu aba-aba, dan begitu tambur dibunyikan, mereka pun segera berlari menyerang. Pertempuran terjadi begitu dashyatnya selama seminggu lamanya. Karena bagaimanapun Yeong-Shan telah kalah, baik secara jumlah, maupun kualitas prajurit serta teknologi senjata. Han menggilas mereka semua dan menekannya sampai ke ibukota Jeong-Neon. Pasukan Han segera berhasil memasuki ibukota Jeong-Neon. Mereka berlari dengan sangat cepat, dan tepat ke arah Istana Hwa-Soon. Hanya dalam waktu kurang lebih lima belas menit, Istana Hwa-Soon telah berada dalam kepungan erat Pasukan Han.*** Seo-Yu memandang Ryu-Na. “Masih belum ada kabar dari
Tidak ada seorangpun yang lebih terkejut dibanding He Xian sendiri. Tak disangkanya, ia begitu berani menjatuhkan gulungan berisikan titah kaisar itu. Dan ia tahu dengan jelas, nasib apa yang dinantinya setelahnya kini. Tapi, ia sudah bertekad. Ini keputusannya, ia tidak boleh ragu lagi. Ia mengambil gulungan tersebut, menepuk-nepuknya. “Saya rasa ada yang salah dengan isi gulungan ini. Saya akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Yang Mulia Kaisar mengenai hal ini. Baiklah sementara ini begitu saja keputusannya.” Kembali tercipta kesunyian. Semua orang di halaman luas tersebut kontan terbelalak. Min-Hwa kini menatap He Xian lekat-lekat. Ada sebersit sinar kagum terpancar dari bola matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum. Namun tak lama, terdengar suara yang sangat janggal memecah kesunyian. Suara derap kaki kuda yang begitu cepat. Seisi lapangan menoleh, dan mendapat