Share

About Longing

Malam terlarut, cahaya putih melintang yang mengikuti lintang ufuk Timur--akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer--telah terlakoni sedari lama, fajar shidiq menyongsong, waktu subuh sudah tiba sejam lalu.

Sebelum memasak sarapan pagi, setelah selesai salat subuh dan berdoa, Dan tadarus al-Quran hingga 2 juz, Diana segera melepas dan melipat mukenah yang dikenakannya, menaruhnya di pinggiran kasur. Dengan cekatan ia mencepol rambutnya, meraih tablet pemonitor rumah di atas nakas, lalu bergegas ke kamar Chanyeon.

Uh! Menerima opsi kedua dari Chanyeon ini sungguh membuatnya menjadi seperti budak saja. Mengapa pula ia juga harus membangunkan lelaki happy virus palsu itu setiap hari. Menambah pekerjaan saja. Merepotkan. Dan benar-benar lelaki dewasa yang tidak mandiri. Jangan ditiru! Dan jika ingin memilih pasangan hidup jangan sampai memilih lelaki macam dia!

Pasangan hidup? Diana melenguh lesu di sela-sela dirinya menaiki tangga menuju lantai dua, kamar Chanyeon itu. Mendapati sisi batinnya menanyakan perihal itu dengan laku ejek karena ... iya, bisa dibilang Si Happy Virus Palsu itu sekarang yang tak lain adalah pasangan hidupnya. Pernikahan terkonyol yang pernah ada di dunia ini--sepertinya.

Diana mengetuk pintu kamar Chanyeon. "Annyeong. Apakah kau sudah bangun, Oppa?" iringnya.

Satu, dua, tiga, hingga lima detik, tak ada jawaban apa pun. Diana mengetuk pintu sekali lagi.

"Apakah kau sudah bangun, Oppa? Sudah hampir jam tujuh, loh." Diana berseru berbohong perihal jam tujuh, melebihi hampir satu jam interuksi membangunkan Chanyeon tadi malam yang tertitahkan lewat pesan Line.

Lima detik berlalu lagi, tak ada tanda-tanda sedikit pun jika Chanyeon sudah bangun. Hingga dirinya menempelkan sebelah telinga ke pintu. Mencoba mengintai pergerakan, walau hanya minim. Namun, nihil, tetap hening. Uh! Dasar lelaki dewasa pemalas!

Sudah geram nian, tanpa perlu meminta izin lagi, Diana langsung memasukkan enam digit angka ke kunci digital kamar Chanyeon di sisi pintu, melangkah masuk. Dan benarlah, netranya langsung tersuguhkan oleh sosok jangkung yang tengah meringkuk lingkar seperti kucing di atas kasurnya dengan selipan bed cover yang mengusut sesuai pilinan lekukan tubuh Chanyeon.

Melangkah tergesa, Diana berlaku layaknya mamak yang hendak memarahi anaknya karena sulit dibangunkan di pagi hari ini dengan tatapan sebal. Kedua kakinya dengan cepat tertumpu pada pinggiran kasur Chanyeon.

"Irona!" cicitnya. Tanpa menggerakkan tubuh Chanyeon sedikit pun.

"Irona, Oppa!" Menambahkan penekanan dalam nada suaranya.

Tidak ada respon apa pun. Chanyeon sungguh terlelap tidur seperti mayat hidup. Diana mulai geram, lalu menyondongkan badannya untuk menyentuh sebelah bahu Chanyeon, menggerak-gerakkannya agar terbangun.

Sial! Alih-alih mencondongkan badannya ke arah Chanyeon untuk membangunkan, Diana justru terkelu akan niatan lakunya, ia malah menjadi termenung dengan menatap lamun wajah Chanyeon yang masih terlelap. Pasalnya, wajah tirus Chanyeon itu terlihat polos seperti bocah saat terlelap tidur, dengan wajah kusut yang tetap tampan, apalagi dengan rambut cokelatnya yang berantakan. Ini menggemaskan, jauh sekali dari sikap menyebalkan jika lelaki jangkung di hadapannya itu sadar.

"Wae?" selidik Chanyeon setelah berhasil mengerjap, mendapati wajah Diana tengah menatap lamun ke arahnya.

Diana membulatkan sepasang mata cokelatnya, langsung beringsut mengangkat tubuhnya yang tengah ia rendahkan itu, mencondong ke arah Chanyeon.

"Irona! Sekarang sudah hampir jam tujuh pagi! Katanya kau mau berangkat bekerja saat subuh. Selamatlah, kau sudah telat!"

"Mwo? Sekarang sudah benar-benar jam tujuh?" Kini Chanyeon yang membulatkan mata sipitnya, melerai ringkukan ala kucingnya cepat, beringsut mengangkat tubuh jangkungnya untuk bergegas mandi.

Mendapati laku tergesa Chanyeon itu yang kini tengah beranjak berdiri dari kasurnya, Diana menahan senyum geli. Lalu sebelah tangannya membenahi letak tablet pemonitor rumah yang sedari awal sudah dipegangnya. Dan sebelah tangannya lagi berselancar mengaplikasikan sesuatu. Membuka tirai kamar Chanyeon. Perlahan, suasana luar di pagi musim dingin yang masih petang, terpampang.

Mendapati itu, gerakan tergesa Chanyeon yang hendak ke kamar mandi terjeda, melirik ke arah Diana yang kini dengan cekatan tengah merapikan tempat tidur.

Chanyeon mendengkus menatap Diana, merutuki dirinya kenapa bisa dengan bodohnya dikerjai begitu.

"Anna ...," panggilnya.

Memberhentikan laju tangannya yang tengah membenahi letak bed cover, Diana melirik ke arah Chanyeon yang berada di depan kamar mandi.

"Hmm."

"Berani-beraninya kau, ya."

"Mwo? Mengerjaimu?"

Chanyeon tetap bergeming dengan sorot tajam, kesal.

Diana malah tersenyum geli, melanjutkan merapikan bed cover. "Karena kau sulit dibangunkan, jadi aku terpaksa membohongimu agar cepat bangun," jawabnya.

"Kau tahu, itu tidak sopan."

"Hmm, aku tahu. Tapi, tak apalah aku berbohong satu kali kepadamu. Toh, ini untuk kebaikanmu, Oppa. Kebohongan demi kebaikanmu, itu boleh-boleh saja, 'kan?"

Mendengar perihal kebohongan untuk kebaikan dirinya, Chanyeon menjadi tersenyum meremehkan. Ia benci akan dalih itu. Entah kenapa, itu berhasil membuatnya beringsut untuk beranjak ke arah Diana yang kini tengah mengulang merapikan bantal.

"Tidak ada yang namanya berbohong demi kebaikan, Anna."

Mendapati terasa jelasnya suara Chanyeon itu, membuat Diana menjadi melirik ke posisi Chanyeon sebelumnya. Tak ada, lalu ia beralih paling ke belakang dan langsung menemukan tubuh jangkung Chanyeon tepat di belakangannya.

"Aish! Kau mengagetkanku saja, Oppa!" cicitnya. Kejut nian.

"Tidak ada kebohongan demi kebaikan, Anna. Karena siapa pun yang mengetahui jika telah dibohongi, itu tetap saja terasa menyakitkan."

Diana mengernyit. "Mwo? Ya! Aku hanya ingin kau cepat bangun karena jika saja kau telat bangun tidur di pagi ini pasti kau akan memarahiku!" cicitnya.

"Kau bisa membangunkanku dengan cara lain dengan tanpa berbohong, Anna. Kau ini memang tidak tahu sopan, ya?!"

Diana tetap bergeming. Mengalihkan tatap ke arah lain.

"Benar. Kau memang tak punya sopan santun, ya? Seharusnya kau menatapku saat aku bicara. Bukan. Seharusnya kau bergeming seraya menunduk khidmat mendengarkan jika tengah dinasihati, bukan malah melirik ke arah lain." Chanyeon bertambah kesal saja kini, setelah mendapati dibohongi soal jam, padahal dirinya ingin terlelap sedikit lebih lama lagi mendapati tadi malam insomnia-nya kambuh.

Diana bersikukuh geming, tetap dengan arah berpalingnya.

"Ya! Kau ini!" decak Chanyeon.

Melunakkan ego, perlahan Diana mengubah edaran berpalingnya, sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah wajah Chanyeon yang jangkung itu.

"Baiklah. Katamu tidak ada kebohongan sekalipun untuk kebaikan. Jadi, aku terpaksa sekali jujur kepadamu." Wajah Diana tampak melenguh takut-takut, segan.

Chanyeon memberi melipat dahinya. Menyelidik.

"Napasmu bau, Oppa ...." Diana langsung menunduk dalam.

Mimik wajah Chanyeon langsung berubah menahan malu, meneguk ludahnya.

"Mi-mianhae ...."

Chanyeon meneguk ludahnya lagi mendengar ucapaan lemah akan maaf Diana. Lalu dengan bibir yang tetap ia katupkan dengan keras agar jangan sampai terbuka secelah pun, sebelah tangan kekarnya menarik kasar lengan Diana agar menjauh darinya, enyah, keluar kamar.

Diana berhasil keluar dari kamar Chanyeon. Pintu kamar Chanyeon tertutup sudah. Sesaat kemudian ia menukik senyum penuh kegelian dengan lebar.

"Mianhae, aku membohongimu tentang napas bau itu, Oppa. Kau mengesalkan, sih!" cicit Diana sebelum membalikkan tubuh yang kini tegap menatap kosong pintu kamar Chanyeon dengan sepasang netra cokelatnya.

Sesaat kemudian, wajah khas ras melayunya tampak sendu. Diana mengkhawatirkan sesuatu.

***

Busan adalah kota kedua terbesar di Korea Selatan. Pusat ekonomi, budaya, dan pendidikan di wilayah bagian tenggara Korea. Memiliki pelabuhan tersibuk. Kota ini memiliki Desa Gamcheon, ikon wisata yang menampilkan rumah berwarna-warni. Tujuan Diana pagi akhir pekan ini setelah Chanyeon pergi berangkat kerja.

Perjalanan dari Seoul ke Busan menempuh jarak 325 km. Mirip dari Jakarta ke Pekalongan. Diana memilih bertransportasi dengan naik kereta tercepat KTX yang hanya perlu waktu dua jam lima belas menit saja untuk sampai ke Busan. Singkat sekali, 'kan? Maklumlah, kereta ini berlari antara 260-305 km per-jam.

Diana menghela napasnya ketika sampai ke Desa Gamcheon, setelah lelah berjalan kaki kurang lebih 20 menit dari Stasiun Toseong, pintu keluar 8. Hatinya kerap kali kagum jika berkunjung ke Desa Gamcheon ini. Pasalnya, Desa Gamcheon ini sungguh seperti wilayah dalam negeri dongeng. Sebuah desa bertingkat yang berada di sisi gunung dan menghadap langsung ke arah laut dengan rumah-rumah penduduk berwarna-warni yang menawan kental seni, pula terdapat patung unik yang ditempatkan berselang-seling. Dengan itu, Desa Gamcheon sungguh mampu menjadi penyeimbang antara Busan yang metropilis dengan Kota Tua Busan yang kuno.

Jauh sebelum dikenal sebagai "Santorini of Busan", Desa Gamcheon ini tak lain adalah perkampungan kumuh yang dihuni pengungsi saat terjadi perang saudara di Korea tahun 1950-an. Namun, sejak 2009, pemerintah Busan memutuskan untuk mengubah desa ini menjadi destinasi wisata.

Desa Gamcheon ini memang salah satu destinasi wisata yang menakjubkan, tetapi bukan perihal itu Diana datang jauh-jauh dari Seoul.

Bukan. Diana sungguh bukan datang untuk menikmati desa yang berada di perbukitan Busan ini dengan lokasi strategis menghadap ke arah laut dan pelabuhan. Wilayah yang terkenal akan tata letak rumah dengan warna-warni itu. Maha menakjubkan dengan panorama menyerupai Pulau Santorini di Yunani. Bukan. Ia mempunyai perihal yang lebih penting daripada hanya berdestinasi wisata.

Setelah berjalan kaki beberapa saat dengan langkah derap sepatu boots-nya pada jalan bersalju, Diana akhirnya memberhentikan langkah kakinya tepat di depan sebuah rumah bercat warna-warni khas Desa Gamcheon itu dengan debaran jantungnya yang semakin menggila. Ditemani salju tipis yang terus membulir.

Masih terpaku di hadapan salah satu rumah khas Desa Gamcheon itu, Diana merapikan letak syal rajut warna nude yang terlilit di lehernya. Lalu memasukkan kedua tangannya ke saku samping coat yang dikenakan. Ia sungguh gugup, pula cemas tak kepalang.

Bukan perihal berdestinasi wisata, tetapi perihal berdestinasi mengobati rindu yang tak kunjung menuai titik temu.

 

Dian Haura

Irona: bangun Wae: mengapa

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status