Maret, 2019.
"Kenapa nangis, Jeng?"
Aku menghampiri seorang gadis remaja yang sedang menunduk. Gadis itu bernama Ajeng. Ia adalah keponakan pertama dari kakak pertamaku. Ajeng Ratnawati nama lengkapnya. Dia saat ini masih berstatus siswi kelas sebelas dan berusia tujuh belas tahun. Gadis bersurai ikal itu duduk sendirian di taman belakang rumahnya yang sederhana dan asri. Tadinya aku tidak menyadari kalau Ajeng sedang menangis. Saat aku berjalan mendekat barulah aku mendengar isakan lirihnya.
Manik bulat berair itu menatapku. Jari-jari lentiknya mengusap air mata yang masih menjejak di pipi dengan cepat. Berusaha menutupi apa yang terjadi beberapa saat lalu. Aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Tante kok ke sini? Bunda mana?"
Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya. Aku tahu Ajeng sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Bunda ada kok di dalam. Lagi main sama Nare dan Syail. Kamu kenapa nangis?"
Aku mengulangi pertanyaan yang belum dijawab oleh Ajeng. Sebenarnya tanpa bertanya pun aku tahu apa yang sedang terjadi pada gadis berkulit cokelat di sampingku ini. Masalah remaja. Apalagi kalau bukan masalah cinta?
"Nggak papa kok, Tan. Nggak ada masalah apa-apa."
"Nggak ada yang mau dibagi sama Tante?"
"Nggak ada. Ini bukan masalah penting."
"Tau dari mana itu bukan masalah penting? Masalah perasaan itu penting, Jeng." kataku sambil meliriknya. Menjiplak ucapannya.
Ajeng mendelik dengan sisa air mata yang menggantung di bulu mata. "Kok Tante tau kalau aku lagi ada masalah soal perasaan?"
Aku menoleh ke arah Ajeng yang tengah menatapku dengan mata sembabnya. Aku mengelus rambutnya lembut. Lalu tersenyum menenangkan. Ajeng juga balas tersenyum tipis padaku.
"Karena Tante juga pernah jadi seorang remaja yang punya masalah perasaan."
"Tante pernah patah hati waktu sekolah emangnya?"
"Ya jelas pernah dong, Jeng. Emang kamu kira Tante nggak pernah jatuh cinta apa?" tanyaku cemberut.
Ajeng menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk, "Ya habis kata Bunda, Tante pendiam banget waktu sekolah. Nggak pernah dekat juga sama cowok."
Aku meliriknya dengan tatapan usil, "Karena itu rahasia. Nggak boleh ada yang tau."
"Emang Om Aji nggak tau, Tan?" Ajeng bertanya dengan nada penuh selidik.
"Awalnya nggak tau. Sampai akhirnya Tante cerita ke Om Aji."
"Om Aji nggak cemburu?"
"Jelas cemburu. Siapa yang nggak cemburu kalau nama anaknya terinspirasi dari masa lalu orang yang disayangi?"
Manik cokelat milik Ajeng terbuka lebar. Ia melotot, yang justru terlihat lucu dimataku. Seperti anak kucing yang sedang menatap makanan. Ah, itu bukan kata-kataku. Itu kalimat yang dipakai dia untuk menggambarkanku dulu saat melihat sesuatu yang menarik perhatian.
"Siapa, Tan? Nare apa Syail?"
"Narendra." Aku menengadah menatap langit yang terlihat cerah. Matahari hari ini bersinar terang sekali. Tapi sang surya bisa saja tiba-tiba bersembunyi dan meminta awan gelap untuk menggantikan tugasnya sebelum membasahi tanah. Sama seperti dia yang bisa saja tiba-tiba menghilang. Siapa yang menyangka, kan?
"Terus-terus, Om Aji gimana, Tan? Marah banget kan pasti?" tanya Ajeng bersemangat.
Aku tersenyum kecut, "Ya iyalah. Pakai tanya lagi?"
"Om Aji marahnya gimana, Tan?" Ajeng cengengesan saat menanyaiku. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik. Wajar jika dia bertanya begitu. Karena suamiku selalu terlihat kalem dan santai. Seperti tidak ada beban masalah. Padahal kalau pas marah, bisa sangat menakutkan.
"Awalnya marah banget. Tapi habis dijelasin dan dengerin cerita masa lalu Tante, Om Aji akhirnya bisa nerima. Kata dia, 'Mau siapa pun nama anak kita, dia tetap anak kita. Bukan anak kamu sama dia.' Terus ya udah deh. Selesai masalahnya."
"Udah gitu aja marahnya?" Dahi Ajeng mengerut keheranan. Aku mengangguk sekali.
"Emang beda ya laki-laki dewasa sama cowok remaja. Cetek banget pikiran cowok-cowok."
"Namanya juga masih tahap perkembangan, Jeng. Masih labil dan suka salah kira."
"Bener banget, Tan. Eh, tapi dia yang namanya sama kayak Narendra itu cinta pertamanya, Tante?"
"Iya."
"Gimana ceritanya, Tan?"
"Panjang banget ceritanya, Jeng."
"Nggak papa, Tan. Aku siap dengerin kok."
Ajeng menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Membuka lebar indera pendengaran untuk menyimak ceritaku. Aku menatap ke depan, ke jejeran pot-pot putih dan hitam yang diisi dengan tanaman hias yang ditanam oleh Kak Desi. Aku tersenyum saat wajahnya yang masih jelas diingatan terlintas dipikiranku. Aku memang sudah lupa suaranya. Tapi tidak dengan wajah dan kenangannya.
"Nggak usah, ah. Nanti kamu baper."
"Tante yang baper atau aku? Hayo ngaku." tanya Ajeng menggoda.
Aku tertawa pelan. Ajeng ikut tertawa. Sudah tidak ada lagi air mata yang menghiasi wajah seperti tadi. Wajahnya memang memerah tetapi bukan karena menangis. Melainkan karena tertawa menggodaku.
"Nggak dong. Bapernya udah dulu-dulu. Sekarang yang ada cuma Om Aji aja di hati Tante."
"Cieee. Kalau gitu, ayo dong cerita Tante. Ajeng penasaran nih."
Aku bisa melihat dengan jelas dari netranya memantul rasa penasaran. Aku terkekeh. Baiklah. Sepertinya aku memang harus kembali membuka kotak pandora yang lama tertutup rapat. Terakhir kali aku membukanya sekitar enam tahun yang lalu saat melahirkan Narendra, putra sulungku.
"Cinta pertama Tante terjadi enam belas tahun yang lalu. Tante masih enam belas tahun. Cuma cewek biasa aja yang kebetulan bisa masuk ke geng cewek-cewek most wanted di sekolah."
Pikiranku berkelana ke masa lalu. Memutar ingatan kembali seperti masuk ke mesin waktu. Ah, pertanyaan itu akan muncul lagi. Aku yakin itu.
2004Aku berdiri dari bangku penumpang bus yang penuh sesak saat sudah akan sampai di tempat aku akan turun. Berdesakan berusaha mencari jalan menuju pintu bus bagian depan. Seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas harian setiap pagi saat berangkat ke sekolah. Beberapa siswa siswi dengan seragam OSIS dari sekolah yang berbeda denganku, juga terlihat tengah bersiap-siap turun. Kami memang akan turun di tempat yang sama. Halte Tunas Muda atau yang biasa disingkat HTM.
Keluarga besar Bapak datang berkunjung ke rumah. Banyak sekali. Mereka membawa anak-anak, sepupuku, beserta cucu-cucunya yang masih ukuran mini. Padahal tadi saat pulang sekolah, aku ingin segera istirahat tanpa suara berisik. Tapi kurasa kali ini harus sangat terganggu dengan kehadiran mereka.Setelah menyalami satu persatu tangan Bude, Pade dan para sepupuku, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Memang seperti itu aku. Menghindari keramaian. Malas berbasa-basi. Enggan menjawab pertanyaan 'Sekarang udah gede ya. Siapa pacarnya?' yang selalu dilontarkan setiap a
Aku berlari dari sepanjang jalan menuju halte bus. Mengejar punggung itu. Tadi kelasku keluar paling akhir karena di jam-jam terakhir mengajar, guru Biologi mengadakan kuis. Ah, sepertinya tidak sempat terkejar.
"Kalian mau tahu sesuatu nggak?" tanya Melinda kepada kami bertiga saat jam kosong di kelas. Saat ini kursi Melinda dan Sukma dibalik menghadap mejaku. Mereka bertiga sedang asyik bertukar alat make up. Aku tidak tahu apa saja namanya. Yang aku tahu hanya bedak. Karena aku pun memakainya."Apaan?" Sukma yang bertanya lebih dulu.
"Satu lagu persembahan dari Dewa19 dengan judul Separuh Napasku mengiringi cerita-cerita yang akan kita dengarkan malam ini. Bisa dibilang malam ini, saya lagi seneng gitu kan. Lagi bahagia. Karena apa? Karena malam ini, Temu baru saja dibuka dengan cerita yang normal. Yang tidak membuat emosi sampai ke sumsum tulang belakang. Ya walau tadi agak sedih ya denger cerita cinta temen kita yang naksir sahabatnya tapi si cowok naskir orang lain. Tapi tetap saja cerita itu masih normal. Nor-mal."
Sepulang sekolah, seperti biasanya aku berjalan sendirian. Aku tidak lagi mengejar punggung Kak Rengga seperti hari-hari sebelumnya. Tidak lagi memiliki keinginan untuk satu bus dengannya. Kak Rengga sudah tidak tergapai.Aku melewati lorong sekolah yang tidak begitu sepi lantaran masih ada beberapa murid yang duduk di depan kelas mereka. Ada juga yang sedang piket membersihkan kelas. Aku berjalan menyeberang lapangan.
Hujan sudah reda saat matahari hanya menampakkan mega kemerahan yang bercampur dengan warna langit. Perpaduan warnanya sangat cantik. Tidak perlu jauh-jauh mendaki gunung atau pergi ke pantai hanya untuk melihat matahari terbenam. Nyatanya dengan menatap langit saja, aku sudah bisa menikmati keindahan yang disajikan oleh alam.
Seminggu lagi ulang tahun Melinda yang ke tujuh belas akan digelar di rumahnya. Ia mengundang banyak orang. Sedari pagi dia sibuk berkeliling sekolah menyebarkan undangan perayaan pertambahan umurnya. Senyum terus terkembang sempurna. Aku yang ikut membagikan undangannya, mengekor dan memandangi rambutnya bergoyang heboh saat ia berjalan setengah meloncat dengan Sukma."Eh, Sekar-Sekar. Undangan Mira mana? Buruan siniin," ujar Melinda saat berdiri kelas sebelas Bahasa dua.