Share

Punggung

2004

Aku berdiri dari bangku penumpang bus yang penuh sesak saat sudah akan sampai di tempat aku akan turun. Berdesakan berusaha mencari jalan menuju pintu bus bagian depan. Seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas harian setiap pagi saat berangkat ke sekolah. Beberapa siswa siswi dengan seragam OSIS dari sekolah yang berbeda denganku, juga terlihat tengah bersiap-siap turun. Kami memang akan turun di tempat yang sama. Halte Tunas Muda atau yang biasa disingkat HTM.

Namaku Adinda Sekarayu. Biasa dipanggil Sekar. Berusia enam belas tahun, duduk di kelas sebelas IPA 1 di salah satu sekolah negeri, dan sedang berjalan menyusuri halte menuju sekolah. Di tahun ini sistem pendidikan baru saja mulai menggunakan kembali sistem semester. Mie Anak Mas mewarnai toko kelontong. Dan juga hari Minggu menjadi surga bagi anak sekolah karena penuh dengan kartun dari pagi hingga siang hari.

Di tahun ini, film Eifel I'm in Love yang ditayangkan beberapa waktu lalu masih menjadi kiblat untuk mendapat predikat kisah romantis, setidaknya di sekolahku. Original soundtrack dari film itu sendiri juga paling banyak dan paling sering direquest oleh pendengar radio sambil menitip salam untuk si dia. Termasuk aku. Walau menggunakan nama samaran sih. Selain itu lagu-lagu dari band Sheila On 7, Dewa19, Marcel, Glen Fredly dan Ada Band  juga sering diputar.

Aku berjalan beriringan dengan anak sekolah lain. Aku tersenyum saat melihat punggung itu. Punggung yang sudah aku hapal betul siapa pemiliknya. Punggung yang selalu berjalan di depanku dengan tegap dan gagah. Tas punggung warna hitamnya tercangklong rapi. Saat berjalan punggung itu akan terus berjalan lurus ke depan. Tidak akan terpengaruh dengan orang-orang di sekitarnya kecuali terjadi sesuatu yang darurat seperti minggu lalu saat ada kecelakaan di dekat sekolah.

Aku tersenyum melihat punggung itu.  Rasanya jadi tidak ingin jalan cepat-cepat. Ingin menatap punggung itu lebih lama. Jalan sejauh apapun terasa lebih dekat, aman, nyaman dan menyenangkan. Lucu ya. Padahal hanya sebatas punggungnya saja yang terlihat. Setiap kali aku melihat punggung itu, suara Melly Goeslaw seakan berubah menjadi backsoundnya.

Bulan mendekap wajah yang murung

Serpihan rindu ingin kusapu

Sepiku hilang saat kau hadir

Menepis semua gundah

Bisakah engkau menundukkan wajah?

Coba berpikir dari sisi aku

Pernahkah engkau merasakan rindu

Sampai menggigil sepertiku kini?

(Tak Tahan Lagi- Melly Goeslaw)

Lagu Melly Goeslaw itu terngiang di telingaku saat sedang fokus mengamati punggung seorang remaja laki-laki ini sebelum sebuah siulan mengalihkan perhatianku.

"Suittt suittt."

Tanpa perlu menoleh aku tahu siapa yang bersiul heboh dari jauh. Gerombolan anak nakal yang sering membolos kelas dan terlambat masuk sekolah sedang nongkrong di warung soto Bu Jah. Padahal mereka berada tepat di warung seberang sekolah. Tapi tetap saja mereka terlambat. Pernah juga  mereka dihampiri oleh kepala sekolah karena ketahuan tidak masuk kelas dan malah asyik main catur sambil merokok. Seakan tidak ada tempat nongkrong yang lebih asyik untuk dijadikan tempat membolos saja.

"Suitttt suitttt."

Mereka bersiul lagi. Memang mereka selalu menggoda begitu setiap ada siswi yang berjalan sendiri menuju sekolah. Salah satu yang sering mereka goda adalah... aku. Setidaknya aku merasa seperti itu. Aku memang selalu jalan sendiri menuju gerbang. Eh, tidak. Punggung di depanku ini juga sih.

"Suittt suittt."

Aku mengabaikan mereka. Sempat tersirat ingin jalan cepat-cepat. Tapi nanti aku tidak akan bisa melihat punggung itu. Ah, serba salah jadinya. Aku amati sekali lagi punggung berbalut seragam OSIS di depanku ini. Tanpa sadar senyumku terkembang sambil menunduk. Pipiku terasa panas. Pasti warnanya sudah merah tanpa perlu tambahan pewarna pipi.

"Sadis, Man. Digodain nggak mempan. Budek apa ya?" kata salah seorang anak buah dari gerombolan Ferdi, sang pembuat onar sekolahan. Aku dapat dengan jelas mendegarkan ucapannya sebab mereka berbicara dengan nada yang keras.

"Bukan budek. Tapi lagi sibuk. Sibuk lihat aspal maksudnya. Hahaha." Mereka tertawa menghina. Entap apa yang lucu. Karena menurutku sama sekali tidak ada yang lucu. Aku terus saja melangkah menuju pintu gerbang.

"Jul! Sini."

"Oke."

Jawaban yang dikeluarkan dengan suara bariton itu sempat membuatku berjengit kaget. Terdengar seperti tepat di samping telingaku. Aku tidak berani menoleh. Aku sempat melirik ke arah mereka. Salah seorang cowok remaja dengan seragam OSIS yang dimasukkan ke celana panjang abu-abunya berlari menyeberang ke arah warung soto Bu Jah.

Mereka saling bertos ria. Kemudian cowok itu duduk di salah satu kursi panjang dari kayu yang tersedia di sana memunggungi jalanan. Aku berani jamin kalau dia adalah salah satu anggota geng Ferdi. Ferdi sang ketua geng memiliki tubuh yang gendut. Tidak kurus seperti cowok itu. Lucunya, di antara teman-teman sekumpulannya, hanya dia yang berseragam rapi. Aku menebak kalau sebenarnya dia itu berniat ke sekolah. Awalnya. Sebelum dipanggil oleh si ketua geng yang kemudian membelokkan niatnya.

Aku sampai di depan gerbang sekolah. Punggung tegap yang kukagumi sudah berbelok menuju kelasnya di dua belas IPA 1. Sedangkan aku terus lurus menyeberangi lapangan upacara menuju kelasku sendiri. Banyak anak-anak dari kelas lain yang masih duduk di depan kelas masing-masing. Dari kejauhan aku melihat punggung lainnya yang kukenali.

Ada tiga punggung ramping dengan rambut panjang sebatas lengan atas, sebahu, dan sepunggung yang digerai. Hitam, lebat, dan pastinya terawat dengan baik. Tidak seperti rambut sebahu milikku yang sering kukincir setengah agar sisi kanan dan kirinya tidak menggangguku saat belajar di kelas. Tiga punggung ramping dengan tas ransel berwarna krem itu adalah milik tiga cewek most wanted di sekolah. Banyak yang menyatakan cinta kepada mereka. Melinda, Sukma, dan Nike sudah sering berganti pacar. Dari yang satu sekolah sampai yang anak kuliah. Aku tahu sebab aku adalah salah satu anggota geng mereka.

Bukan tanpa alasan mereka menjadikan aku sebagai salah satu anggotanya. Mereka butuh bayangan agar cahayanya semakin terlihat terang. Aku yang berwajah biasa saja dengan otak biasa dan penampilan sederhana tentu sangat cocok untuk menjadi pembanding penampilan mereka. Aku sudah tahu itu dari awal.

Apa aku mempersalahkannya? Tidak. Bukan tanpa alasan juga aku mau menjadi anggota geng mereka. Aku yang pendiam, tidak memiliki bakat apapun, sulit menjalin pertemanan dan pasif di manapun, berada di antara mereka membuatku tidak perlu mencari teman lagi. Selain berperan sebagai bayangan, aku juga menjadi telinga bagi mereka. Telinga dalam hal menampung curhatan mereka lebih tepatnya.

Punggung ramping ketiga cewek itu berbelok ke kelas yang sama denganku. Aku sengaja tidak memanggil mereka. Aku sedang tidak ingin mendengar mereka memamerkan apapun yang sedang mereka kenakan. Jadi, lebih baik melihat punggung mereka saja. 

Aku masuk ke kelas. Kelasku ini adalah kelas unggulan. Bukan berarti semua murid di dalamnya memiliki otak yang cerdas. Unggulan di kelasku ini berarti memiliki fasilitas yang lebih baik dari kelas lain. Sedangkan untuk otak murid-muridnya... standar saja seperti murid kelas reguler. Aku bukan orang kaya. Tapi juga bukan termasuk golongan bawah. Ekonomi keluargaku berada di golongan menengah. Makanya aku bisa masuk ke kelas ini.

Kursiku berada di tengah baris ketiga dari depan deretan ke dua dari meja guru. Teman sebangkuku Nike. Nike sang pemilik rambut panjang sepunggung yang mantan pacarnya sudah tak terhitung, karena ia lupa berapa banyak mantannya, sedang sibuk dengan cermin kotak kecil miliknya.

"Sekar. Lihat deh. Kalau aku belah pinggir gini jadi makin cantik nggak?" Nike berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari pantulan wajahnya. Iya. Dia memang merasa secantik itu.

"Cantik." Aku menjawab singkat, padat dan sesuai dengan yang ingin dia dengar. Aku hampir lupa memberitahu. Peran tambahanku dalam geng ini adalah selalu memberi pujian.

"Gitu ya? Emang aku udah cantik sih. Jadi, mau diapain juga tetap kelihatan cantik." Nike tersenyum melihat wajahnya sendiri di cermin.

Aku diam saja. Enggan menanggapi lebih jauh. Di depan kursiku ada dua punggung milik Melinda dan Sukma. Mereka juga sedang sibuk dengan cermin mereka. Bedanya Melinda sedang menyisir rambut sebahunya, sedangkan Sukma sibuk memakai bedak. Yah, memang seperti itu mereka kalau sudah sampai di kelas. Sibuk membuka salon.

***

Bel pulang istirahat baru saja berbunyi. Teman-teman sekelasku sudah mulai keluar satu persatu. Geng yang diketua oleh Nike keluar menuju kantin sekolah. Begitu pula aku. Aku berjalan di samping Sukma yang sibuk mengelus rambutnya.Dilihat dari sudut manapun, akan sangat terlihat perbedaan antara aku dengan geng Nike. Selama perjalan menuju kantin, Sukma tidak berbicara denganku. Aku tidak masalah. Di antara anggota geng ini, aku dan Sukma memang jarang berbicara.

Banyak mata memandang saat Melinda lewat. Baik siswa maupun siswi dari kelas lain selama perjalanan menuju ke kantin. Sesampainya di kantin, Nike memintaku untuk mencari tempat duduk bersamanya sedangkan Sukma dan Melinda memesankan makanan untuk kami. Yah, setidaknya di geng ini aku tidak sering disuruh-suruh. Alasannya supaya mereka tidak dinilai sedang membuliku.

Nike dan aku duduk di kursi yang biasa kami tempati. Dekat pintu masuk ke kantin dengan empat kursi plastik saling berhadapan. Tidak ada yang berani duduk di sana sekalipun saat sedang kosong atau saat kantin sedang ramai. Seakan ada tanda kasat mata yang menandai siapa pemiliknya. Pernah ada yang tak sengaja menduduki kursi itu. Lalu saat kami datang ia langsung dimarahi oleh Sukma. Sukma memang galak dan yang paling barbar menurutku. Untungnya aku belum pernah dimarahi olehnya.

"Sekar, lihat dong. Kemarin aku dibeliin kalung sama pacarku. Emas loh ini. Katanya 23 karat." Nike mulai memamerkan benda yang dia dapat padaku. Kemarin anting-anting. Hari ini kalung.

"Pacar yang mana?" tanyaku datar.

"Kok yang mana? Pacar aku kan cuma satu." 

"Oh. Yang anak kuliahan yang namanya Gigih ya? Masih jadi pacar emang?"

"Masih dong. Nanti deh putus sama dia, kalau dia udah beliin aku perhiasan satu set. Yang kemarin aku incer itu."

"Itu kan yang kamu pamerin barusan juga perhiasan, Nik. Apa bedanya?"

"Beda dong. Ini bukan yang aku mau. Jadi nggak masuk itungan."

Sinting, batinku.

Aku angguki saja ucapannya. Biar tidak diperpanjang lagi olehnya. Aku melihat punggung itu lagi. Kali ini berlapis baju olah raga berwarna putih. Rambutnya terpotong rapi tampak basah oleh keringat. Aku terus mengamati setiap pergerakkan punggung itu. Ia sedang mencari tempat duduk yang kosong. Hingga akhirnya ia duduk tepat dua meja di depan mejaku. Posisinya memunggungi aku. Sempat ia menoleh saat salah seorang temannya bertanya pesanannya.

"Kamu suka sama Kak Rengga ya?" tanya Nike. Mungkin karena aku terlalu fokus mengamati punggung itu, Nike jadi ikut-ikutan mengamati.

"Nggak kok. Kenapa kamu bisa bilang begitu?" Aku cepat-cepat mengalihkan tatapan dari punggung milik Kak Rengga, mantan ketua karate di sekolah.

"Dari tadi kamu liatin terus soalnya. Kalau suka juga nggak papa kali. Cuma ya, gitu. Saingannya banyak. Bukan cuma kamu doang yang suka sama dia. Mana yang suka cakep-cakep juga lagi. Tapi nggak ada yang dilirik."

Aku menatap Nike yang sedang asyik dengan HP Nokia terbaru miliknya.

"Kamu tahu dari mana?"

Nike mengalihkan tatapannya dari layar HP, "Ya tahu lah. Kan dulu Melinda juga naksir dia. Sayangnya cuma temenan. Nggak sampai pacaran. Melinda yang cantik aja nggak dilirik dia. Apa lagi kamu?" Nike tersenyum lebar dan kembali melihat layar HP.

Aku memang tidak tahu siapa yang pernah ditaksir oleh Melinda. Biasanya Melinda akan cerita secara terbuka saat sudah pacaran. Mungkin pengecualian bagi Nike. Mereka berdua sudah menjadi sahabat dari SMP. Wajar jika banyak yang Nike tahu tapi aku tidak.

Ucapan yang keluar dari bibir Nike membuatku sedikit tersinggung. Tapi memang apa yang ia ucapkan itu ada benarnya. Aku tidak pantas untuk Kak Rengga yang mempunyai banyak kelebihan. Bahkan cahayanya lebih terang dibanding milik Nike, Melinda, dan Sukma. Aku yang sekedar bayangan bagi ketiga cewek most wanted sekolah, tentu juga hanya akan menjadi bayangan Kak Rengga. Bayangan tergelap yang tidak akan pernah tersentuh cahaya. Harusnya aku memang sadar dirikan? Tapi apa salah jika bayangan ingin menangkap cahaya yang ia kagumi?

Sukma dan Melinda membawa pesanan kami. Namun, mereka berdua tidak langsung ke tempat duduk kami. Mereka berdua mampir ke tempat di mana Kak Rengga dan teman-temannya duduk. Kemudian saling melempar candaan yang membuat Melinda tersipu malu.

Seorang anak kelas sepuluh yang saat itu berjalan mundur karena terdorong oleh siswa di depannya, menabrak punggung Melinda. Secara otomatis makanan yang dibawa oleh Melinda jatuh menimpa Kak Rengga. Melinda memekik. Sukma melotot. Kak Rengga berdiri. Teman-temannya terkejut. Nike masih sibuk dengan HPnya. Belum sadar situasi. Aku diam mengamati yang terjadi. Dan disitulah aku melihat pemandangan yang membuat hatiku tercubit nyeri.

Kak Rengga tidak marah. Ia justru memegangi tangan Melinda dan mengibaskan baju olah raga yang terkena kuah bakso pesanan miliknya. Kak Rengga melihat tangan Melinda. Seperti mengamati apakah tangannya terluka karena kuah panas itu atau tidak. Melinda menggeleng-geleng. Suasana kanton mendadak berubah sepi. Nike menengok ke belakang. Ia berdiri menghampiri Melinda dan Sukma. Nike dan Sukma memarahi si adik kelas yang sudah menunduk dalam dan menggumamkan kata maaf berkali-kali.

"Kalau jalan itu liat-liat. Mata itu dipakai bukan cuma dijadiin pajangan," marah Nike.

"Belum pernah dicolok ya matanya. Sini aku colok biar tahu kalau mata itu ada fungsinya," kata Sukma kasar.

"Maaf, Kak. Saya beneran nggak sengaja."

"Emangnya maaf bisa mutar balik waktu apa? Enak aja tinggal minta maaf. Kalau minta maaf selesai, nggak perlu ada penjara," kata Nike lagi.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Kak," balas adik kelas sambil terisak lirih.

"Cium kaki Melinda dulu baru dimaafin. Itu kuah panas. Kalau kena kulit tangannya yang mulus, mau ganti biaya dokter kulitnya?" Sukma benar-benar barbar.

"Udah udah. Nggak papa kok. Cuma kuah air aja. Nanti juga kering. Lagian si Melinda juga baik-baik aja. Nggak usah diperpanjang." Kak Rengga mengambil alih situasi. Si adik kelas berlari keluar dari kantin dengan wajah penuh air mata.

Aku menghela napas panjang. Kadang masalah kecil bisa menjadi sangat besar bagi mereka bertiga. Aku kadang berpikir mungkin ini yang menyebabkan mantan pacar mereka memutuskan hubungan dengan ketiga cewek cantik itu. Bukan tidak mungkin kan kalau mereka juga melakukan hal yang sama kepada pasangan mereka? Aku pernah membaca sebuah kalimat yang berbunyi begini, "Jika kamu menyukai seseorang, lihatlah dari caranya berbicara saat ia marah. Apa yang ia katakan? Apakah menyakitkan hatimu? Kalau iya, jangan dipilih. Nanti hubungan itu hanya akan membuat sakit hati jika diteruskan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status