Share

Dia Lagi

Aku berlari dari sepanjang jalan menuju halte bus. Mengejar punggung itu. Tadi kelasku keluar paling akhir karena di jam-jam terakhir mengajar, guru Biologi mengadakan kuis. Ah, sepertinya tidak sempat terkejar.

Aku terus berlari. Perutku sudah tidak sesakit tadi pagi. Walau memang masih kurang nyaman. Aku menumpukan kedua telapak tanganku di lutut. Napasku putus-putus. Kepalaku menengadah. Busnya sudah jalan. Aku tertinggal. Aku tadi sempat melihat punggung itu sudah naik bus lewat pintu belakang.

Dengan masih mengatur napas, aku berjalan pelan menuju hakte. Masih ada beberapa siswa-siswi yang menunggu bus di sana. Aku berdiri di sebelah siswa. Aku tidak tahu dia sekolah di mana. Karena seragam sekolahnya tidak ada badge apapun. Hanya kemeja kusut berwarna putih gading polos. Dasi yang biasanya menggantung di leher pun juga tidak ada. Seragamnya sudah dikeluarkan dari celananya. Siswa itu menggunakan tas selempang yang terlihat tidak terisi apapun. Aku ragu kalau dia adalah seorang pelajar. Jangan-jangan ia hanya sedang menyamar untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Karena rasa takut kalau semisal siswa itu adalah seorang penjahat, aku pun bergeser. Berdiri di antara para siswi yanh berdiri di depan halte. Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Berusaha meredakan panas yang membakar kulit wajah dan menepis gerah.

Perutku kembali terasa nyeri. Aku memejamkan mata. Berkali-kali menghembuskan napas dari mulut. Aku mencium aroma parfum laki-laki yang terbawa oleh angin. Wanginya aku tidak bisa mendiskripsikan. Aku tidak tahu jenis wangi apa itu. Yang pasti cukup mampu membuatku tenang. Suara klakson bus berbunyi nyaring. Aku membuka mata perlahan. Ada punggung yang tegap berdiri di depanku. Punggungnya mampu menghalau panas matahari yang menerpa wajahku. Dan asap kendaraan yang pekat.

Sebuah bus berhenti. Itu bukan bus jurusan aku pulang. Beberapa siswi yang tadi menunggu naik ke bus itu. Hanya tinggal kami berdua dan seorang ibu-ibu. Aku masih berdiri di belakang punggung itu. Lumayan setidaknya menjadi tidak begitu panas. Tunggu. Bukankah ini adalah punggung siswa yang tadi tidak menggunakan identitas sekolah apapun?

Aku menoleh cepat ke arah siswa tadi berdiri. Benar. Ini dia orang yang tadi  berdiri di sana. Aku melihat sekeliling. Seandainya dia memiliki niat jahat, aku harus berlari ke arah mana? Dengan posisinya yang berdiri di depanku, bisa saja kan dia melakukan tindakan kejahatan seperti pelecahan misalnya.

Tanpa suara, aku bergeser ke sebelah kanan, mendekat ke arah ibu-ibu yang ikut menunggu busa. Semoga ibu-ibu ini satu jurusan denganku. Aku melihat ke depan ke arah kendaraan yang tengah berlalu lalang.  Dari ekor mataku, dapat aku lihat siswa itu menoleh ke arahku. Aku diam saja. Pura-pura tidak tahu. Kukira dia akan mendekat. Tapi ternyata dia tidak bergeming dari tempatnya berdiri.

Aku menghela napas lega. Suara klakson bus kembali terdengar dari jauh. Itu bus jurusanku pulang. Aku menunggu sampai itu berhenti tepat di depanku. Setelah ibu-ibu tadi masuk, aku menyusul. Aku melihat ke sekeliling bagian kursi penumpang. Hanya tersisa satu kursi saja di dekat pintu keluar bagian belakang. Siswa jadi-jadian itu juga sudah masuk melalui pintu belakang. Hanya saja dia tidak duduk menempati kursi penumpang yang tersisa itu.

Aku tidak ingin mengambil resiko. Jadi, aku berdiri di deretan depan samping kursi penumpang.

"Dek, duduk sana aja. Itu masih kosong satu," kata supir bus.

"Oh. Nggak usah, Pak. Di sini saja. Deket kok."

Aku bersikeras enggan duduk di nelakang. Apalagi di kursi belakang banyak laki-lakinya. Sangat sangat beresiko. Kernet bus menagih uang kepada para penumpang. Kernet bus itu mengatakan hal yang sama seperti supir tadi. Aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.

Di halte selanjutnya banyak penumpang yang mau naik ke bus yang sama denganku. Kernet bus memintaku untuk mundur. Dengan sangat terpaksa aku mundur.

"Duduk sini aja, Dek. Daripada berdiri. Nanti kegencet sama yang lain," kata seorang nenek.

Tadinya aku akan menolak lagi. Tapi lantaran perut kembali nyeri, akhirnya aku mengalah pada kewaspadaanku untuk lebih memilih duduk. Aku duduk di pinggir sebelah nenek itu. Semua orang yang ingin naik bus berdesakan masuk dan menggeser orang-orang yang berdiri. Siswa jadi-jadian itu tahu-tahu sudah berdiri di samping kursiku. Aku sempat mendongakkan kepala. Wajah siswa itu hanya lurus menatap ke depan. Dari tempatku duduk, sepertinya dia bukan orang jahat.

Bus mulai berjalan lagi ke arah tujuan. Bus yang penuh ditambah lagi cuaca yang panas, membuat semua orang kesulitan mengendalikan emosi. Termasuk sang supir bus. Bus yang kutumpangi dijalankan cukup cepat. Dan terkadang mengerem mendadak. Beberapa kali kepalaku terbentur jok kursi di depanku. Bagian paling tidak mengenakannya adalah saat berada ditikungan. Pelipisku terantuk besi kepala ikat pinggang si siswa tanpa identitas sekolah itu. Bisa dibayangkan bagaimana tidak mengenakkannya posisi seperti? Aku bahkan malu sendiri saat terantuk.

Akhirnya aku memutuskan berdiri dan membiar seorang ibu untuk menempatinya. Berdiri canggung di sebelah cowok itu. Cowok itu tidak menoleh ke arahku sama sekali. Aku juga tidak peduli sih. Saat supir mengerem mendadak, aku yang tidak berpegangan kuat akan terjatuh. Tapi sebuah lengan kokoh menahan lengan atasku. Aku melihat tangan yang masih bertengger di lenganku. Saat menhadap ke belakang, aku melihat cowok itu. Dia hanya tersenyum tipis.

"Pegangan yang kuat."

Hanya satu kalimat itu saja yang gdia ucapkan kepadaku. Aku mengangguk kaku. Masih linglung dengan situasi yang terjadi barusan.

"Makasih, " gumamku. Entah dia dengar atau tidak. Setelahnya tidak ada percakapn lagi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku melihat keluar jendela. Sudah akan tiba di mana tujuanku berhenti. Aku hendak turun mendekati pintu belakang bus. Namun, tas ranselku yang berat terisi oleh buku pelajaran dan kaos olahraga terjepit oleh orang-orang. Aku berusaha  menariknya. Sulit. Tidak ada orang yang mau mengalah memberiku jalan.

Aku berusaha sekali lagi. Tasku terasa lebih ringan. Aku melihat ke belakang cowok itu sedang mengangkat tas renselku dengan sebelah tangannya yang bebas. Aku tidak bisa berhenti di tengah-tengah seperti. Aku pun melangkah maju dengan tas yang masih dijinjing oleh cowok itu hingga mendekati pintu keluar bus. Sebelum turun aku sempat menoleh ke arahnya. Ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi. Tapi cowok itu menatap keluar jendela. Tidak menoleh ke arahku sama sekali hingga aku turun dari bus.

Mungkin besok saat bertemu kembali aku akan mengucapkannya. Aku melihat bus yang tadi kutumpangi kembali berjalan. Dan menghilang ditikungan setelah lampu jalanan berubah menjadi hijau. Aku tersenyum samar. Aku pikir ia orang jahat. Ternyata aku salah.

***

"Kamu itu bisa nggak sih bersyukur sama yang aku kasih?! Jangan cuma nuntut!"

"Aku nggak akan nuntut kalau kamu bisa menuhin semua kebutuhan kita."

"Emang kamu kira selama ini yang aku lakuin apa?! Nelantarin kamu sama anak-anak?! Iya?!"

"Kalau gitu usaha lagi! Ini tuh karna kamu dulu nggak dengerin kata-kataku. Udah aku bilang kan nggak usah main saham kalau nggak ada jaminan..."

Dengan sepiring nasi dan beberapa lauk yang diletakkan di piring terpisah di atas nampan, aku melewati ruang tamu di mana orang tuaku sedang bertengkar karena masalah yang sama. Uang. Teriakan saling bersahutan sama sekali tidak memelan saat aku melintas di hadapan mereka. Aku... seperti bayangan. Mahluk tak kasat.

Kakak pertamaku sudah menikah dan memiliki seorang bayi perempuan. Dia tidak lagi tinggal di rumah ini. Kakak jeduaku berkuliah di luar kota. Tidak tinggal di kosan karena tinggal bersama nenekku untuk mengurangi pengeluaran. Sejak krisis moneter tahun 98, adik laki-lakiku tinggal dengan Tante Mira yang tidak memiliki anak. Tante Mira dan suaminya juga rela menanggung semua biaya pendidikan dan kebutuhan pokok adikku. Tinggal lah aku di sini yang menjadi satu-satunya saksi dari setiap pertengkaran kedua orang tuaku yang berlangsung hampir setiap hari. Seperti rutinitas yang terjadwal dengan baik.

Aku mengunci pintu kamar seperti biasanyam di kamar ini suara teriakan Bapak dan Ibu tidak terlalu terdengar. Hanya di kamar ini aku bisa makan dengan tenang tanpa gangguan.

Aku meletakkan piring di atas meja belajar. Disusul dengan piring-piring lauk. Sambil mendengarkan radio aku mulai menyantap makan malamku.

"Selamat malam, Darah Muda. Balik lagi di acara Temu. Seperti yang kalian tahu ya setiap jam tujuh kalian akan ketemu sama penyiar terfavorit kalian. Siapa lagi kalau bukan Bento." Suara Bento seperti biasanya. Riang, senang dan tanpa beban. Enak kali ya jadi penyiar radio?

"Untuk membuka acara kita yang penuh cinta dan romantisme anak remaja, ada lagu dari Melly Goeslaw yanh jadi salah satu soundtrack AADC. Ku bahagia."

Suara Melly Goeslaw melantun merdu menamani acara makan malamku. Sambil mengunyah, kepalaku mengangguk-angguk mengikuti musik. Memang benar kata orang. Musik bisa mengubah suasana hati. Aku yang tadi sempat kesal karena mendengar pertengkaran Bapak-Ibu, kini menjadi semakin membaik mendengar lagu Melly Goeslaw.

Dalam hidup ini

Arungi semua cerita indahku

Saat-saat remaja yang terindah

Tak bisa terulang

Kuingin nikmati

Segala jalan yang ada di hadapku

'Kan kutanamkan cinta 'tuk kasihku

Agar 'ku bahagia

(Ku bahagia - Melly Goeslaw, 2002)

Musik berakhir. Terdengar beberapa iklan sebelum kembali apa siaran Temu yang dibawakan oleh Bento.

"Oke, setelah mood berubah jadi lebih bahagia kayak lagunya Melly Goeslaw, sekarang saatnya kita mendengarkan curahan hati teman kita. Apakah ia sedang bahagia atau malah terluka? Langsung aja yuk. Halo?"

"Hai."

"Oh, cowok ternyata, Teman-teman. Dengan siapa? di mana?"

"Dengan Sayang. Di sini aja."

Aku tersedak nasi yang hendak kutelan. Ingin tertawa tadinya. Aku buru-buru menegak air putih di gelas.

"Jangan bilang ini si Mas yang kemarin bikin emosi."

"Kok tahu? Dukun ya?" suara lempeng yang sama seperti kemarin membuatku tersenyum geli.

"Astagfirullah. Bentar ya, Teman-teman. Bento harus menyiapkan kesabaran ekstra dulu. Huh." Bento menarik napas panjang sebelum kembali membuka suara.

"Jadi, Mas mau apa sekarang? Mau bikin marah apa ngajakin berantem?"

"Nggak mau bikin marah. Dosa. Nggak mau ngajakin berantem juga. Sakit."

"Oke. Terus?"

"Terus aja nanti belok kiri. Perempatan ke kanan."

"Maksud saya, terus Masnya mau apa? Bener-bener deh. Lama-lama dipanggil saya santet juga nih." Bento mulai gemas.

Aku meletakkan gelas di tanganku dan kembali melanjutkan makan. Masih dengan bibir tersenyum geli mendengar percakapan di radio. Ada-ada saja si Sayang ini. Heh, Sayang?

"Mas Ben tahu nggak berantem yang kerasa sakit tapi nggak berdarah?"

"Di sini tuh tempatnya curhat. Bukan tebak-tebakan."

"Ini juga mau curhat. Tapi tebak dulu."

"Hish. Berantem yang bikin sakit tapi nggak berdarah? Berantem sama pacar," jawab Bento mantap.

"Bukan."

"Terus apa?"

"Berantemnya isi pikiran dan kata hati."

"Hm, ya bener sih. Jadi, bimbang kan kalau nggak sinkron?"

"Iya. Bimbang mau bilang suka tapi nggak kenal. Mau dilepas tapi nggak rela."

"Akhirnya masuk ke sesi curhat. Terimakasih Ya Allah. Terus terus, Mas? Siapa cewek yang ketiban sial disukai sama Mas?"

"Kok sial sih, Mas? Ya jelas beruntung lah disukai sama saya."

"Dari mana untungnya? Orang si Masnya suka bikin emosi."

"Kok Mas ngotot? Mas cemburu sama saya karena saya naksir cewek?"

"Errr. Lanjut aja lanjut. Terusan gimana?"

"Karena nggak kenal. Jadi, ceritanya udah selesai, Mas. Nggak ada lanjutannya."

"Masyaallah Ya Rabbi. Ampuni dosa hamba selama ini! Mas Dida besok kalau ada telpon dengan nomer ini langsung blokir aja. Nggak usah diangkat."

Ada sahutan samar dari seseorang yang terdengar di telingaku. Lalu Bento kembali melanjutkan pembicaraan.

"Masnya telpon dari wartel?"

"Iya. Kalau mau diblokir nggak papa. Nanti saya cari wartel yang lain."

"Arrrgh. Oke, tenang, Ben. Tarik napas buang lewat bawah." Bento menenangkan dirinya sendiri. Aku terkekeh mendengar orang-orang ini berdialog.

"Gini, Mas. Kalau nggak kenal,ya diajakin kenalan. Biar bisa diajak pacaran," kata Bento menekan semua kata-katanya. Aku mengangguk-angguk, menyetujui ucapan Bento.

"Hm... maunya sih begitu, Mas. Tapi nggak bisa."

"Kenapa lagi?! Dia udah punya pacar?"

"Karena udah malam, Mas."

"BODO AMAT. Mau request lagu apa? Buruan?"

"Titip salam dulu ya, Mas."

"TERSERAH."

"Buat doi yang belum kenal aku, kita mau kenalan kapan?"

"BODO AMAT. Lagu apa?"

"Sheila On 7 - Anugerah Terindah Yang Kumiliki."

"OKEY. BYE."

Suara telpon ditutup dengan penuh emosi oleh Bento. Penyiar cowok itu menghembuskan napas berkali-kali.

"Oke. Buat kalian semua yang mau curhat atau mau bikin saya emosi seperti tadi, bisa langsung telpon ke nomer 027585896. Atau yabg mau kirim salam sama request aja bisa SMS ke 08122522977. Sementara penyiar tampan ini menenangkan diri, selamat mendengarkan salah satu lagu dari SO7."

Biasanya aku mengirim sMS minta diputarkan lagu atau kirim salam untuk Kak Rengga dengan namaa samaran. Namun sudah dua hari ini aku absen melakukannya. Aku lebih tertarik menunggu telpon dari seseorang yang menyebut dirinya sendiri Sayang di acara Temu. Rasanya jauh lebih menghibur dibanding mendengarkan lagu. Aku melanjutkan makan malamku yang tertunda dengan diiringi lagu dari Sheila On 7. Untuk sejenak aku lupa bahwa di luar kamar ini, ada sebuah pertengkaran yang belum usai juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status