Sudah seminggu sejak kejadian Melinda memutuskan hubungannya dengan Anggara. Dan sejak itu pula lah setiap hari Melinda menceritakan perihal hubungannya dengan Kak Rengga. Hanya Sukma dan Nike saja yang tampak antusias. Sedangkan aku lebih memilih acuh. Hari ini, Melinda kembali menceritakan kisah asmaranya.
"Kalian dong ini apaan?" tanya Melinda dengan nada riang. Dia mengangkat tinggi rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya. Aku kira dia memamerkan kalung yang dibelikan oleh orang tua atau Kak Rengga. Tapi ternyata aku salah.
Ibu baru saja pergi ke rumah saudara Bapak yang sedang sakit karena kecelakaan motor. Aku yang pertama kali mengalami skorsing, bingung hendak melakukan apa. Padahal jika aku sedang di sekolah, aku selalu berharap cepat-cepat pulang. Namun setelah setengah hari di rumah tanpa hiburan dan melakukan apapun, aku merasa sedikit jenuh.Aku melihat jam dinding di ruang televisi. Sudah masuk jam makan siang ternyata. Ibu pergi dari pagi dan sampai sekarang belum juga kembali. Aku bangkit dan berjalan menuju meja makan. Perutku sudah keroncongan.
Aku dan kedua orang tuaku duduk bersama di satu meja makan. Makan malam kali ini terasa berbeda karena mereka mau menemaniku makan. Biasanya meja ini hanya diisi olehku sendiri saat Bapak dan Ibu tidak bertengkar. Karena kalau mereka bertengkar aku akan makan di kamarku. Kalaupun mereka tidak bertengkar, biasanya Bapak lebih dulu dibanding aku. Kemudian disusul Ibu."Makan yang banyak, Sekar. Mumpung lauknya enak," kata Bapak.
Selama masa skorsing, aku melakukan rutinitas yang sama. Membaca buku, belajar, menonton televisi, makan, membersihkann rumah, lalu tidur. Dua puluh empat jam yang kulakukan adalah hal monoton kecuali membaca buku. Tidak ada radio yang menemaniku rasanya ada yang kurang. Aku jadi tidak lagi bisa mendengar cerita lucu dari penelpon laki-laki yang sering membuat Bento marah dan lagu-lagu yang diputar untuk menemaniku.
"Kok makan di sini sendiri?"Aku mendongak ketika mendengar suara bariton yang mulai terdengar familiar di indera pendengaranku. Narendra duduk di kursi Melinda dengan tubuh menyamping serta kepala yang ditopang di atas meja dengan sebelah tangannya."Iya."
Aku baru saja sampai rumah saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Setelah amsa skorsingku habis, Ibu mengembalikan lagi ponselku. Tapi hanya itu yang dikembalikan. Sedangkan radioku sudah entah ke mana. Mungkin ditukar tambah. Dan buku-bukuku juga tidak mungkin kembali kaena sudah dibakar habis hingga hanya menyisakan abu yang sudah kubuang ke tempat sampah.Lain kali luangkan waktu lebih panjang untuk mendengarkan ceritaku.Begitu isi pesan yang masuk. Aku mengingat-ingat nomer siapa ini. Karena hanya tertera nomer tanpa nama, sepertinya dia bukan dari orang-orang yang kukenal sebelumnya.Aku mengulangi membaca pesan itu lagi. Luangkan waktu? Apa aku punya janji? Aku sudah mengetik pertanyaan dan siap mengirim sebelum sebuah pesan masuk lagi.Ini Narendra. Lupa tadi belum bilang. Hehehe."Narendra?" tanyaku pada diri sendiri.Kamu tahu nomerku dari mana, Nare?
Aku tidak bisa membayangkan apa-apa saja yang sudah diberikan Melinda pada Kak Rangga. Mengingat perkataan Nike mengenai foto mereka yang tanpa busana, sudah membuat pikiranku melayang ke mana-mana.Apa hubungan mereka sudah sangat jauh? Astaga, padahal kisah asmara mereka baru berjalan beberapa minggu saja. Apa Melinda cinta mati pada Kak Rangga? Mungkin saja.Lalu, apa Kak Rangga juga demikian? Ah, cinta mati atau tidak, perbuatan yang mereka lakukan tidak pantas. Apalagi mereka masih sekolah.Pikiranku yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, membuatku tidak bisa tidur. Tahu-tahu sudah pagi dan aku sudah harus kembali lagi ke sekolah.Kemarin aku tidak menemukan Narendra di tempat menunggu bus. Hari ini pun tidak. Aku tidak ambil pusing. Mungkin dia sengaja mau membolos lagi.Saat di sekolah, baru saja aku melewati lorong kamar mandi, seseorang menarik tasku dan mendorongku ke tembok. Untung saja pun
Aku tidak menganggap serius ucapan Narendra. Bagaimana pun kami baru berkenalan. Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya dan menggantungkan perlindungan atau bantuan seperti yang ia katakan. Karena saat ia tidak ada, aku harus bisa menjadi super hero untuk diriku sendiri.Seperti saat ini ketika lagi-lagi langkahku harus tertahan karena Nike dan Sukma dibantu oleh Bagas dan Dida. Mereka berempat mencegatku."Stop dulu, Neng. Sini sini. Abang mau ngomong sama Neng," kata Bagas dengan logat yang dibuat-buat.Kedua tanganku mengerat pada tali tas ransel di pundak. Jika hanya ada Nike dan Sukma saja, mungkin aku tidak akan setakut ini.Aku bergeming. Bagas mendecak sekali, "Sini, Neng. Abang cuma mau ngomong sesuatu kok sama Neng. Bukan mau macam-macam."Bagas menoleh ke arah ketiga temannya, lalu berkata, "Ya, kecuali Neng yang mau dimacam-macamin. Disentuh dikit boleh kali ya," imbuhnya. Kalimatnya
Narendra mengantarku pulang kemarin. Tidak sampai di depan rumah memanng. Aku melarangnya. Aku khawatir jika Ibu melihat dia ada di depan rumah, Ibu akan mengusirnya dengan kasar.Kejadian saat aku diskorsing tentu masih menjadi pokok alasannya. Jadi, aku memintanya mengantar hingga di dekat gang rumah saja.Aku pikir Narendra benar-benar akan pergi setelah mengantarku. Tapi nyatanya tidak. Pemuda itu justru membuntutiku dari belakang dengan memberi jarak aman.Saat aku sudah masuk ke dalam dan mengintip dari balik tirai ruang tamu, aku mendapati dirinya tengah melihat keadaan rumahku. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan.Setelah itu ia pergi dengan menyalakan kembali motor Ferdi.Dan pagi ini, aku melihatnya di depang rumah kosong yang berjarak dua rumah dari rumahku. Dia berdiri di sana sambil membaca komik.Awalnya aku tidak begitu memerhatikannya. Saat Narendra menurunkan komiknya, barulah aku tahu kalau itu adalah Narendra."Kamu kok di sini?" tanyaku heran."Menjemput ka