Share

Butuh Usaha Lebih Keras

Setelah dua hari, kondisi Lea sudah kembali pulih. Bukan hanya kesehatan Lea saja yang dipulihkan. Zen juga selalu memastikan bahwa wanita yang dia sewa benar-benar bersih. Termasuk pemasangan alat kontrasepsi, karena Zen tidak ingin benihnya tumbuh di dalam rahim wanita sewaannya. Zen juga sudah memenuhi lemari di kamar Lea dengan berbagai macam pakaian sesuai dengan selera pria tersebut.

"Apa ada yang salah dengan dirimu?" tanya Clint saat sedang melakukan general check up pada Zen.

"Tidak pernah ada yang salah dengan diriku. Apa aku perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatanku?" Zen balas bertanya pada dokter pribadinya tersebut.

Clint mengangkat bahu. "Tidak ada. Hanya saja ... tidak biasanya kau menyewa wanita lebih dari tiga hari. Aku hanya ... heran," jawab Clint.

"Maksudmu wanita itu?" Zen mendengkus pelan. "Dia bahkan belum pernah sama sekali melayaniku."

"Benarkah?" Pertanyaan yang hanya mendapat respons jengah dari Zen.

"Kau tahu? Wajah wanita itu tampak tidak asing bagiku. Entahlah, tapi aku merasa pernah bertemu dengannya. Dari mana kau mengenal wanita itu?" Clint meletakkan catatan medis Zen lalu melipat tangan di atas meja.

"Jangan bilang kalau dia juga pernah tidur denganmu!" tukas Zen.

Clint terkekeh. "Jangan samakan aku dengan dirimu, Zen. Katakan ... dari mana wanita itu berasal?" tanya Clint.

Zen tampak berpikir sejenak, lalu dia melihat Clint sambil berkata, "Aku pergi."

Pria itu beranjak lalu berbalik begitu saja, mengabaikan pertanyaan Clint yang memang tidak ingin dia jawab sama sekali.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku!" seru Clint. Namun, hal itu sudah tidak dipedulikan lagi oleh Zen.

Meninggalkan ruangan Clint, pria berperawakan tinggi tegap itu berniat untuk menyambangi Lea. Sejak terakhir kali dia pergi ke kamar wanita itu, yaitu ketika Lea sakit, pria itu belum sekali pun menemui Lea lagi. Ini adalah pertama kalinya dia akan menemui wanita itu.

Atas permintaan Lea, pintu kamar yang ditempati wanita itu tidak lagi dikunci. Lagipula, dengan dua penjaga berbadan besar yang selalu terselip senjata di pinggangnya, ke mana Lea bisa pergi?

Zen mendorong pintu di hadapannya lalu masuk begitu saja, membuat si penghuni kamar yang tengah duduk di dekat jendela berpaling dengan cepat. Wanita itu lantas berdiri, bersikap waspada kala Zen semakin mengikis jarak dengannya.

Zen tersenyum seolah tanpa dosa. "Bagaimana kabarmu, Sweet Cake? Lama kita tidak bertemu."

Lea berjalan mendekat dan berhenti dua langkah dari pria itu. Mata bulat dengan iris hijau terang yang menghiasi wajah wanita cantik itu menyorot berani pada Zen.

"Kukira kau sudah lupa jika di salah satu kamar yang ada di rumahmu, ada seorang wanita yang sangat membencimu," seloroh Lea.

Sama sekali tidak tampak gurat kemarahan di wajah Zen. Pria itu justru menyunggingkan senyum menawan seolah apa yang dikatakan Lea adalah pujian untuknya.

"Aku hanya memberimu kesempatan untuk memulihkan diri sebelum kau melaksanakan pekerjaanmu," ujar Zen.

Ketenangan yang selalu tergambar di wajah Zen justru semakin membuat Lea berang. Wanita itu mengetatkan rahang. Berhadapan dengan Zen hanya membuatnya merasa semakin rendah. Lalu tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepala Lea. Jika dengan cara kasar tidak bisa membuat Zen melepaskannya, mungkin Lea harus menggunakan kepiawaiannya dalam menggoda pria. Ya, Lea berpikir cara itu mungkin berhasil mengeluarkannya dari penjara pria sialan tersebut.

Tidak bisa dengan cara gegabah. Dalam diamnya, Lea mencoba mencari cara agar siasatnya tidak terbaca oleh Zen.

"Do it your self, Asshole! Aku memiliki pekerjaanku sendiri!" Memasang raut penuh kebencian, Lea bergerak mendekat pada Zen sambil menunjuk dada pria teesebut.

Zen menangkap telunjuk Lea yang menempel di dadanya. Kemudian dia menggeleng sambil menarik satu sudut bibirnya ke atas.

"Watch your finger, Sweet Cake. Gunakanlah jarimu sebagaimana mestinya." Meski diucapkan dengan suara rendah, tapi kalimat itu terasa begitu dalam.

Tanpa melepaskan telunjuk Lea, Zen mengeluarkan seringainya. Lantas, dia menarik jari wanita itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Seketika bulu kuduk Lea berdiri. Wanita itu merasakan seluruh tubuhnya merinding hingga tanpa sadar kedua matanya terpejam, menikmati sensasi hangat dan basah di mulut pria itu.

Seolah tubuh Lea bergerak tanpa perintah, wanita itu membasahi bibir lalu menggigitnya. Lantas, saat Zen mengeluarkan telunjuk Lea dari mulut dan menciumnya, wanita itu menunjukkan gestur kecewa.

"Perhatikan sikap--"

Zen tidak pernah bisa melanjutkan ucapannya karena Lea tiba-tiba menarik kerah jas pria tersebut dan menyerangnya dengan ciuman. Berawal dengan ciuman-ciuman ringan, semakin lama ciuman Lea semakin agresif. Bukan hanya bibirnya yang bekerja, tangan lembut Lea bergerak dengan cepat melepas kancing jas Zen lalu memaksa pria tersebut menanggalkan jas mahal yang melekat di tubuhnya.

Hanya tersisa kemeja putih yang menutupi tubuh bagian atas Zen. Kemeja itu pun tidak luput dari keagresifan Lea. Dalam sekejap saja, kancing kemeja itu sudah terlepas. Saat telapak tangan Lea menyusuri pahatan otot yang begitu keras di dada dan perut pria tersebut, Lea merasa semakin tersulut gairah. Tubuh Zen begitu menggoda untuk disia-siakan.

Apa pun yang dilakukan Lea, direspons dengan baik oleh Zen. Pria itu begitu piawai mengimbangi keagresifan Lea. Membiarkan Lea melakukan semua yang dia inginkan, tapi tetap menjaga dominasi. Keduanya bergerak tanpa arah dengan bibir yang masih terpaut.

Ke mana pun mereka bergerak, tetap saja mereka berakhir di atas ranjang. Lea mengerahkan tenaganya untuk mendorong tubuh liat Zen ke atas ranjang. Dengan posisi setengah berbaring, Zen membiarkan Lea duduk di atas perutnya. Wanita itu menurunkan ciumannya ke leher Zen sementara tangannya sudah bergerak nakal mengelus milik pria tersebut.

Zen mengerang. "Jangan terburu-buru, Sweet Cake. Kita perlu menikmatinya," ujarnya parau.

Namun Lea tidak peduli. Niat awal untuk membuat Zen bertekuk lutut di kakinya harus kandas saat jemari lentik wanita itu menyentuh milik Zen yang terasa begitu perkasa di bawah sana. Lea sudah tidak sabar.

Ketika Zen menahan tangannya, Lea tidak menyerah. Wanita itu kembali mencoba mendapatkan apa yang dia mau dengan menciumi dada bidang pria tersebut dan terus turun ke perut kotak-kotak yang sejak tadi menjadi salah satu bagian favoritnya untuk diraba.

"Tahan, Sweet Cake." Zen menarik pelan rambut panjang Lea saat wanita itu menurunkan ciuman ke perut bawahnya yang mana masih terbungkus celana panjang.

"I want you," ucap Lea parau.

Zen melebarkan senyumnya lalu berkata, "Aku tahu. Kau hanya perlu menunggu beberapa saat lagi," ujarnya.

Dalam satu tarikan, dress yang melekat di tubuh Lea langsung terlepas. Zen melemparnya asal. Pemandangan yang tersuguh di hadapannya terasa sangat menggoda. Posisi Lea yang sedikit membungkuk, menunjukkan bagian depan tubuh wanita itu yang begitu menggoda untuk disentuh.

Zen menatap Lea sejenak. Lantas, dia menarik tubuh Lea dan mendekapnya hingga dada Lea berada tepat di depan wajah pria tersebut. Tidak menyia-nyiakan waktu, Zen menciumi permukaan kulit seputih susu dan sehalus pualam yang tersaji di depan wajahnya itu.

"Zen ...," erang Lea yang sangat menikmati apa yang dilakukan pria tersebut.

Tangan kiri Lea sibuk meremas rambut pria itu, sementara tangan kanannya berusaha menemukan bagian tubuh Zen yang menurutnya sangat enak untuk berpegangan. Lalu, dengan cepat Zen membalik posisi hingga kini Lea berada di bawah kungkungannya.

"Jangan bermain-main dengan hasratku, Sweet Cake. Karena mungkin kau tidak akan siap untuk mengimbanginya," ujar Zen yang terdengar seperti sedang menantang Lea.

"Aku bisa membuatmu senang lebih dari ini, Zen," balas Lea parau.

"Oya?" Zen menatap lekat Lea dengan tangan yang tak berhenti bermain-main dengan tubuh Lea. "Maka kau perlu berusaha lebih keras dari ini untuk bisa mengelabuhiku,"-Zen menyeringai-"Sweet Cake."

Kedua mata Lea membulat. Bagaimana Zen bisa tahu kalau dia sedang berusaha mengelabuhi pria tersebut? Padahal dia sudah berusaha terlihat natural, bahkan tak meyangkal kalau dia juga sangat ingin menyatukan tubuhnya dengan Zen.

Sama seperti saat pertemuan pertama mereka, kali ini Zen kembali menggantung gairahnya. Pria itu segera bangkit lalu mengancingkan kemeja dan memakai jasnya kembali. Sementara Lea hanya bisa terduduk dengan deru napas memburu, kesal karena Zen mampu membaca siasatnya.

Zen yang sudah berpakaian lengkap, kembali berpaling pada Lea.

"Peraturannya adalah, kau hanya menuruti perintahku. Aku hanya akan memintamu melayaniku di saat aku sedang menginginkanmu." Zen menggeleng sambil menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Bukan dengan caramu seperti itu. Jadi ... berpikirlah dengan bijak sebelum mencoba untuk menipuku," ucap Zen.

Yang bisa dilakukan Lea hanyalah diam sambil menggertakkan gigi. Bahkan saat Zen berbalik dan meninggalkan kamar tersebut, wanita itu tidak dapat melakukan apa-apa.

"Berengsek!" pekiknya.

***

tbc.

Sorry, telat update. Banyak sekali yang harus kukerjakan di real life. Semoga suka!

Review dan vote untuk dukung penulis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status