Share

Chapter 2

Shania mencoba membuka matanya, mengedipkannya sekali, dan bayangan di sekitarnya yang tadinya tampak buram mulai terlihat jelas. Ia tengokkan kepalanya yang tergeletak di atas bantal ke kiri dan kanannya, berusaha mengamat-amati—dengan memaksa, karena ia sangat lemah, dan alhasil menggerakkan kepala pun terasa berat. Sebuah tempat tidur kosong berada di sisi kanan tempat tidur yang ia tempati. Kelambu rumah sakit dan beberapa perlengkapan medis, semua pemandangan itu sudah cukup menyadarkan Shania bahwa kini dirinya berada di ruang perawatan. 

Meski tak begitu jelas di ingatannya, tapi ia tahu, dirinya, Nyonya Brenda, dan Pak Heru sebelumnya mengalami sebuah kecelakaan. Ia masih ingat kuatnya guncangan yang ia alami yang membuatnya seolah terlempar keluar dari alam nyata, hilang kesadaran, tak tahu apa yang kemudian terjadi. Air mata menetes di pipinya. Ada keingin tahuan yang mendesak dalam hatinya, untuk mengetahui nasib rekan-rekannya satu mobil. 

Tak lama berselang, Pak Heru yang kondisinya terlihat menyedihkan dengan beberapa perban di sana-sini, menghias tubuh tuanya, tampak masuk ke ruangan Shania dengan langkah tertatih-tatih. Ekspresi kelegaan tampak di wajahnya melihat Shania telah siuman. Tapi tangis yang tak bisa ditahan seketika pecah, saat kemudian ia mengabarkan bahwa sang Nyonya telah meninggal dunia. 

Bagai disambar petir, Shania kaget tak terperikan, hingga kesulitan untuk mempercayai apa yang ia dengar. Berulang kali ia mencoba meyakinkan kabar itu dengan terus menerus menanyai sang sopir, hingga air mata pria tua itu mengalir semakin deras. Sadar bahwa kabar itu bukan sebuah omong kosong, Shania akhirnya mengijinkan dirinya sendiri menangis sejadi-jadinya. Tangisannya begitu pilu, sedih, dan menyayat hati, hingga sang sopir yang hatinya sendiri hancur, turut menenangkan gadis itu dengan upayanya yang terbaik. 

Selang beberapa saat, ketika Shania merasa dirinya seolah hampir kehilangan kesadarannya, ia lalu memutuskan untuk menghentikan tangisannya, dan memaksa dirinya sendiri untuk tenang. Ia harus melihat kondisi sang Nyonya secara langsung. "Antar saya ke ruangan Nyonya Brenda, Pak Heru," ucapnya serius.

Dengan di dampingi Pak Heru di belakangnya, Shania menyeret langkahnya menuju ke ruangan tempat sang Nyonya berada. Berjuang tertatih-tatih, melewati beberapa ruangan, dengan air mata yang terus menetes, langkah Shania akhirnya terhenti saat sang sopir berkata lemah padanya di depan sebuah ruang kamar beratmosferkan kesedihan, "Ini dia ruangannya, Nona."

Shania menahan langkahnya di depan pintu. Ada seorang gadis yang tampak tersedu sedan di samping jenazah sang Nyonya. Gadis itu masih sangat muda, tidak terlalu tinggi, dengan rambut panjang terurai bebas. Shania menaksir, usianya sekitar dua puluh tahun. "Apakah dia Bianca, Pak Heru?" tanya Shania setelah mencoba memikirkan perkiraannya dengan baik.

"Iya, Nona," jawab Pak Heru. "Itu Nona Bianca, anak kedua Nyonya Brenda dan Tuan Edward."

"Tuan Edward?" Shania mengerutkan kening, mengingat sesuatu yang terasa kabur di memorinya. 

"Iya, Nona. Nama suami Nyonya Brenda adalah Tuan Edward. Beliau siang tadi baru saja bertolak ke luar kota untuk urusan bisnis. Saat kami mengabarinya, beliau langsung mengatakan akan segera kembali. Kami sedang menunggunya. Lalu Tuan Alex, anak pertama Nyonya Brenda, yang kini sedang kuliah di Amerika, juga sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia."

"Oh," desah Shania. Ia berdiam diri sesaat, memperhatikan Bianca yang terus menangis. Tangisan itu begitu menyedihkan dan menggetarkan hati, hingga akhirnya memaksa Shania maju dan mendekatinya. 

Tangan lemah Shania menyentuh lembut pundak Bianca, hingga membuat gadis itu terkejut dan memalingkan badannya pada sang pemilik tangan. Sorot matanya penuh keterkejutan, sekaligus menunjukkan perasaan asing, karena merasa tak mengenal Shania. Shania dengan wajah pucatnya lalu tersenyum. "Aku Shania. Aku berada di mobil yang sama dengan mamamu saat kecelakaan itu terjadi."

"Oh," desah Bianca lemah. "Apa kamu adalah gadis dari panti asuhan yang dimaksud Pak Heru?"

"Tentunya," jawab Shania cenderung kuat dengan dugaannya. Pak Heru mungkin telah menceritakan perihal keberadaannya dalam rombongan yang mengalami kecelakaan itu. "Aku rasa Pak Heru sudah menceritakan semuanya padamu," ucap Shania yang diikuti oleh anggukan kepala Bianca.

"Kenapa seperti ini?" tanya Bianca bernada protes.

"Aku tidak tahu, Bianca. Semuanya terjadi begitu saja."

"Tapi aku tidak mau Mama meninggalkanku."

"Sstt ... kuatkan dirimu, aku mohon," ujar Shania dengan serta merta mendekap tubuh Bianca. Gadis itu menerima dekapan itu tanpa penolakan, bahkan ia kemudian menumpahkan semua tangisannya di pelukan Shania.

"Katakan padaku," ucap Bianca setelah beberapa saat, "bagaimana aku akan melanjutkan hidupku? Apa yang bisa aku lakukan sekarang tanpa Mama?"

"Hei," jawab Shania dengan bibir sedikit gemetar karena menahan air mata, "kamu masih memiliki seorang ayah, Sayangku. Mereka yang pergi memang tak kan terganti, aku tahu. Tapi meski semuanya tak kan sama, kamu masih memiliki satu orang tua yang akan menyayangimu dengan kasih sayang yang besar, seperti mamamu."

"Tidak!" sergah Bianca. "Ayahku kamu bilang? Asal kamu tahu, Papa tidak punya kasih sayang seperti Mama. Dia adalah orang yang tidak pernah peduli pada kami. Pada aku dan juga kakakku. Selama ini hanya Mama yang menyayangi kami. Hanya Mama!" Sorot mata kemarahan yang tak dimengerti oleh Shania membuat tatapan Bianca menjadi sangat tajam dan menakutkan. 

Gadis itu terlihat sangat marah dan menjauhkan diri dari Shania. Ia berbalik untuk mendekat ke tubuh mamanya, mencium keningnya, kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan itu. Shania diam terpaku tak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhnya gemetar, namun ia mencoba bertahan. "Oh, besarnya kesedihan ini," desahnya. 

Dengan langkah tertatih, dan sorot mata penuh kesedihan, Shania mendekat pada sang Nyonya dan memperhatikan wajah ayu itu dalam diam. Idolanya yang baru ia temui satu hari, satu kali, satu kesempatan. Kini sosok itu telah diam bergeming. Ia bahkan tak kan mampu menjawab pertanyaan Shania, jika gadis itu menanyakan perihal maksud kata-katanya di dalam mobil, dan maksud kata-kata putrinya yang sedikit sulit dipahami. 

"Sepertinya sesuatu yang serius terjadi di tengah keluarga Nyonya," ucap Shania lirih. 

Gadis itu lalu menghapus air mata yang mengalir di pipinya, dengan gerakan tangan yang lemah. Ia lalu mendoyongkan tubuhnya, memejamkan matanya, mencium kening sang Nyonya, dan bertahan dalam posisi itu hingga beberapa saat. Semua bayangan kebaikan sang Nyonya tampak di kepalanya tanpa mampu ia bendung. 

Di tengah heningnya kesedihan itu, Shania mendengar derap langkah seseorang mendekat, dan kemudian berhenti tepat di belakangnya. Shania mengangkat kepalanya dengan sigap, dan membalikkan badannya untuk melihat siapa yang datang. Shania terperanjat. Tatapan tajam penuh keterkejutan menyambutnya. Tatapan tajam seseorang yang hampir menabraknya pagi ini, yang sosoknya sempat Shania bicarakan dengan Nyonya Brenda dengan kelakar ringan bahwa Shania akan memberinya pelajaran. 

"Kamu?" tanya pria itu. Samar-samar Shania teringat bahwa pria itu dipanggil oleh sopirnya dengan sebutan Tuan Edward. Lalu kepingan lain ingatannya menyuguhinya bekas-bekas percakapan dengan Pak Heru, yang mengatakan bahwa suami dari Nyonya Brenda juga bernama Tuan Edward. 

Seketika tubuh Shania gemetar tak karuan. Ia tidak bisa mengatakan ini efek dari kecelakaan yang ia alami. Ini nyata-nyata adalah efek dari keterkejutan yang luar biasa besar, mengetahui sebuah fakta mencengangkan. Tuan Edward yang sangat angkuh lagi pongah, yang pertemuan kedua dengannya tak pernah Shania harapkan, adalah suami dari Nyonya Brenda, yang selalu ia kagumi karena semua sifat baik yang melekat di dirinya. 

Fakta mengejutkan ini membuat Shania terpaksa menyesali ucapannya yang menyebut-nyebut tentang pemberian pelajaran, pertemuan kembali, takdir, dan hal-hal yang semisal. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status