Share

Chapter 3

Enam bulan berlalu dari sejak kematian Nyonya Brenda. Shania turut hadir dalam upacara pemakaman Nyonya Besar itu, dan bertemu dengan kedua anaknya, Alex dan Bianca, meski ia tidak cukup menyempatkan diri untuk bertemu anggota keluarga atau kerabat—jika ada—yang lain.  

Alex dan Bianca saat itu terlihat sangat terpukul, tapi mereka menerima kedatangan Shania dengan sikap bersahabat yang menyentuh perasaan. Mereka mendengarkan cerita tentang kecintaan Nyonya Brenda pada panti asuhan Permata Kasih dengan rasa bangga, dan membenarkan bahwa ibu mereka memang sangat penyayang. Binar-binar kebanggaan di mata mereka itu membuat Shania percaya, Nyonya Brenda membesarkan mereka dengan nilai-nilai luhur dan etika hidup yang baik.

Tapi Shania merasa tak perlu meragukan integritas Nyonya Besar itu sebagai ibu. Alih-alih meragukan perempuan berbudi baik itu, Shania justru lebih mengkhawatirkan tentang kelakukan suaminya. Lebih tepatnya, tentang kepedulian pria itu terhadap anak-anaknya yang nyaris tidak ada, atau mungkin sangat tipis. 

Ia suka bersikap tidak bersahabat, hampir dalam segala situasi. Sikap itulah juga yang membuat Shania tidak merasa nyaman berlama-lama bertahan dalam acara pemakaman waktu itu. Ia memutuskan meninggalkan rumah keluarga Ananta itu dengan cepat, begitu pemakaman selesai, demi menghindari argumen tidak menyenangkan yang sering dengan mudah keluar dari mulut pria antagonis itu. 

Shania menghirup nafas panjang. Ia meraih segelas jus dari meja kecil di sampingnya, dimana ia duduk di kursi sebelahnya dengan sebuah buku di pangkuan yang tidak ia baca. Pikirannya melayang memikirkan Nyonya Brenda, siang ini. Anak-anak panti yang tadinya memintanya menemani bermain juga ia biarkan bermain sendiri. 

Langkah Bu Lina terdengar mendekat. Shania tahu itu langkah kaki ibunya, karena dari sejak ia masih agak jauh, ia sudah berjalan dengan berkata, "Nyonya Brenda memang orang yang sangat baik. Memikirkannya tidak akan ada habisnya. Benar kan, Shania?" Bu Lina mendekat dengan menambahkan jus ke gelas Shania yang telah kosong. Shania memang telah banyak membicarakan Nyonya Brenda sejak pagi tadi. Dari situlah, Bu Lina tahu apa yang anak asuhnya—yang sudah ia anggap sebagai anak gadisnya sendiri—itu pikirkan. 

"Lamunanmu begitu serius," lanjut Bu Lina, "sampai-sampai Ibu khawatir kamu bisa-bisa nekat datang ke rumah keluarga besar itu, dan menanyakan apa yang bisa kamu perbuat untuk membalas semua jasa Nyonya Brenda."

"Itu yang tadi coba kusampaikan pada Ibu," jawab Shania. Tatapannya menerawang jauh. Tangannya meremas-remas gelas jus di sampingnya, yang pastinya ia lakukan tanpa sadar. Bu Lina hampir-hampir khawatir gelas tipis itu akan pecah. 

"Nak," ucap Bu Lina. "Nyonya Brenda memang sangat baik. Tapi kematiannya rasanya juga adalah akhir dari hubungan kita dengan keluarga kaya itu. Kamu sendiri tahu bagaimana karakter suaminya, yang sedikitpun tidak mengarah pada kemungkinan ia akan mau berurusan dengan panti asuhan. Dan anak-anaknya, mereka juga sepertinya punya urusan mereka sendiri. Jadi," Bu Lina mendesah, "mulai sekarang, ikhlaskanlah kepergiannya dengan sepenuh hati. Kita tidak akan terus berhubungan dengan keluarga itu—karena memang mereka tidak mau—dan kita bisa membalas semua kebaikan Nyonya Brenda dengan do'a."

"Hanya dengan do'a, Bu?" tanya Shania seolah tak puas.

"Apa lagi?" sanggah ibunya. "Bukankah tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan?" Alis Bu Lina terangkat sebelah, seiring dengan pertanyaan retorik yang keluar dari mulutnya.

Shania hanya menganggukkan-anggukkan kepalanya tanpa berucap. Ia terus terdiam hingga beberapa menit berselang, sementara Bu Lina masih terus menambahkan kalimat-kalimat bijaknya yang semuanya masih bermakna sama dengan apa yang sudah lebih dulu ia sampaikan.

Obrolan serius itu terhenti saat seorang anak laki-laki tampak berlari mendekat. Nafasnya menderu, karena kelelahan berlari. Tampaknya ia baru saja berlari dari jalanan depan panti, karena anak altruis ini punya kebiasaan baik, menyeberangkan setiap orang tua yang hendak menyeberang di jalanan dekat panti. 

"Ibu, Kak Shania, ada Pak Heru di depan," ucapnya masih dengan nafas tersengal-sengal. Ia yang kehausan lalu meminta ijin pada Shania untuk meneguk minumannya, yang ternyata berakhir dengan habisnya jus di gelas itu tanpa tersisa.

"Pak Heru?" tanya Shania heran. "Sudah cukup lama Pak Heru tidak ke sini. Kalau tidak salah sejak—"

"Sejak Nyonya Brenda meninggal."

"Ya, Ibu benar!" seru Shania. "Mari kita temui dia, Ibu! Siapa tahu dia merindukan panti ini."

"Tentu saja, Sayangku!"

Shania dan Bu Lina beranjak dari tempat duduk mereka dan keluar menyambut Pak Heru, yang tampak berhenti dan berdiri mematung setelah ia keluar dari mobil. Matanya menyapu seluruh gedung panti di depannya, seolah ia rindu dengan tempat itu, dan sepertinya memang begitu. 

Pak Heru dengan khidmat memandang gedung panti itu berikut halamannya, gerak langkah anak-anak panti yang melintas, tanaman bunga yang tersusun rapi di halaman depan panti, semuanya. Hingga ia rela untuk sesaat mengabaikan Bu Lina dan Shania yang sedari tadi memasang senyum menyambutnya. 

"Selamat datang, Pak Heru!" seru Shania menyambut mantan sopir Nyonya Brenda itu, yang setahu Shania kini beralih menjadi sopir Bianca, anak gadis Nyonya Brenda. Shania tahu, karena ia yang diam-diam memintanya untuk bertahan di rumah keluarga Ananta, ketika sopir itu berniat berhenti dari pekerjaannya karena duka yang tak terkira setelah kepergian Nyonya Brenda.

Pak Heru berjalan menuju Bu Lina dan Shania dengan sedikit merundukkan badannya, yang selalu ia lakukan untuk menunjukkan karakternya yang sangat sopan—yang bagi Shania dianggap terlalu merendah—dan menjawab dengan sopan pula, "Terima kasih, Bu Lina, Nona Shania. Sudah cukup lama—"

"Ya. Sudah cukup lama kami tidak melihat Pak Heru," sahut Shania. Ia terpaksa memotong, karena tidak tega melihat Pak Heru terus berdiri sementara ia tampak lelah. "Masuklah, Pak! Kita teruskan obrolan kita di dalam. Pasti ada banyak yang bisa kita bicarakan, setelah beberapa waktu tidak bertemu."

"Tentu, Nona," jawab Pak Heru dengan tersenyum takzim. Bu Lina menerima jabat tangan Pak Heru dengan senyum hangatnya, dan turut mempersilakannya masuk. 

"Jadi bagaimana kabar Pak Heru?" tanya Shania dengan ramah, sambil mempersilakannya meminum teh manis yang ia suguhkan di meja. Beberapa makanan ringan, dan buah-buahan juga tersaji di sampingnya, sebagai hidangan sambutan. 

"Kabar saya baik, Nona," jawab Pak Heru. "Sudah sejak kemarin-kemarin saya ingin datang kemari, tapi—kesibukan begitu banyak. Baik yang menyangkut kehidupan keluarga saya, atau keluarga Tuan Edward."

Shania sedikit menahan geli mendengar ucapan Pak Heru. Pria tua di depannya itu memang seolah punya dua keluarga. Shania menganggapnya seperti itu. Tuan Edward, tidak punya cukup waktu untuk mengurus segala hal tentang rumahnya, ataupun anak-anaknya. Sehingga pastilah para pelayan dan sopir yang menjadi pemegang kendali, layaknya sekumpulan ahli waris—yang tentunya tak benar-benar menerima warisan.

Bu Lina dengan bijak menyambut ucapan itu, "Tidak masalah, Pak Heru. Yang penting kami tahu Pak Heru baik-baik saja. Dan kami harap kedua keluarga—maksudnya keluarga Pak Heru dan keluarga Ananta, semuanya dalam kondisi baik-baik saja. Bukan begitu, Pak Heru?"

Pak Heru terdiam. Ia lalu terlihat seperti menelan ludah. Senyuman setengah hati pun muncul bersamaan dengan ucapannya, "Semuanya baik-baik saja, Bu Lina." Bu Lina sontak mengucap syukur mendengarnya, sementara Shania tersenyum masam, sedikit ia paksakan.

Shania menduga sesuatu telah terjadi, sehingga Pak Heru tidak terlihat jujur saat mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi karena tidak ingin mematahkan semangat kebahagiaan ibunya, Shania pun bersikap diam. 

"Tapi—wah, jam berapa ini, Nak?" tanya Bu Lina tiba-tiba pada Shania.

"Jam dua siang, Ibu," jawab Shania. "Ada apa? Apa Ibu ada acara di luar?" 

"Iya! Aduh, Ibu lupa! Ibu harus bertemu dengan salah seorang donatur panti yang mengajak Ibu untuk bertemu di luar. Em .... " Bu Lina mengalihkan perkataannya pada Pak Heru, "bukan bermaksud meninggalkan obrolan menyenangkan ini, Pak Heru. Tapi maaf, saya sudah berjanji untuk pertemuan di luar ini, dan saya tidak bisa begitu saja membatalkannya. Saya mohon diri, dulu. Apa tidak masalah?"

"Tentu tidak, Bu Lina," jawab Pak Heru. "Saya mohon, jangan merasa tidak enak hati. Semoga urusan Bu Lina lancar."

"Terima kasih, Pak," ucap Bu Lina dengan lega, kemudian segera beranjak setelah basa-basinya selesai. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan percakapan itu, mengingat Pak Heru adalah orang yang sama baiknya dengan Nyonya Brenda. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia memberi isyarat pada Shania untuk menemani tamunya mengobrol. Shania dengan senang hati menerima tugas itu.

"Pak Heru," ucap Shania setelah memastikan kepergian ibunya, "katakan! Apa terjadi sesuatu di rumah keluarga Nyonya Brenda? Saya rasa Pak Heru tidak jujur menyampaikan kondisi yang sebenarnya pada Ibu saya, tadi."

Pak Heru terkejut sesaat, tapi kemudian menarik nafas panjang. "Saya bisa menutupinya di depan Bu Lina, tapi entah kenapa Nona ternyata tidak bisa dikelabui," ucap Pak Heru begitu jujur.

"Saya terbiasa berhati-hati dalam hidup dengan berusaha mengenali kejujuran orang lain, Pak. Maksud saya—kita kembali saja pada apa yang akan kita bahas. Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Apa terjadi sesuatu yang buruk? Apa sebenarnya keluarga Ananta tidak baik-baik saja?"

"Iya, Nona," ucap Pak Heru serius. Ia bahkan menyempatkan diri meneguk minumannya, seolah bersiap mengatakan sesuatu yang berat. "Keluarga Ananta sekarang menjadi sedikit kacau." 

"Maksud Pak Heru?" tanya Shania tak sabar.

"Anak-anak menjadi semakin susah diatur. Maaf, saya sebenarnya tidak mau menyebutnya seperti itu. Mungkin lebih tepatnya, mereka sedang berusaha brontak atas ketidakacuhan Ayah mereka selama ini." Tatapan Pak Heru mulai terlihat melankolis. Ia terdiam sesaat, lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Tuan Edward sering terdengar bertengkar dengan Tuan Alex di telepon. Sementara Nona Bianca—yang sering mendengar pertengkaran itu—juga sering terlibat perdebatan dengan ayahnya berusaha membela kakaknya. Ia sendiri sekarang mulai suka pulang malam, bahkan terkadang—sama seperti ayahnya—tidak pulang ke rumah."

"Tapi bagaimana mungkin? Mereka itu anak-anak yang baik," sanggah Shania.

"Memang benar, Nona," desah Pak Heru. "Mereka dulu anak-anak yang baik. Tapi itu sewaktu ibu mereka masih hidup. Sekarang, mereka seolah menjadi kehilangan pegangan setelah kepergian ibu mereka. Lebih parah lagi, Tuan Edward tetap saja tidak mencoba mempedulikan mereka. Beliau jarang pulang ke rumah. Hanya peduli pada pekerjaannya saja. Kasihan Nona Bianca. Kakaknya ada di Amerika. Dia sendirian di rumah. Dengan kebiasaan barunya pulang malam—dan dia melarang saya mengantarnya saat keluar malam—saya menjadi semakin khawatir. Dia itu anak perempuan!" 

"Hh, ya Tuhan!" desah Shania. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nyonya Brenda jika mengetahui semua kondisi ini. 

"Nona Shania––"

"Cukup, Pak. Tunggu. Saya masih tidak habis pikir dengan semua ini. Dihadapkan pada masalah sebesar ini, bagaimana Tuan Edward masih bisa bersikap tidak peduli?"

"Percayalah, Nona," ujar Pak Heru serius, "dulu Tuan Edward tidak seperti itu."

"Benarkah? Saya sulit percaya dengan ucapan itu," sanggah Shania dengan malas.

"Tapi memang itu faktanya, Nona!" Pak Heru masih berkata dengan serius. "Saya sudah bekerja dengan keluarga itu sejak bisnis mereka masih kecil-kecilan. Dulu Tuan Edward adalah pria yang normal—maksud saya tingkah lakunya normal, wajar, dan—"

"Katakan saja dia tidak angkuh, tinggi hati, serta tidak punya empati, seperti sekarang—maaf, kalau saya kasar."

"Yah! Itu yang saya maksud, Nona. Anda tidak kasar sama sekali. Anda hanya jujur," sahut Pak Heru yang disambut anggukan persetujuan Shania. 

Dengan sedikit memperbagus intonasi bicaranya, hingga terdengar benar-benar merasuk ke hati, Pak Heru melanjutkan ceritanya, "Suatu hari, saat anak-anak masih kecil, keberuntungan berpihak pada Tuan Edward. Bisnisnya mengalami kemajuan besar, dan kekayaannya bertambah banyak. Sejak saat itu, Tuan Edward seolah melupakan keluarganya. Ia seolah hanya hidup untuk harta dan kekuasaan. Dan—sudahlah, Nona pasti paham apa maksud saya. Dia menjadi seperti sekarang ini." Pak Heru mengakhiri ceritanya dengan tatapan lesu dan kepala tertunduk. 

Shania memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa ini hal yang keterlaluan. Di luar batas kepatutan yang bisa ia terima. Lebih keterlaluan lagi, ia merasa menjadi seperti seorang pengecut, karena hanya bisa membicarakan seseorang dari belakang, tanpa melakukan apapun. Shania lalu berminat untuk mengakhiri percakapan jahat itu. 

"Pak Heru, apa anak-anak punya kerabat yang bisa menolong mereka? Saya merasa lelah membicarakan tentang Tuan Edward yang tidak akan ada habisnya. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengubahnya. Untuk saat ini, kita mungkin butuh bantuan seorang kerabat yang bisa menjaga anak-anak dengan lebih baik," ucap Shania menawarkan ide.

Pak Heru terdiam, tak terlihat antusias mendengar solusi yang ditawarkan Shania. Ia tampak berpikir keras, tapi ujung-ujungnya berkata dengan tak bersemangat, "Sayangnya, kakek dan nenek anak-anak sudah meninggal semuanya. Sementara Tuan Edward, setahu saya dia anak tunggal, tidak punya saudara. Tapi kalau Nyonya Brenda," mata Pak Heru mulai terlihat berbinar, "dia punya satu adik angkat, namanya Tuan Alan. Dia pria baik, sama seperti Nyonya Brenda. Usianya saat ini kurang lebih tiga puluh tiga tahun."

Shania mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tatapan fokus, dan ia memang tengah serius berpikir. Informasi Pak Heru ini sebenarnya sedikit melegakan, tapi ia masih perlu memastikan manfaatnya.

"Jadi apa si pria baik ini juga sayang pada keponakan-keponakannya? Pada Alex dan Bianca? Mungkin sekedar memiliki seorang kerabat yang baik saja tidak cukup dalam masalah ini, Pak."

"Nah, itu dia, Nona!" sahut Pak Heru. "Tuan Alan memang baik. Dan, untuk masalah rasa sayangnya pada anak-anak, jangan diragukan lagi! Anak-anak begitu dekat dengan dia, lebih dari kedekatan mereka pada ayah mereka sendiri, Nona. Tapi—" kata-katanya terputus, mengingat Alan tidak berada di Indonesia. "Tuan Alan saat ini tinggal di Australia, Nona. Dia dulu mendapatkan beasiswa untuk mengambil kuliah bisnis di sana. Dia lalu juga bekerja di sana, dan sekarang tinggal di sana."

Pak Heru dan Shania dengan spontan meneguk minuman mereka secara bersamaan tanpa aba-aba. Desahan kekecewaan juga terdengar bersamaan, seolah hati mereka terpatahkan oleh ekspektasi mereka sendiri dalam waktu yang memang bersamaan. 

"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang, Nona?" tanya Pak Heru putus asa.

"Entahlah, Pak!" jawab Shania. "Si paman baik ini mungkin bisa menjaga anak-anak. Tapi ... dengan tidak tinggal di Indonesia, itu artinya kita hanya bisa berharap, dia bisa mempersering kunjungannya ke Indonesia. Mungkin itu bisa membantu anak-anak merasa lebih baik."

"Benar sekali, Nona," sahut Pak Heru setuju.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status